Setelah 2013 lalu mengeluarkan Sin Tax Law, Filipina ditunjuk menjadi tuan rumah dalam East Asia and Pacific Regional Workshop on Tobacco and Alcohol Tax Reform. Ini adalah sebuah pertemuan yang diselenggarakan oleh Bank Dunia mengenai Sin Tax untuk rokok dan alkohol di Manila, Filipina, kemarin (26/2).
Pertemuan ini dihadiri oleh negara-negara ASEAN dan beberapa negara lain, serta organisasi internasional. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan RI, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama SpP (K), mewakili Indonesia dalam acara tersebut.
Sin Tax adalah bentuk cukai yang diberlakukan untuk rokok dan alkahol. Penggunaan kata “sin” yang berarti “dosa atau kesalahan”, dikarenakan alkohol dan rokok memang merugikan kesehatan. Dana yang didapat dari Sin Tax ini lalu secara spesifik digunakan untuk kesehatan.
Sejak diberlakukannya Sin Tax di Filipina, dana tersebut digunakan untuk antara lain: 1) masyarakat miskin yang dijamin kesehatannya meningkat dari 5,2 juta keluarga pada 2013 menjadi 14,7 juta keluarga atau lebih dari 50 juta orang di 2014, 2) anggaran Departemen Kesehatan Filipina 2014 naik 57% dari 2013 (53,5 Billion Peso/BP di 2013 menjadi 83,7 BP di 2014) dan ini adalah kenaikan tertinggi dalam sejarah, 3) anggaran untuk orang miskin dari PhiHealth, badan pengurus pembiayaan kesehatan, di 2014 meningkat hingga 200% dari 2013 atau dari 12,6 BP menjadi 25,6 BP.
Selain itu, harga rokok di Filipina pun meningkat 2-3 kali lipat. Hal ini dikarenakan pajaknya juga meningkat untuk kegiatan kesehatan sehingga harga rokok kelas murah naik dari 0,25-0,50 sen menjadi 1-1,5 peso per batang sedangkan rokok kelas premium harganya naik dari 1,5-2 peso per batang menjadi 3-5 peso.
Apabila dibandingkan dengan keadaan di Indonesia, Prof. Tjandra menyampaikan mengenai jumlah perokok, program penanggulangan merokok, serta mengenai pajak dan cukai rokok.
“Sebanyak 36,3% penduduk Indonesia merupakan perokok atau sekitar 60 juta orang. Kita juga mempunyai program penanggulangan merokok, seperti PP 109/2012, aturan tentang rokok sudah diberlakukan di 126 Kabupaten/Kota, serta sudah berjalannya Aliansi Walikota dengan 91 anggota, dan program lainnya,” jelas Prof. Tjandra.
Mengenai pajak dan cukai rokok, Prof. Tjandra juga memaparkan bahwa untuk cukai rokok, sekitar 55% dari harga jual, 2% diantaranya diberikan ke daerah penghasil atau disebut dengan Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau. Untuk pajak rokok, 10% dari cukai, sepenuhnya diberikan ke daerah, dan sedikitnya 50% dari itu harus untuk kesehatan, serta yang terakhir adalah PPN.
Pengalaman Filipina menunjukkan 3 faktor utama keberhasilan diluncurkannya Sin Tax Law, “Faktor tersebut adalah political will, koalisi berbagai unsur masyarakat di seluruh daerah, dan komunikasi publik,” tutur Prof. Tjandra.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes elalui nomor hotline <kode lokal> 500-567; SMS 081281562620, faksimili: (021) 52921669, website www.depkes.go.id dan alamat email kontak@depkes.go.id