Penulis: Aji Muhawarman,
Pengasuh: Endang Budi Hastuti
HIV/AIDS telah menjadi momok yang menakutkan bagi dunia. Di Indonesia, jumlah kasus HIV/AIDS terus meningkat. Saat ini di Indonesia diperkirakan terdapat 170.000-210.000 penduduk yang mengidap HIV/AIDS. Penyakit ini hingga kini belum ditemukan obatnya. Obat yang tersedia sekarang, Obat Anti Retroviral (ARV), tidak dapat menyembuhkan tapi hanya mengurangi jumlah virus HIV dalam tubuh penderita. Meskipun demikian, Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) masih sangat bergantung pada ARV ini.
Akhir-akhir ini beberapa media mengangkat berita tentang kelangkaan stok obat HIV/AIDS (ARV) yang diduga mengakibatkan penggunaan obat yang telah habis masa kadaluarsanya. Sekelompok orang bahkan berunjuk rasa untuk menyampaikan kondisi yang terjadi di lapangan, bahwa ODHA di beberapa daerah mendapat obat ARV kadaluarsa. Kondisi tersebut dapat dipengaruhi beberapa faktor, tidak hanya dalam hal distribusi, namun juga proses pengadaan dan penganggarannya yang melibatkan beberapa pihak.
Kementerian Kesehatan melalui Ditjen PP-PL telah meluncurkan Program Care, Support and Treatment (CST) atau Perawatan, Dukungan dan Pengobatan bagi orang dengan HIV-AIDS (ODHA) dimulai sejak tahun 2004 dengan dilaksanakannya pelatihan bagi 25 RS Rujukan Anti Retroviral (ARV), yang juga menjadi RS Rujukan untuk perawatan ODHA. Penetapan RS Rujukan ARV tersebut melalui SK Menkes. Dengan makin meningkatnya kasus, hingga tahun 2011 telah ditetapkan 278 RS Rujukan ARV, dengan Kepmenkes Nomor 782/Menkes/SK/IV/2011.
Pengadaan obat ARV masih dipusatkan di Kementerian Kesehatan dan sampai saat ini disubsidi penuh oleh pemerintah. Distribusinya juga masih dipusatkan dan dikirimkan langsung ke layanan yang membutuhkan sesuai dengan permintaan layanan. Pemusatan ini dilakukan untuk memudahkan pemantauaan penggunaan dan ketersediaan obat di layanan, mengingat karakteristik penyakit dan konsumsi obat ARV yang spesifik, dimana obat harus dikonsumsi tepat waktu dan seumur hidup.
Anggaran untuk pengadaan ARV telah dialokasikan dalam APBN dan dana bantuan dari Global Fund for AIDS, TB and Malaria (GF-ATM) Komponen AIDS. Anggaran dengan dana APBN tiap tahun semakin meningkat. Tahun 2011, perbandingannya dengan dana GF-ATM sebesar 70:30. Diharapkan tahun depan semakin besar lagi dan pada akhirnya kebutuhan ARV dapat dipenuhi seluruhnya dengan dana APBN.
Proses pengadaan dengan dana APBN dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), sedangkan anggaran dengan dana GF-ATM melalui prosedur Voluntary Pooled Procurement (VPP), dimana Kemkes mengajukan kebutuhan ke central procurement GF-ATM, kemudian mereka akan membeli langsung ke pabrik obat. Dengan cara ini didapatkan obat bermutu dengan harga paling murah (memutus mata rantai dagang). Dalam spesifikasi pengadaan obat ARV, selalu disebutkan bahwa masa kadaluarsa obat minimal 18 bulan sejak obat tersebut diterima oleh panitia penerimaan barang.
Dana APBN digunakan untuk membeli ARV lini pertama dan sebagian kecil lini kedua, sedangkan dana GF-ATM digunakan terutama untuk membeli ARV lini kedua dan sebagian lini pertama yang belum dapat diproduksi di dalam negeri, seperti ARV untuk anak dan kombinasi stavudin + lamivudin.
Obat ARV yang tersedia di Indonesia saat ini terbagi menjadi 2 jenis yaitu :
Lini Pertama. Jenis ini dikonsumsi oleh ODHA yang sudah memenuhi syarat minum ARV.
Jenis obatnya terdiri dari :
zidovudin (AZT) 100mg
lamivudin (3TC) 150mg
stavudin (d4T) 30mg
efavirens (EFV) 200mg dan 600mg
nevirapine (NVP) 200mg
zidovudin (AZT) 100mg + lamivudin (3TC) 150mg
stavudin (d4T) 30mg + lamivudin (3TC) 150mg
Lini Kedua. Jenis ini dikonsumsi oleh ODHA yang sudah resisten dengan ARV lini pertama.
Jenis obatnya terdiri dari :
Tenofovir (TDF) 300mg
Lopinavir/ritonavir (LPV/r) 200/50mg
Didanosine (ddI) 100mg
Abacavir (ABC) 300mg
Tenofovir (TDF) 300mg + Emtricitabine (FTC) 200mg
Khusus bagi pasien ODHA kelompok anak, telah disiapkan ARV Pediatric. ARV ini baru mulai diadakan pada tahun 2008. Sebelumnya, ARV untuk anak adalah ARV dewasa yang digerus untuk menyesuaikan dengan dosis yang dibutuhkan. Bentuk sediaan adalah berupa tablet dispersible (mudah larut dalam air).
Jenis obatnya terdiri dari :
lamivudin (3TC) 60mg + stavudin (d4T) 12mg
lamivudin (3TC) 60mg + stavudin (d4T) 12mg + nevirapine (NVP) 100mg
Untuk memudahkan pengawasan dan pelaporan distribusi obat, maka telah ditetapkan alur distribusi pelaporan dan permintaan obat sebagai berikut :
Setiap bulan RS membuat laporan pemakaian obat dan permintaan obat dengan menggunakan form laporan bulanan. Jumlah obat yang diminta adalah kebutuhan untuk 1 bulan dan 2 bulan stok cadangan dengan mempertimbangkan stok akhir. Sehingga di RS harus tersedia persediaan obat selama 3 bulan.
Laporan ditujukan ke Subdit AIDS & PMS Ditjen PP-PL, tembusan ke Dinas Kesehatan Provinsi.
Di Subdit AIDS & PMS, permintaan tersebut akan direspon dengan melakukan verifikasi perhitungan obat dan pembuatan Purchase Order (PO) ke Kimia Farma untuk mengirimkan obat yang diminta ke layanan.
Proses ini akan memakan waktu maksimal 10 hari.
Guna memangkas waktu pengiriman, saat ini dilakukan desentralisasi distribusi ARV pada beberapa provinsi yang dianggap mampu, dari segi SDM maupun infrastrukturnya. Provinsi yang sudah melaksanakan adalah Jawa Timur. Provinsi yang baru mulai adalah Bali, Papua dan Jawa Barat.
Secara singkat, alur pengiriman obat pada provinsi desentralisasi adalah sebagai berikut:
Setiap bulan RS membuat laporan pemakaian obat dan permintaan obat dengan menggunakan form laporan bulanan. Jumlah obat yang diminta adalah kebutuhan untuk 1 bulan dan 2 bulan stok cadangan dengan mempertimbangkan stok akhir. Sehingga di RS harus tersedia persediaan obat selama 3 bulan.
Laporan ditujukan ke Dinas Kesehatan Provinsi.
Di Dinas Kesehatan Provinsi, permintaan tersebut akan direspon dengan melakukan verifikasi perhitungan obat dan pembuatan PO ke Kimia Farma Provinsi untuk mengirimkan obat yang diminta ke layanan.
Proses ini akan memakan waktu maksimal 5 hari.
Kimia Farma Provinsi setiap 3 bulan mengajukan permintaan stok obat berdasarkan perhitungan permintaan dari layanan ke Kimia Farma Pusat.
Dinas Kesehatan Provinsi mengirimkan tembusan laporan dari layanan kesehatan ke Subdit AIDS & PMS Ditjen PP-PL.
Setelah diterimanya obat baru, baik yang diproduksi di dalam negeri maupun yang di impor melalui mekanisme diatas, Kemkes langsung mendistribusikan ARV ke seluruh RS rujukan. Ketersediaan obat tergantung kepada laporan pemakaian dan permintaan obat dari RS rujukan yang telah ditunjuk. Dengan adanya mekanisme pengawasan dan pola pengadaan serta distribusi ARV tersebut diharapkan tidak ada lagi pemberian dan penggunaan obat ARV yang telah habis masa kadaluarsanya.
Yang juga patut ditekankan kepada masyarakat adalah obat ARV hanya menekan jumlah HIV yang beredar di dalam darah dan tidak menyembuhkan penyakit. Obat ARV harus diminum setiap hari dengan dosis dan waktu yang selalu tepat dan terus dikonsumsi seumur hidup. Ketidakpatuhan dalam mengonsumsi ARV dapat menimbulkan resistensi.