Agats, 9 Februari 2018
Perjalanan menuju distrik-distrik di Kabupaten Asmat membuka wawasan tentang kearifan lokal kesehatan.
Selama dua hari satu malam, tim dokter PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang tergabung dan perawat dari RSCM serta RSAB Harapan Kita dalam Flying Health Care (FHC) Kemenkes menyusur dua distrik. Bersama tim kesehatan dari TNI dan Polri, FHC Kemenkes melakukan pelayanan, penyuluhan, dan pengecekan campak serta gizi buruk.
Ketika berinteraksi dengan warga lokal, ditemukan berbagai fakta menarik. “Bapak dokter, anak saya pahanya bengkak,” keluh ibu dari Yohanes (3 tahun) ketika tim sweeping ke rumahnya di Kampung Ayam, Distrik Akat, Kamis (8/2/2018).
Meski dinyatakan bebas campak, Yohanes terlihat bergizi kurang dengan mata cekung, tulang tengkorak atas menonjol, dan perut membesar. Yang paling miris terlihat beberapa bekas sayatan tipis di bagian kaki yang bengkak.
Saat ditanya bekas sayatan oleh tim FHC Kemenkes, dr. Franky, sang ibu terdiam. Tim kesehatan dari Kesdam II TNI AD Andi Jaya, S.Kep. langsung mengingatkan warga yang berkumpul agar tidak lagi meneruskan kebiasaan menyayat bagian tubuh yang sakit supaya sembuh.
“Merasa pusing, bengkak, sakit lainnya segera ke Puskesmas. Jangan dibiarkan lama-lama sampai lemas,” ujarnya.
Menurutnya, berbagai kebiasaan yang mengarah ke sugesti kerap mewarnai kehidupan warga Asmat. Menyayat bagian tubuh yang sakit bertujuan agar darah keluar terus hingga bagian tersebut sembuh sendiri.
Melihat kondisi tersebut, tim kesehatan gabungan ini sepakat untuk mengedukasi warga Kampung Ayam dengan teknik Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) serta menolong pasien malaria. Terutama ketika mereka berada di tengah hutan dengan memanfaatkan alam.
“Kalau ada yang patah tulang tangan dan kaki bisa gunakan pelepah pisang untuk menopang sebelum dibawa ke puskesmas,” terang dr. Franky kepada warga.
Sedangkan untuk malaria, ia menerangkan cara pemakaian kelambu serta cara memapah pasien malaria yang benar ketika dilarikan ke puskesmas.
Melihat berbagai materi bernilai lokal tersebut, komandan tim kesehatan dari Polda Banten dr. Effri Susanto berharap warga kampung dapat mempraktikkannya. “Dicontohkan dengan simpel supaya mereka tidak malas untuk melaksanakan karena disini tidak ada dokter,” jelasnya.
Hal yang sama diakui tim PB IDI yang mendukung FHC Kemenkes di Distrik Sirets, dr. Iqbal. Kondisi distrik yang harus ditempuh dua jam dengan speedboat dari Agats itu sangat kental dengan mistis.
“Kami pun memilih untuk mengajarkan cara mengatasi bisa ular beracun Papua yang injeksi penawarnya langka karena seharga Rp 40 juta produksi Australia,” cetus dr. Iqbal.
Karakteristik ular yang mencari api dan cara menghindarinya, ia jelaskan. Dibandingkan mengobati sendiri dengan kepercayaan melalui batu dan daun yang bisa menghisap bisa ular.
Kebiasaan buang air besar di tengah hutan pun ia singgung perlu pendampingan serta sosialisasi ketat. Lantaran fasilitas toilet tidak dimanfaatkam warga dengan baik.
Diakui oleh Kepala Puskesmas Ayam Teguh Sunarto, SKM, tradisi tinggal di Bivak secara turun temurun membuat upaya promosi kesehatan harus diakulturasikan.
“Warga dari kampung terjauh sering meninggalkan anak-anaknya sendiri dengan kondisi alam yang tak menentu. Begitu pula pencari gaharu ke tengah hutan yang bisa berbulan-bulan. Mereka inilah yang perlu dimodifikasi cara promosi kesehatannya,” harap Teguh.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email [email protected].
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat
Oscar Primadi