Tanggal 2 April, seluruh dunia memperingati Hari Autis International. Sebagai bentuk kepedulian, seluruh staf Kementerian Kesehatan secara serentak selama satu hari di bulan April menggunakan seragam berwarna biru. Warna biru ini menandakan bahwa pada hari Autis internasional ada satu gerakan untuk menyuarakan agar semua stakeholder yang ada, baik itu pemerintah maupun sektor swasta, memberikan perhatian khusus kepada anak-anak atau orang dengan masalah autis.
Demikian pernyataan Kepala Pusat Inteligensia Kesehatan, dr. Eka Viora, Sp.KJ, saat memberikan keterangan kepada sejumah media seputar Peringatan Hari Autis International di lingkungan Kemenkes, Senin pagi (2/4/12).
Ini merupakan salah satu agenda yang dihimbau oleh salah satu organisasi masyarakat peduli autis di Amerika, Autism Speak. Yayasan ini mengajak agar semua negara bisa berpartisipasi selama bulan April, terutama satu hari pada tanggal 2 April 2012, diharapkan dapat berkontribusi untuk memberikan pencahayaan biru.
“Warna biru ini sebagai simbol kepedulian untuk membantu anak-anak penyandang autisme. Ini juga mengingatkan kami untuk tetap responsif bahwa anak-anak berkebutuhan khusus membutuhkan layanan kesehatan”, ujar dr. Eka Viora.
Menurut dr. Eka Viora, autis merupakan suatu gangguan pada perkembangan. Seorang anak yang mengalami autis, sebetulnya sudah dapat dikenali sejak memasuki masa kanak-kanak. Di kota-kota besar, dengan berkembangnya teknologi informasi sekarang ini masyarakat sudah mulai aware dengan keberadaan anak berkebutuhan khusus. Namun, di daerah-daerah masih banyak masyarakat yang belum mengetahui permasalahan autis.
“Seringkali masyarakat bilang ini keterbelakangan atau terlambat. Mereka mencari-cari pengobatan, tetapi tidak tau harus kemana. Demikian juga saat anak tersebut memasuki fase usia sekolah, tentu pendidikannya tidak bisa disamakan dengan anak-anak biasanya. Masyarakat di daerah tidak tau harus melakukan apa, karena di daerah tidak ada sekolah khusus/inlusif seperti yang ada di kota-kota besar seperti Jakarta”, jelas dr. Eka Viora.
Hingga saat ini, faktor penyebab autis belum diketahui secara pasti. Tetapi ada kemungkinan interaksi antara faktor biologi, genetik, serta faktor-faktor dari luar seperti pencemaran logam berat dan polusi udara, bisa menjadi faktor mencetuskan gangguan autis pada anak, terang dr. Eka Viora.
Lebih lanjut, dr. Eka Viora menyatakan jumlah kasus autis yang terjadi di Indonesia masih bersifat sporadis, belum ada angka pasti jumlah akumulasi. Hal ini dikarenakan, belum pernah dilakukan riset untuk mengetahui prevalensi anak di Indonesia yang mengalami autis.
“Angka yang bisa kita lihat adalah yang berasal dari pusat-pusat atau laporan dari dokter-dokter yang menangani kasis autis. Paling tidak, saat ini ada tren peningkatan. Sekitar 3 sampai 5 kasus baru per tahun ditemukan oleh para terapis, dokter spesialis anak, dokter spesialis jiwa anak, psikolog dan psikiater anak”, kata dr. Eka Viora.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: (021) 52907416-9, faksimili (021) 52921669, Pusat Tanggap Respon Cepat (PTRC):