WHO merilis strategi operasional baru dalam pengendalian malaria di seluruh dunia. Penanganan malaria sempat mengendur sejak 2017.
Menyambut hari malaria sedunia pada 25 April 2024, Program Malaria Global Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menerbitkan strategi operasional baru dalam dokumen Global Technical Strategy for Malaria 2016-2030, yang menjabarkan prioritas dan kegiatan utama untuk mengubah tren malaria dengan tujuan untuk mencapai target program malaria global. “Pergeseran dalam respons malaria global sangat dibutuhkan di seluruh ekosistem malaria untuk mencegah kematian yang dapat dihindari dan mencapai target strategi malaria global WHO,” kata Daniel Ngamije, Direktur Program Malaria Global WHO, dalam rilis WHO pada Rabu, 24 April 2024. “Pergeseran ini harus berupaya mengatasi akar penyebab penyakit dan berpusat pada aksesibilitas, efisiensi, keberlanjutan, kesetaraan, dan integrasi.”
Masa 15 tahun pertama abad ke-21 merupakan zaman “keemasan” dalam perjuangan dunia melawan malaria. Antara tahun 2005 dan 2014, investasi global untuk pengendalian malaria meningkat, dari US$ 960 juta menjadi US$ 2,5 miliar per tahun. Pada tahun 2008, Roll Back Malaria (RBM) merilis Rencana Aksi Malaria Global, cetak biru komprehensif pertama untuk pengendalian dan eliminasi malaria global. RBM adalah platform global untuk koordinasi melawan malaria yang diampu Kantor Pelayanan Proyek PBB (UNOPS) di Jenewa, Swiss, yang memobilisasi tindakan dan sumber daya serta membentuk konsensus di antara mitra WHO, seperti UNICEF, UNDP, dan Bank Dunia.
RBM menetapkan target penurunan angka kesakitan dan kematian akibat malaria sebesar 50 persen dan eliminasi malaria di 8-10 negara pada tahun 2010 dibandingkan dengan angka dasar pada tahun 2000. Rencana tersebut juga bertujuan untuk mencapai hampir nol kematian yang dapat dicegah pada tahun 2015. Keberhasilan di awal tahun 2000-an dan pertengahan tahun 2010-an memunculkan ambisi untuk menyusun target global pengakhiran epidemi malaria dan penyakit menular lainnya pada tahun 2030.
Namun, respons global terhadap malaria telah terhenti sejak tahun 2017, terutama di negara-negara dengan beban penyakit yang tinggi, khususnya di Afrika Sub-Sahara, dan pandemi COVID-19 telah memperburuk tantangan tersebut. Menurut WHO, pada 2022, diperkirakan terdapat 608 ribu kematian terkait malaria dan 249 juta kasus malaria baru di seluruh dunia dengan anak-anak di Afrika yang menanggung beban terbesar dari penyakit ini.
Menurut WHO, respons global terhadap malaria dipengaruhi oleh berbagai faktor biologis, teknis, keuangan, sosio-ekonomi, politik dan lingkungan, yang banyak di antaranya berkembang seiring berjalannya waktu, seperti kemiskinan, penggunaan lahan, konflik, perubahan iklim, pertumbuhan populasi, gender, tempat tinggal, dan lain-lain. Misalnya, beban terberat akibat penyakit malaria ditanggung oleh Afrika, yang memiliki populasi yang berkembang pesat. Dampak peningkatan pertumbuhan penduduk dapat diimbangi dengan urbanisasi karena intensitas penularan umumnya lebih rendah di perkotaan. Namun, kemunculan Anopheles stephensi, spesies nyamuk yang beradaptasi di daerah perkotaan, menjadi tantangan yang semakin besar. Pertumbuhan populasi juga mengubah cara penggunaan lahan di wilayah tersebut, yang berdampak pada habitat alami vektor nyamuk.
Selain itu, lingkungan saat ini juga sedang mengalami perubahan akibat perubahan iklim, yang mengakibatkan perubahan suhu dan kelembapan dalam jangka panjang, variasi musim, dan kejadian cuaca ekstrem yang lebih sering dan ekstrem, yang semuanya berpotensi berdampak pada malaria. Perubahan iklim jelas akan berdampak besar terhadap penghidupan, nutrisi, keamanan, dan akses serta penggunaan layanan masyarakat sehingga memperburuk kesenjangan yang ada dan secara tidak langsung meningkatkan kerentanan masyarakat terhadap infeksi malaria dan penyakit parah.
Kerapuhan pencapaian target eliminasi malaria ini menggambarkan saling ketergantungan yang erat antara upaya pengendalian malaria dan kinerja sistem kesehatan secara keseluruhan. Negara-negara dan komunitas kesehatan global perlu berbuat lebih banyak untuk mengembalikan pendulum menuju dunia bebas malaria. Tujuan cakupan kesehatan universal WHO menjanjikan akses pengendalian malaria yang lebih adil, dapat diterima secara finansial dan berkelanjutan, serta strategi lain untuk mengurangi beban penyakit yang terkait dengan kemiskinan.
Untuk itu, Program Malaria Global WHO dan jaringannya, yang berperan penting dalam memimpin upaya pengendalian dan pemberantasan penyakit ini di seluruh dunia, melakukan tindakan langsung, termasuk hadir di 150 negara. Program ini dimaksudkan untuk membentuk ekosistem malaria dan mencapai dampak yang signifikan di tingkat negara.
Pergeseran dalam respons global terhadap malaria dan fokus strategis Program Malaria Global diperlukan untuk mengatasi akar penyebab tren epidemi saat ini. Mengatasi kesenjangan pendanaan memerlukan penggunaan sumber daya yang ada secara efisien dan kemajuan yang dicapai harus mendorong penyandang dana baru untuk terlibat dalam respons malaria. Dukungan politik yang kuat diperlukan di negara-negara dengan beban malaria yang signifikan untuk memanfaatkan pendanaan dalam negeri yang akan mendorong perubahan dan menciptakan dampak yang berkelanjutan dan adil. Komitmen politik juga diperlukan di negara-negara yang menghadapi eliminasi malaria karena manfaat dari eliminasi akan sangat besar. Agar tetap efektif dan mendukung perubahan haluan dalam pemberantasan malaria dalam konteks kesehatan global yang berubah dengan cepat, Program Malaria Global harus menyempurnakan fokusnya dan menyesuaikan cara kerjanya saat ini di ketiga tingkatan, yaitu global, regional, dan negara.
Kementerian Kesehatan RI menyebutkan bahwa pada 2023 Indonesia masih menempati posisi kedua kasus malaria tertinggi di Asia setelah India. World Malaria Report 2023 mencatat bahwa Indonesia menyumbang sekitar 94 persen kematian akibat malaria di seluruh kawasan WHO Asia Tenggara, meskipun ada penurunan angka kejadian malaria sekitar 25 ribu kasus dibandingkan tahun 2022.
Kementerian Kesehatan RI memastikan bahwa capaian program malaria saat ini masih sesuai jalur, yang dibuktikan dengan tercapainya target eliminasi malaria di kabupaten/kota sesuai dengan target yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Pada 2023, 389 dari target 385 kabupaten/kota telah mencapai eliminasi malaria. Bahkan, per Maret 2024, jumlahnya naik menjadi 393 dari target 405 kabupaten/kota.
Meskipun demikian, upaya penanggulangan malaria akan lebih menantang karena daerah-daerah yang belum mencapai eliminasi adalah wilayah yang masih endemis malaria, terutama di kawasan timur Indonesia. Menurut data Kementerian Kesehatan, pada 2023, wilayah Indonesia bagian timur menyumbang 80 persen kasus malaria nasional, di antaranya di Papua, Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan.
Pemerintah daerah bisa melakukan intervensi untuk menekan laju kasus malaria ini dengan cara meningkatkan surveilans dengan melibatkan analis, bidan, dan dokter. Pemerintah daerah juga didorong untuk melakukan mass blood survey (MBS) dan indoor residual spraying (IRS) di wilayah endemis tinggi hingga pembentukan kader malaria untuk pemantauan situasi. Kementerian Kesehatan juga mendorong pelibatan masyarakat dalam upaya penyelidikan epidemiologi penyakit malaria di lingkungan mereka.
Kementerian Kesehatan juga telah menjadikan lima provinsi sebagai percontohan bagi daerah lain dalam pemberantasan malaria, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, dan Bali. Pada agenda puncak peringatan hari malaria sedunia pada 2023 di Titik Nol Ibu Kota Nusantara, Kementerian Kesehatan menyerahkan sertifikat bebas malaria kepada 30 kabupaten/kota yang berhasil mengeliminasi malaria pada tahun tersebut.
Apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan dan capaian program eliminasi malaria saat ini sejatinya telah mewujudkan prinsip-prinsip kesetaraan yang mendasari strategi operasional baru WHO. Dengan begitu, terbuka harapan besar target-target penting dalam strategi global WHO pada 2030 dapat tercapai di Indonesia.
Penulis: Tim Redaksi Mediakom