Sosok yang baru menapaki bulan ke lima sebagai irjen ini mengatakan bahwa Kementerian Kesehatan memiliki struktur dan anggaran yang besar, di tahun 2016 Kementerian Kesehatan mengelola anggaran sebesar Rp 75 triliun yang akan diserap oleh 1400 satuan kerja (satker). Sehingga pengawasan yang harus dilakukan memang akan sulit luar biasa. Oleh karena itu sejak memangku jabatan sebagai Irjen, Purwadi menjalani konsep bahwa saat petugas Irjen masuk ke satker maka ia akan berperan sebagai pendamping dan bukan pengawas.“Jadi pengawasan dilakukan oleh masingmasing
satker. Ketika mereka menemui kesulitan Irjen akan membantu dan ketika mereka tidak menemukan jalan maka wajib ditolong, jadi bukan mengawasi atau memelototi. Karena tidak mungkin mengamati satu per satu 1400 satker yang ada. Itu tugas berat pastinya, tetapi karena tanggung jawab, kita harus melaksanakan dengan pendekatan dari hati ke hati”, ujar Purwadi.
Instrumen Menekan Penyimpangan
Pendekatan hati ke hati ini dilakukan dengan menggunakan instrumen, seperti pendidikan dan budaya anti korupsi. Hal ini mulai dilakukan pada para anak didik yang akan menjadi generasi penerus di Kementerian Kesehatan
melalui pendidikan formal di Politeknik Kesehatan (Poltekkes) maupun diklatdiklat struktural fungsional. Intinya konsep budaya anti korupsi disampaikan lewat meteri pendidikan.
“Intrumen lain yang bisa diterapkan berupa unit pengendalian gratifikasi, sebagai alat untuk kontrol diri, whistle blowing system, untuk mendorong para aparat Kementerian Kesehatan untuk melaporkan apabila melihat penyimpangan agar segara dapat diperbaiki,’’ tutur Purwadi.
Sementara ada instrumen lain yang juga bisa digunakan, seperti melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan Laporan Harta Kekayaan Aparatur Sipil Negara) LHKASN, jadi tidak hanya
pejabat saja tetapi sampai ke aparat yang paling rendah pun wajib melaporkan kekayaannya sebagai upaya pengendalian diri. Semua instrumen ini digunakan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penyimpangan.
Menurut Irjen yang mantan Sesditjen Binfar Alkes ini, penyimpangan dapat ditekan dengan berbekal hati dan iman, sebab keduanya menjadi faktor pengendali paling utama. Kalau sudah dableg tetap saja sistem akan di tabrak. ‘’Bayangkan kalau ada pejabat tidak mau lapor LHKPN, terus didukung oleh pejabat di atasnya lagi. Celaka, dari situ saja pintu keterbukaan sudah tertutup,’’ ujar Purwadi.
Purwadi menjelaskan instrumen-instrumen itu sudah mulai mengawal agar tidak terjadi penyimpangan. “Sekarang sudah banyak contoh pejabat yang terima gratifikasi terus melapor. Sebetulnya gratifikasi itu ada 2 jenis, yaitu yang mengarah korupsi dan tidak. Memang sangat tipis bedanya, tapi mudah membedakannya. Ketika hati kita merasa ini adalah gratifikasi yang mengarah korupsi kita tolak, tetapi ketika kita tahu ini bukan mengarah korupsi kita terima dan laporkan, selesai’’, ujar Purwadi.
Sebagai contoh, salah satu pegawai mendapatkan makanan, lalu dilaporkan kemudian dibagikan ke staf lalu selesai.’’Ketika mendapat gratifikasi dan arahnya korupsi, pilihannya ada 2, saya tolak mentah mentah atau diterima lalu disimpan dan membuat sakit kepala. Silahkan mau pilih mana?,’’ ujar Purwadi.
Menurutnya, mekanisme Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) itu sudah benar, sebagai contoh, Ibu Menteri Kesehatan ketika menerima buah tangan dari daerah, entah makanan dan sebagainya, diterima makanan itu dibagikan ke semua orang atau dipakai sendiri, tetapi tetap dilaporkan ke KPK,setelah dilapokan ke KPK sudah selesai masalahnya. Sekarang tinggal dipilih.
Keterbukaan dan Keteladanan Pimpinan
Irjen berharap, semua Aparat Sipil Negara (ASN) Kemkes lebih terbuka, sebab ketika melakukan kesalahan yang bukan disengaja, dapat dimaafkan dan bisa dicarikan jalan keluarnya. Kalau tidak terbuka berarti ada dua kemungkinan, takut atau cenderung menyimpan kesalahan atau menyimpang. Auditor juga harus terbuka, jadi tidak mencari kesalahan teman, tetapi menemukan kesalahan untuk memperbaiki bersama-sama. Ini tugas berat Irjen dan Inspektur.
“Sebab masih ada kawan yang model ‘lama’, diplototin terus dicari kesalahannya. Mudah-mudahan dengan komitmen bersama kita dapat lakukan perbaikan bersama”, ujar Purwadi.
Menurut Purwadi, keterbukaan harus mulai dari atas, termasuk komitmen menterinya. ‘’Alhamdulillah, saya paham ibu menteri sekarang dan sebelumnya berkomitmen untuk bersih-bersih. Semuan eselon 1 saya yakini memiliki satu pemahaman. Pasti akan positif mengalir kepada bawahnya,’’ kata dia.
“Saya pernah jadi anak buah, jika punya pimpinan yang tidak neko-neko rasanya enak kerja, tetapi begitu dapat pimpinan yang neko-neko, yang harusnya A jadi B, yang harusnya B jadi A, sakit kepala. Alhamdulillah pimpinan Kementerian Kesehatan tidak neko-neko, jadi enak kerjanya. Saya merasa suasana kebatinan Kementerian Kesehatan sangat mendukung untuk bekerja dengan tenang dan bersih”, ujar pria kelahiran Pontianak ini.
Keteladanan pimpin secara rohaniah dapat menjadi contoh bawahan, tetapi harus selalu didukung dengan instrumen. Misalkan saat menyusun anggaran, harus mereview bersama- sama, untuk
menentukan peruntukkan dan tupoksi secara benar. Berikutnya ketika melaksanakan kegiatan, misalnya pengadaan harus terbuka, instrumenya LPSE. Kemudian ada instrumen e-katalog, lelang barangnya oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa (LKPP). Pengguna di lingkungan pemerintahan dapat langsung order seperti beli barang melalui internet.
Menurut Irjen, tidak kalah penting adalah menyeleksi orang yang akan masuk ke Kemenkes. Kalau seleksinya benar akan terpilih orang yang benar, tidak hanya pintar, tetapi loyalitas pribadi kedepannya juga semakin baik. “Saya merasakan rekruitmen sudah baik, tidak ada masalah dalam 2-3 tahun terakhir ini. Sebab yang masuk bukan anaknya si A atau anaknya si B, sekarang sudah tidak ada lagi itu. Anak siapapun, kalau memenuhi kualifikasi masuk”, ujar dia.
Untuk meningkatkan kualitas pengawasan, sudah beberapa kali pejabat melakukan komitmen, yang terakhir bulan Januari 2015 lalu. Kemudian melakukan kerjasama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) . Ini bagian dari upaya untuk berkerja dengan baik dan jujur. “Saya yakin kedepan penguatan akan pemahaman tentang korupsi, area bebas korupsi, dan hal-hal seperti itu akan selalu terus didengungkan”, ujarnya optimis.
Menurut pria yang lahir tahun 57 ini, orang korupsi paling tidak karena 3 kemungkinan. Pertama, terpaksa karena lingkungan. Contoh paling gampangkalau saya mau jadi koruptor sudah dari dulu, begitu jadi cpns didaerah dengan gaji Rp 27.500, saya jalan kaki dari rumah (rumah tinggal dokter kabupaten) ke kantor jalan kaki ketemu kawan
CPNS, sama-sama bekerja di kantor bupati, tapi mereka naik motor vespa px150 yang keren banget tahun “84”. Dia menegur saya, “Pur kamu gak malu sarjana apoteker jalan kaki? Memang kalau aku jalan kaki ijazahku hilang?’’, jawab saya.
Bayangkan bagaimana orang yang gajinya sama dengan saya bisa naik vespa px150? Kalau dia tidak korupsi, pasti dapat dari orang tua. Nah jika tidak dapat dari orang tua ujungujungnya korupsi. Entahkorupsi waktu, entah korupsi
lainya.
Kedua, ada rasa ingin membahagiakan. Sebagai suami dengan pendidikan sarjana S2, bahkan S3 juga,merasa malu saat istri tak pakai gelang dan sebagainya. Sementara dia tidak mengukur pendapatannya. Tanpa sadar melakukan halhal yang tidak baik.
Ketiga; jangankan orang miskin, orang kaya saja jika memang sudah tabiatnya akan korupsi.
“Sedangkan yang paling sulit, apabila seseorang selalu akan memanfaatkan setiap aturan-aturan yang ada bolongnya. Nah orang seperti ini harus terus diawasi, tidak bisa dari hati ke hati. Kalau kasus pertama tadi, cukup minta KH. Prawito kasih ceramah sudah selesai, tetapi yang ketiga ini harus ceramah KPK. Saya kira itu tiga
penyebab utama. Kalau yang lain dapat kombinasi, ada kesempatan, ada kebutuhan, terjadilah korupsi”, ujar
Purwadi.
Kode Etik Auditor
Sebagai sosok pengawas itu tidak mudah. Ada saja godaan yang menyertai, sekalipun rambu-rambu sudah terpasang dan tersedia. Nah, agar pengawas tidak terjabak atau menjebakkan diri, makasetiap pengawas harus taat rambu dan kode etik, agar tidak menimbulkan masalah.
Menurut Irjen, pegawai Itjen atau auditor harus mematuhi kode etik, meresapi dan memahami. Selain itu ada standar audit yang harus dipenuhi. Tak kalah penting mereka harus paham siapa yangdiaudit dan program apa
yang diaudit, sehingga tidak salah. Misalnya, pemahan auditor adalah A sedangkan dimata kawan-kawan program itu sebagai B. Akhirnya dapat menyalahkan mereka, karena petugas itjen punya otoritas. Tapi tanpa sadar sebetulnya petugas itjen yang salah. Sebagai contoh, saat ke Manado, ada pengaduan dimana Ketua Jurusan Gizi melapor yang isinya diminta oleh auditor untuk membeli barang-barang lokal, sementara harus menyajikan masakan menu internasional, yang menurutnya aneh.
“Kalau menu internasional bahan bakunya juga harus impor dong, agar taste-nya ketemu, cara motongnya seperti daging impor seperti apa, tentu beda dengan daging lokal. Daging sapi lokal dan impor yang dikasih sake akan beda. Sebab cara membesarkan sapinya beda antara luar negeri dan lokal”, ujarnya.
Pengaduan lain dari bagian gizi, diminta beli barang satu paket, padahal barang segar, belinya tiap hari dan di pasar tradisional. Pasar tradisional tidak ada kuitansi. Jadi sebetulnya disamping etika pengawasan standar audit, auditor juga harus meresapi apa yang dilakukan oleh kawan-kawan, sehingga paham nuansanya. Kalau nuansanya dapat tertangkap dan paham, tentu dapat mengkaitkan dengan peraturan, etika dan sebagainya.
Dan saat ke Salatiga kemudian ke Semarang melihat survey vektor, kata Purwadi, kalau saya waktu itu menjadi auditor mereview RK-AKL saya harus bantu mereka. Mereka jam 6 malam duduk manis tidak tidur sampai jam 6 pagi dan dibayar sesuai standar biaya umum (SBU) untuk tangannya, badannya digigit nyamuk, terus teman lain bertugas mengambil nyamuk tersebut.
“Itu tidak tepat, seharusnya auditor paham akan hal itu dan mengusulkan agar SBU-nya berubah, paling tidak auditor meminta agar mengusulkan standar biaya khusus (SBK). Saya bilang sama Prof. Tjandra, tidak bisa memakai SBU setidaknya harus SBK karena kasian teman-teman”, kata Purwadi.
Bersikap Wajar
Di sisi lain sebagai auditor juga menerima banyak godaan. Paling sering ketika datang ke daerah lalu dijemput, tanpa sadar itu gratifikasi. Tinggal melihat menjemputnya pakai apa, apakah memang ada dalam DIPA anggaran untuk menfasilitasi atau tidak. “Saya lebih aman dalam DIPA Itjen muncul, transport untuk Pak irjen ke daerah, jadi ada anggaran dapat digunakan sewa mobil. Kalau memang anggaran untuk jamuan tamu di DIPA-nya ada, tidak masalah, tetapi ketika tidak ada terus cari-cari hal lain, ngumpetin dari lain itu yang jadi masalah, saya minta sama teman teman kalau tidak terpaksa janganlah, saya sudah meminta Ibu Ses untuk melihat lagi RKKL kita, ada atau tidak komponen- komponen yang bisa kita masukkan sehingga nyata dan secara administratif keuangan bisa dipertanggungjawabkan,’’ tutur dia.
Dan buah tangan atau oleh oleh juga jadi masalah, ada dua hal yang muncul, ketika ditolak akan menyinggung perasaan karena adat ketimuran atau sebaliknya memaksa untuk menyiapkan oleh-oleh, sebaiknya tidak, belilah oleh-oleh sendiri. Tetapi ketika dikasih, kata Purwadi, kita harus liat nilainya, ini wajar atau tidak, ketika tidak wajar pasti ada sesuatu yang tidak pas, misalnya ke Jogja lantas diberi ampyang 1 kotak, itu tidak masalah, nah ketika dikasih 1 keranjang baru dipertanyakan.
‘’Jadi kita harus melihat ada sisi baiknya adat ketimuran, bahwa saling menghargai itu ada, tetapi jangan dijadikan alasan untuk memaksa orang untuk memberi sesuatu ke kita, dan rasanya teman-teman saya sudah berubah semua. Dan sejak bulan ini saya tanya ke daerah, ada gak anak buah yang aneh-aneh, saya rasa sudah enggak tuh,’’ tutur Purwadi.
Semua akhirnya tergantung setiap individu, jika tahan godaan maka tidak akan tergoda, tetapi kalau kita pinginnya digoda ya terjadi. Tetapi Purwadi juga menyampaikan ke teman teman Satker untuk bersikap wajar, kalau menjamu menggunakan dana di DIPA untuk pos jamuan tamu. ‘’Ya kalau hanya sekedar makan malam bersama yang tidak ada kaitannya dengan deal tertentu ya boleh saja. Ketika saya harus ketemu Mas Prawito terus makan bersama terus bayarnya paruhan, ya kan gak logislah, atau bayar masing-masing. Itu benar, tapi tidak elok ya rasanya,’’ kata dia.
Purwadi menambahkan tapi kalau saya ketemu Kepala Dinas di daerah dan kebetulan temen sekolah seangkatan lalu dia mentraktir saya, ya saya terima, bukan sebagai kepala dinas tapi sebagai teman. Itu semua kembali ke hati nurani, kuncinya di hati nurani, saat mana gratifikasi itu mengarah korupsi, saat mana gratifikasi itu bukan bagian dari korupsi, yang tahu hanya hati.
Purwadi mengatakan yang harus dicermati ketika pergi ke daerah dan dibayarkan hotel dan tiket. ‘’Itu pasti ketahuan, sekarang kan di BPK sudah online, jadi nama yang sama dipakai dua institusi bisa ketemu lho! Dan orang-orang yang tidak tahu harus kita kasih tahu,’’ ujar dia.
Besar Pasak daripada Tiang
Purwadi mengatakan sudah saatnya seperti peribahasa dahulu “besar pasak daripada tiang” itu perlu di sosialisasikan lagi. Itu kan artinya pengeluaran lebih besar daripada pendapatan. Seharusnya pengeluaran harus lebih kecil daripada pendapatan.
Dan khusus bagi PNS, menurut Purwadi, jangan tugas ke daerah, perjalan dinas dijadikan sebagai salah satu penghasilan, yang harus dilihat adalah gaji yang diterima dan ditransfer ke rekening tiap bulan.‘’Kalau kita perpedoman pada pendapat itu kita bisa mengerem kebutuhan kita, lebih tepatnya keinginan kita,’’ tutur dia. Sekarang kalau kita ngitungnyangukurnya berapa kali dalam sebulan dapat jalan dapat SPPD terus itu jadi standar untuk hidup akan banyak persoalan kedepannya.
Pertama dia bakal berantem sama atasannya jika tidak dikasih perjalanan dinas, staf berantem dengan kepala seksi. Purwadi mengaku hampir pensiun dan tidak pernah menghitung perjalanan ke daerah (selain gaji) sebagai dasar untuk menghitung kebutuhan, sehingga dipindahkan kemanapun, ada seksi atau bagian atau subdit atau direktur atau ses atau irjen sekarang ini yang tidak jalanjalan tidak menjadi masalah, karena standar hidup berdasarkan gaji itu, itu yang diatur untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Cari Cara Positif
Kalau betul-betul dikalkulasikan ternyata penghasilan tidak mencukupi kebutuhan, ada upaya yang bisa dilakukan dan positif. Misalnya buka warung di depan rumah untuk menambah penghasilan agar dikepalanya tidak hanya berpikir cara mendapatkan uang dengan mudah yang menempuh segala cara. ‘’Banyak kok karyawan
yang golongan 2 golongan 3 punya warung, coba deh kemana mana buka warung. Itu memang jalannya dan jalan bener gitu,’’ kata Purwadi. Dan ada pula yang usaha jual beli mobil, dan bisa. Banyak jalan yang bener.
Pengalaman mengajarkan Purwadi. Ia mengatakan dirinya memang bukan anak orang kaya, sejak kelas 5 SD, untuk
memenuhi kebutuhan sekolah ia berjualan rokok sampai kelas 3 SMA, dengan modal 2.300 rupiah di tahun 1969. Di tengah pendapatan terbatas dan keinginan bersekolah, ia mencari jalan. Untuk itu kegiatan belajarnya bukan dirumah tapi dipinggir jalan menunggu pembeli rokok. Dan ketika saya diterima di Gajah Mada bingung sendiri, wong deso gak punya apaapa bisa diterima di Gajah Mada sekampung saya pada bingung semua gak percaya.
Komitmen untuk Bersih Bebas Korupsi
Untuk mewujudkan Kemkes bersih dan bebas korupsi sebetulnya sudah dimulai. Langkah pertama adalah tanda tangan komitmen pimpinan dan seluruh jajajaran. Harus dipahami dan harusnya dicoba dibuka lagi yang sudah ditandatangani. Itjen membantu melakukannya lewat sosialisasi tentang WBK-Wilayah Bebas Korupsi, wilayah birokrasi bersih dan melayani. ‘’Bukan hanya slogan-slogan yang dimata saya hanya untuk penanda saja, tapi dibalik itu yang paling esensial adalah apakah kita bisa meresapi makna kemudian kita tindak lanjuti dengan tindakan
tindakan yang kongkret, tidak menunggu orang lain mau melakukan tetapi dari diri kita sendiri yang harus melakukan,’’ tegas Purwadi.
Purwadi menjelaskan untuk menjadi orang bersih, tidak hanya auditor, karena menjadi aparat pemerintah
tidak akan kaya sehingga tidak usah memaksa diri untuk kaya. Kalau memang ingin kaya jadilah pengusaha, kalau ingin kayailmu ya jadi dosen, nah itu baru pilihan.
Ketika kita sadar akan pilihan yang diambil, carilah kompensasi yang sesuai. ‘’Kerjalah yang baik, ketika kerjamu baik tetapi tidak dipandang orang, tidakdilihat orang, kamu bisamenjawab, hasil karya yang baik tapi tidak dipandang orang, hakekatnya adalah kompensasi dari pengeluaranmu, dari waktu yang kamu keluarkan, tenaga yang dikeluarkan,’’ tutur Purwadi.
Ketika suatu hari pimpinan ingin melakukan suatu penugasan dan anggarannya ada DIPA siapa yang akan dipilih? Pilih staf yang mau bekerja karena ada duitnya atau pilih staf yang siap bekerja ada atau tidak ada duitnya? ‘’Lama lama model model yang hanya bekerja karena ada duitnya saja tidak akan dipilih oleh siapapun, jadi pilihan pilihan itu tergantung kita juga, bagaimana menempatkan posisi kita ketika menghadapi situsi yang harus kita pilih, ada
kompensasi yang kita dapatkan dari aktifitas kita dan carilah kompensasi yang bermakna,’’ tutur dia.
Hakikatnya adalah ketika orang datang ke unit di Kemkes, tidak ada lagi pikiran “gue dikompasin lagi apa gak”. Kalau persepsi itu sudah hilang berarti WBK dan WBBM tercapai, jadi memang indikatornya sederhana saja dan
gampang.
Di tahun 2014 ada 3 satker yaitu RS Fatmawati, Poltekkes 3, dan RS Karyadi Semarang yang mendapatkan pengahargaan dari Kementerian Kesehatan untuk WBK dan WBBM. Dan untuk tahun 2015 akan bertambah dan sedang dilakukan assesment untuk 16 Satker. Untuk rumah sakit ada 4 yaitu RS Sardjito, RS Sanglah, RS Wahidin dan PMN RS Mata Cicendo ini yang sedang di-review dan di assesment.