Oleh: Prof.Dr.dr.Nila F.Moeloek, Sp.M(K)
Menteri Kesehatan RI
Mediakom Edisi 76 Hal 44-47, November 2016
Keberhasilan pembangunan nasional sangat bergantung pada seberapa jauh kita berhasil merealisasikan tujuan pembangunan kesehatan kita. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan dalam pembangunan kesehatan akan memberikan landasan yang kokoh bagi upaya pencapaian tujuan-tujuan pembangunan nasional secara menyeluruh.
Terdapat berbagai faktor yang menjadi prasyarat utama bagi keberhasilan pembangunan kesehatan, dan salah satu faktor yang paling fundamental dalam menunjang keberhasilan pembangunan kesehatan adalah nutrisi.
Nutrisi dan gambaran pencapaian nasional
Jelas bahwa kekurangan nutrisi berdampak buruk yang signifikan pada kesehatan individu dan masyarakat. Ibu hamil yang tidak cukup gizi akan melahirkan bayi dengan berat badan rendah, dan dengan demikian memiliki risiko yang meningkat terhadap penyakit-penyakit yang mengancam kelangsungan hidup anaknya. Demikian pula, para gadis yang kekurangan gizi berisiko tidak mampu mengandung dan melahirkan anak yang sehat.
Kekurangan gizi ini menciptakan lingkaran jahat (vicious circle) lebih jauh, karena kondisi ini akan menghambat tumbuh kembang anak hingga dewasa. Pada gilirannya kondisi ini akan menghasilkan individu-invidu yang kurang produktif ketika mereka beranjak dewasa, dan bahkan bisa menjadi beban pembangunan. Estimasi yang dilakukan oleh UNICEF menunjukkan bahwa negara-negara di Asia dan Afrika kehilangan sekitar 11 persen dari PNB (Pendapatan Nasional Bruto) setiap tahun yang disebabkan oleh gizi buruk.
Indikator pencapaian status gizi yang ditandai dengan Pemantauan Status Gizi (PSG) 2015 menunjukkan hasil-hasil yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Terutama persentase balita dengan gizi buruk dan sangat pendek yang mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya.
PSG 2015 menunjukkan 3,8% Balita mengalami gizi buruk. Angka ini turun dari tahun sebelumnya yakni 4,7%. Hasil PSG 2015, antara lain menunjukkan bahwa untuk status gizi Balita menurut Indeks Berat Badan per Usia (BB/U), didapatkan hasil: 79,7% gizi baik; 14,9% gizi kurang; 3,8% gizi buruk, dan 1,5% gizi lebih. Sementara untuk status gizi Balita menurut Indeks Tinggi Badan per Usia (TB/U), didapatkan hasil: 71% normal dan 29,9% Balita pendek dan sangat pendek. Dan untuk status gizi Balita menurut Indext Berat Badan per Tinggi Badan (BB/TB), didapatkan hasil,: 82,7% Normal, 8,2% kurus, 5,3% gemuk, dan 3,7% sangat kurus.
Meskipun demikian, terdapat berbagai kondisi kesehatan keluarga yang masih harus ditingkatkan melalui upaya peningkatan gizi keluarga. Peningkatan ini terutama dapat ditempuh melalui akselerasi program-program yang telah ada, seperti Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk Balita dan ibu hamil, maupun pengembangan dan implementasi dari program-program pendamping inovatif lainnya untuk menunjang efektivitas dari program-program yang ada.
Menyikapi tantangan pembangunan gizi
Penting untuk melihat bahwa pencapaian dalam target-target nutrisi terkait secara erat dengan pencapaian bidang-bidang pembangunan lainnya, dan nilai-nilai sosial-budaya dalam masyarakat. Upaya pencapaian dalam bidang nutrisi, misalnya, tidak dapat diisolasikan dari isu-isu utama dalam ketahanan pangan dan pola makan masyarakat kita. Keterkaitan yang kompleks dengan isu-isu pembangunan lain ini merupakan salah satu masalah fundamental yang harus diselesaikan, sebelum kita memusatkan perhatian lebih jauh pada pemenuhan gizi masyarakat.
Secara geografis, malnutrisi umumnya tersebar di berbagai wilayah di tanah air yang memang rentan dengan kerawanan pangan. Malnutrisi juga berkaitan dengan perilaku dan konsumsi masyarakat. Temuan yang diperoleh dalam studi tentang kondisi ketahanan pangan dan gizi di Indonesia, yang dilaksanakan oleh Smeru, UKP4 dan WFP (2014), menunjukkan bahwa malnutrisi juga tersebar dalam semua spektrum pendapatan. Sebagai contoh, prevalensi kondisi kerdil ditemukan cukup tinggi di kelompok rumah tangga terkaya.
Ini menunjukkan bahwa malnutrisi tidak hanya merupakan persoalan yang membelit kelompok berpendapatan rendah dan mereka yang menetap di wilayah rawan pangan, tetapi juga kelompok rumah tangga kaya di wilayah perkotaan.
Pendekatan lintas-sektor dan inovatif
Tantangan dalam upaya meningkatkan status gizi masyarakat menjadi semakin berat jika bidang-bidang pembangunan yang terkait langsung kecukupan nutrisi, seperti ketahanan pangan, infrastruktur, air bersih dan sanitasi, belum berkembang secara optimal. Oleh karena itu, kerja sama lintas sektor antara berbagai pemangku kepentingan terkait, pemerintah, sektor swasta maupun masyarakat madani, merupakan pra-kondisi mutlak untuk meningkatkan status gizi masyarakat.
Berpikir secara kreatif (out-of-the-box) untuk menyelesaikan persoalan dengan melibatkan pemangku kepentingan non-pemerintah, mungkin masih sering menjadi kendala, terutama bagi mereka yang terbiasa berpikir dalam kotak-kotak birokrasi. Tapi tanpa upaya-upaya kreatif dan inovatif yang berkelanjutan seperti ini upaya-upaya dalam meningkatkan status gizi masyarakat akan terus menemui jalan terjal.
Peran pemerintah di tingkat pusat dan daerah
Pemerintah menyadari bahwa meskipun capaian dalam bidang pembangunan kesehatan cukup menggembirakan, diperlukan upaya-upaya terobosan inovatif untuk mengakselerasi kemajuan yang telah dicapai. Partisipasi aktif masyarakat merupakan kunci untuk mengakselerasi kemajuan yang telah dicapai, oleh karena itu program kesehatan dan gizi berbasis masyarakat yang telah dicanangkan pemerintah merupakan prioritas dalam pembangunan kesehatan nasional, dengan penekanan khusus pada pemberdayaan masyarakat, penguatan penyedia pelayanan, serta pemantauan dan evaluasi.
Mengacu pada kondisi pembangunan kesehatan dewasa dan tujuan yang hendak dicapai, diperlukan upaya yang intensif untuk memperkuat pendekatan preventif dan promotif dalam kesehatan. Pendekatan preventif dan promotif ini tercermin secara kuat dalam salah satu program terobosan pemerintah, yakni Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) dan Program Keluarga Sehat melalui pendekatan keluarga.
Sebagai penguatan upaya promotif dan preventif masyarakat, tujuan GERMAS mencakup antara lain: 1) Menurunkan beban penyakit menular dan penyakit tidak menular, baik kematian maupun kecacatan; 2) Menghindarkan terjadinya penurunan produktivitas penduduk; dan 3) Menurunkan beban pembiayaan pelayanan kesehatan karena meningkatnya penyakit dan pengeluaran kesehatan. GERMAS didasari oleh prinsip-prinsip: Kerjasama multisektor; Keseimbangan masyarakat; keluarga dan individu; Pemberdayaan masyarakat; 4) Penguatan sistem kesehatan; Pendekatan siklus hidup; Jaminan Kesehatan Nasional (JKN); dan berfokus pada pemerataan layanan. Gerakan ini dimulai dengan tiga fokus kegiatan, yaitu: 1) meningkatkan aktivitas fisik; 2) konsumsi sayur dan buah, serta 3) deteksi dini penyakit tidak menular (PTM).
Kebijakan lainnya untuk menunjang pembangunan kesehatan melalui pendekatan preventif dan promotif adalah Program Keluarga Sehat melalui pendekatan keluarga yang dilaksanakan oleh Puskesmas. Karakteristik utama dari program ini adalah: 1) Keluarga sebagai sasaran utama; 2) Penekanan pada aspek promotif dan preventif, disertai penguatan upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM); 3) Kunjungan rumah secara aktif untuk peningkatan outreach dan total coverage; 4) Pendekatan siklus kehidupan atau life cycle approach.
Untuk memastikan agar baik GERMAS maupun Program Keluarga Sehat dapat berfungsi secara optimal, perlu dilakukan pembinaan pada Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan di tingkat masyarakat. Pembinaan tersebut terutama mencakup penyiapan data-data berbasis keluarga di wilayah kerja dan pelayanan sesuai dengan permasalahan kesehatan berbasis keluarga. Untuk memperkuat sistem kesehatan, akses dan kualitas layanan kesehatan juga perlu ditingkatkan. Selain itu, penguatan regulasi, manajemen dan struktur organisasi perlu dilakukan dalam upaya mendukung program GERMAS dan Keluarga Sehat.
Untuk memastikan adanya standar pelayanan yang baku dan koordinasi yang efektif antara pusat dan daerah saat ini Kementerian Kesehatan bersama Kementerian Dalam Negeri sedang menyusun RPP Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan revisi peraturan tentang Struktur Organisasi Dinas Kesehatan. SPM ini mencakup ketentuan mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan pemerintahan wajib yang berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal.
Terkait erat dengan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat dan Program Keluarga Sehat adalah Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan in merupakan salah satu jawaban terhadap permasalahan status gizi masyarakat dengan meletakkan fokus yang kuat pada pendekatan lintas-sektor. Gerakan ini bertolak dari dasar pemikiran bahwa periode terpenting dalam kehidupan manusia adalah masa 1000 hari pertama dalam kehidupan, yang mencakup 270 hari dalam kandungan dan 730 hari setelah kelahiran. Kekurangan gizi selama periode tersebut akan memengaruhi secara negatif tumbuh kembang anak, mengakibatkan kondisi kerdil, kurus kering atau pun obesitas, dan pada gilirannya memperburuk kualitas hidup di masa dewasa.
Sebagaimana telah disinggung di atas, salah satu fokus GERMAS adalah pemenuhan kebutuhan gizi melalui konsumsi sayur dan buah sebagai landasan mewujudkan kehidupan keluarga yang sehat.
Hal ini antara lain ditandai dengan adanya perhatian serius yang diberikan Presiden Joko Widodo melalui kunjungan kerjanya ke 10 wilayah kabupaten/kota untuk mendapatkan informasi secara langsung tentang status kesehatan dan gizi masyarakat di wilayah-wilayah tersebut. Kesepuluh wilayah tersebut mencakup Nias, Sibolga, Lebak, Pandeglang, Serang, Kab. Bandung, Kota Bandung, Situbondo, Ponorogo, dan Banyuwangi.
Dari kunjungan Presidentersebut, terlihat bahwa status kesehatan dan gizi di wilayah-wilayah menunjukkan kemajuan yang cukup baik, meskipun di beberapa tempat masih harus diberikan catatan khusus pada masalah kurang gizi dan pendek (stunting).
Memastikan keberlanjutan program-program inovatif
Perkembangan menggembirakan dari observasi di wilayah-wilayah yang dikunjungi di atas adalah keterlibatan aktif pemerintah daerah setempat dalam upaya meningkatkan status kesehatan dan gizi masyarakat setempat. Sebagai contoh, Kabupaten Situbondo mengembangkan dan mengimplementasikan program inovatif dalam bidang peningkatan gizi masyarakat melalui Rumah Pemulihan Gizi (RPG), yang mencakup serangkaian kegiatan mulai dari pemeriksaan status gizi, edukasi gizi hingga pemeriksaan medis.
Sementara itu di Kecamatan Gedebage, Kota Bandung, dilakukan strategi pendistribusian PMT- pemulihan bagi para Balita penderita gizi buruk melalui program OMABA (Ojek Makanan Balita). Contoh di atas hanya segelintir dari berbagai program inovatif yang telah diimplementasikan di berbagai wilayah tanah air dalam upaya menanggulangi permasalahan gizi burukpada bayi dan anak-anak.
Penting untuk memastikan agar berbagai praktik cerdas seperti di atas dapat berkelanjutan hingga berdampak yang lebih signifikan pada upaya penanggulangan gizi buruk di masyarakat. Untuk itu, diperlukan partisipasi aktif dan berkelanjutan dari semua pemangku kepentingan pembangunan yang bersifat lintas sektor, dan aksi partisipatif dari masyarakat sendiri untuk memastikan agar upaya mencapai kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan kesehatan dan gizi dapat direalisasi.