Oleh : Prawito,SKM,MM
Mediakom Edisi 53 Halaman 36 – 37
Wajah Jiman (74 tahun) terlihat sumringah setelah ia selesai menjalani operasi katarak pada mata kirinya. Dia menutup mata sebelah kanan dengan tangan, lalu ia berkata, “padang”, yang artinya terang. Kemudian Jiman menutup mata kiri, kemudian berkata “peteng”, artinya gelap.
Mata kanan Jiman memang belum bisa melihat terangnya cahaya, karena kataraknya belum dioperasi. Petani padi yang tinggal di Desa Pujorahayu, Kecamatan Belitang, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur Sumatera Selatan ini, baru saja menjalani operasi katarak dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di RSUD OKU Timur.
Sambil menunggu operasi mata sebelah kanan dan adaptasi mata sebelah kiri, Jiman sudah mulai ke sawah, melihat tananam padi, singkong, tomat, cabe, pisang, coklat dan memberi makan ikan patin di kolamnya.
“Kolam ini saya isi 2500 benih patin dan 1500 benih mujaher. Saya melakukan ini agar tidak bosan di rumah, sambil menunggu operasi mata sebelah kanan satu bulan lagi,” ujar Jiman dalam bahasa Jawa medhok.
Jiman adalah satu dari 4 juta lebih pendudukan Indonesia yang mengalami katarak. Dari jumlah itu, penderita katarak yang mengalami kebutaan sebanyak 800 ribu orang.
Berdasarkan hasil survei kebutaan pada usia lanjut dan Riskesdas 2013, prevalensi kebutaan masih di atas 0,5 persen pada kelompok umur tertentu. Secara nasional dari semua kelompok usia, prevalensi kebutaan sebesar 0,4 persen dan katarak 1,8 persen serta severe low vission sebesar 0,9 persen
Apabila dikonversi dalam jumlah absolut penduduk Indonesia usia 6 tahun ke atas maka diperoleh data: jumlah penderita kebutaan sebesar 898.856 orang, severe low vission sebesar 2.022.427 orang dan penderita katarak 4.044.854 orang.
Menurut dr. Edy, spesialis mata yang bekerja di RSUD OKU Timur, dua penyebab terbanyak gangguan mata adalah refraksi dan katarak. Keduanya dapat ditangani dengan hasil yang baik dan cost-effective di berbagai negara termasuk Indonesia
“Apalagi dengan JKN, masyarakat dapat dengan mudah mengatasi masalah katarak. Satu pekan hampir 80 pasien katarak dapat dioperasi. Saya bangga membantu mereka dapat melihat kembali, setelah bertahun-tahun tak melihat,” ujarnya.
Katarak dan Cataract Surgical Rate (CSR)
Katarak atau kekeruhan lensa mata merupakan salah satu penyebab kebutaan terbanyak Indonesia maupun di dunia. Perkiraan insiden katarak adalah 0,1 persen per tahun atau setiap tahun di antara 1.000 orang terdapat seorang penderita baru katarak. Penduduk Indonesia juga memiliki kecenderungan menderita katarak 15 tahun lebih cepat dibandingkan penduduk di daerah subtropis. Sekitar 16- 22 persen penderita katarak di Tanah Air, dioperasi pada saat berusia di bawah 55 tahun.
Masih banyak penderita katarak yang tidak mengetahui jika mereka menderita katarak. Hal ini menjadi penyebab dari tiga terbanyak alasan penderita katarak belum operasi.
Hasil Riskesdas 2013 menujukan 51,6 persen penderita katarak belum dioperasi, karena tidak mengetahui menderita katarak. Sebanyak 11,6 persen karena tidak mampu membiayai dan 8,1 persen karena takut operasi.
Pada 2006 WHO menyebutkan angka Cataract Surgical Rate (CSR) Indonesia berkisar 465. CSR adalah angka operasi katarak per satu juta populasi per tahun. Angka CSR dihitung melalui pengumpulan data jumlah operasi katarak yang telah dilakukan per tahun di suatu daerah per negara per satu juta populasi.
Data 2006 itu adalah data terbaru. Sampai saat ini belum ada data lagi yang menyebutkan berapa sebenarnya angka CSR Indonesia.
Hal ini kemungkinan karena belum adanya sistem pengumpulan data operasi katarak yang baik dan belum ada sistem pelaporan yang baik pula. Persatuan Dokter Mata Indonesia (Perdami) pernah menyebutkan pada pertemuan tahun 2012 bahwa kemungkinan angka CSR Indonesia berkisar 700-800, namun ini tentunya memerlukan pembuktian data yang baik.
Bila kita mengacu pada indikator CSR, katakan Indonesia mentargetkan CSR 2000, maka diperlukan jumlah operasi katarakuntuk populasi Indonesia (estimasi 250 Juta) adalah sebesar 500.000 operasi katarak per tahun.
Menurut Perdami estimasi kemampuan operasi katarak oleh dokter-dokter mata di Indonesia pertahunnya berkisar 150.000-180.000. Perhitungan kasar ini menunjukkan bahwa untuk mencapai angka CSR 2000 saja, Indonesia mempunyai back log operasi katarak sebesar 320.000-350.000 per tahunnya.
Hasil survey Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) di Sulsel dan NTB mendapatkan hambatan terbesar penderita katarak yang tidak dioperasi katarak adalah tidak adanya akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan mata khususnya katarak dan merasa belum memerlukan tindakan operasi katarak.
Kedua hambatan ini menunjukkan belum semua kabupaten/kota mempunyai layanan kesehatan mata, khususnya bedah katarak terutama pada daerah yang lokasinya jauh.Di samping itu, kesadaran masyarakat masih kurang untuk kualitas kehidupannya dari segi penglihatan.
Dokter Spesialis Mata (SpM)
Penanganan gangguan penglihatan membutuhkan tenaga dokter spesialis mata. Sampai dengan Desember 2013, jumlah dokter spesialis mata yang terdaftar di Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) adalah sebanyak 1.455 orang. Jumlah dokter spesialis mata yang terdaftar di Pengurus Pusat Perdami adalah sebanyak 1.522 orang dan residen mata sebanyak 612 orang. Dengan demikian secara nasional satu dokter spesialis mata rata-rata melayani lebih dari 160.000 penduduk.
Angka ini masih sangat jauh dibandingkan standard WHO, yaitu 1:20.000. Persebaran spesialis mata juga belum merata. Seharusnya setiap kabupaten/kota setidaknya terdapat seorang dokter spesialis mata untuk memudahkan akses masyarakat. Namun jika dilihat jumlah dokter dan jumlah kabupaten/kota di masing-masing provinsi terlihat ada provinsi yang jumlah dokter spesialis mata kurang dari jumlah kabupaten/kota dan sebaliknya terdapat provinsi yang memiliki dokter spesialis mata yang banyak. Seperti DKI Jakarta, mempunyai rasio dokter spesialis mata per kasus 86, sedangkan NTT mempunyai rasio 4,430. Sangat tidak merata.
Selanjutnya jika jumlah dokter SpM disandingkan dengan kasus kebutaan, maka terlihat rasio terbesar terdapat pada Provinsi Sulawesi Barat (1:4.000 kasus kebutaan), Provinsi NTT (1: 4.000 kasus) dan Provinsi Lampung (1: 1.700 kasus). Sedangkan Rasio terkecil terdapat di Provinsi DKI Jakarta (1: 86 kasus), Provinsi DI Yogyakarta (1: 105 kasus) dan Provinsi Sumatra Barat (1: 205 Kasus).
Jika kebutuhan tenaga Dokter SpM dikaitkan dengan standard yang diberlakukan oleh WHO, yaitu perbandingan 1:20.000 penduduk maka terlihat belum ada satu provinsi pun di Indonesia yang memenuhi syarat tersebut. Hanya DKI Jakarta saja yang mendekati kriteria WHO tersebut.
Pertanyaanya, bisakah pertumbuhan dokter Spesialis Mata berpacu dengan percepatan bertambahnya kasus katarak baru sebesar 250.000 penduduk per tahun? Problematika ini harus dicarikan jalan keluarnya sesegera mungkin.
Di samping pengobatan, pemerintah juga harus terus menggiatkan program promotif dan preventif agar katarak bisa dicegah. Sekurangkurangnya pemerintah bisa memperlambat percepatan bertambahnya kasus baru katarak dan kebutaan. Inilah tantangan masa depan kita semua. Mengubah penderita katarak yang “gelap” menuju terbit “terang” di mata mereka.