Oleh: Prawito
Jemaah haji tahun 2017, memiliki rata rata di atas 60 % risiko tinggi. Mereka menggunakan gelang merah, kuning dan hijau. Bahkan kalau dilihat per kloter ada yang jemaahnya 70 sampai 87 % risti. Jemaah risti memiliki riwayat sakit seperti jantung, hipertensi, gula darah dan penyakit lain yang telah di bawa dari tanah air.
Kloter jemaah haji dengan banyak ristinya ini, ibarat kendaraan atau mobil tua. Roda kendaraan sudah gundul, radiator bocor, air mudah habis. Baut-bautnya sudah tua, tak kuat lagi, mudah copot. Bodi kendaraan sudah banyak karat, berjalan sebentar mesin panas dan keluar asap. Lampu juga sudah tak dapat menyala, apalagi klakson sudah lama tak berfungsi.
Nah, kendaraan tua ini sudah menempuh perjalanan panjang dari Indonesia, Makkah, Arafah, Musdalifah dan Mina ( Armina). Perjalanan yang sungguh melelahkan, apalagi ditambah cuaca panas yang sangat tidak bersahabat, sangat besar memperburuk kesehatan, apalagi risti dan lansia.
Kini, kendaraan itu dalam keadaan terparkir dengan banyak onderdil yang harus diganti dan mesin yang harus mendapat perbaikan. Misalnya, mengganti roda yang gundul, menservis mesin dan mengganti oli, tapi juga ada yang harus turun mesin, bongkar total.
Kendaraan itu sekarang adanya di Madinah, setelah melaksnakan ibadah armina dari Makkah. Banyak yang jantungnya kumat, gula darah naik atau ngedrop, hipertensi, ispa dan banyak lainya telah menggerogoti kendaraan tua itu.Mereka harus mendapat perawatan yang maksimal, bila tak ingin rusak menjadi barang rongsokan.
Madinah, adalah tempat singgah jemaah haji melaksanakan arbain, shalat berjamaah di masjid Nabawi dalam 40 waktu, hukumnya sunah, tak ada hubungan dengan prosesi ibadah haji yang masuk dalam katagori syarat, rukun, wajib dan sunah. Tapi umumnya jemaah haji Indonesia memandang sebagai bentuk ibadah yang penting.
Kendaraan tua dalam kondisi rusak, perlu pengemudi bijak. Tak boleh dipergunakan sebelum masuk bengkel untuk mendapat perbaikan, sehingga layak pakai atau jalan. Untuk memastikan kendaraan dapat menempuh perjalanan sampai tujuan, seperti ibadah arbain dan kepulangan ke Tanah Air.
Pengemudi itu, antara lain Tim Kesehatan, Petugas haji, ketua kloter, ketua rombongan, ketua regu dan pembimbing ibadah. Mereka harus mampu memperkirakan kekuatan kendaraan, apakah mampu menempuh perjalanan berikutnya ?
Kalau mampu, alhamdulillah, kalau tidak jangan paksakan diri, maklum mobil tua, penumpangnya 70% lebih risti. Sebab kalau dipaksakan seperti mengendarai mobil balap, pastinya banyak yang tumbang. Itulah sebabnya, mengapa angka kematian setelah armina lebih banyak, diantara penyebabnya, karena pengemudi kurang bijak.
Mereka kebut arbain, shalat 40 waktu di masjid Nabawi dan ziarah tanpa perhatikan kendaraan yang sudah mulai berasap, besin habis, akhirnya berhenti ditengah jalan sebelum sampai tujuan, yakni tanah air, karena sakit atau meninggal. Sekalipun meninggal adalah taqdir yang tak bisa dihindari, kalau ajal sudah tiba.
Sementara saat ini, 30 September 2017, jumlah jemaah haji meninggal sudah mencapai 625 orang, jumlahnya lebih besar dibanding tahun lalu, padahal musim haji belum berakhir, kurang lebih masih seminggu lagi. Disinilah dibutuhkan pengemudi yang bijak. Bersambung….