Zat Besi memiliki manfaat besar dalam memenuhi kebutuhan gizi, khususnya bagi anak-anak dan remaja. Ibu hamil akan membutuhkan lebih banyak lagi zat besi tapi perlu berkonsultasi dengan dokter kandungan mengenai seberapa banyak dosis tambahan yang ia perlukan.
Zat besi (Fe) adalah salah satu nutrisi penting yang dibutuhkan oleh semua orang, terutama anak-anak dan remaja yang sedang dalam masa pertumbuhan. Nazanin Abbaspour dkk., dalam artikel mereka di jurnal National Library of Medicine pada 2014, menyebutkan bahwa zat besi adalah mineral yang memiliki beberapa fungsi penting. Yang utamanya adalah membawa oksigen ke seluruh tubuh sebagai bagian dari sel darah merah. Zat besi juga penting untuk sistem kekebalan tubuh. Kekurangan zat besi dapat berarti lebih mudah mengalami infeksi, pilek, dan rentan terkena serangan flu.
Tubuh perlu memenuhi kebutuhan rata-rata zat besi harian sesuai dengan standar angka kecukupan gizi (AKG) yang ditetapkan Kementerian Kesehatan pada 2019. Dalam standar AKG, anak di atas satu tahun membutuhkan rata-rata asupan zat besi sebanyak 7-10 miligram per hari. Adapun remaja berusia di atas 12 tahun perlu memenuhi kebutuhan rata-rata zat besi paling tidak 11-15 miligram per hari dan perempuan membutuhkan zat besi lebih banyak. Perempuan dewasa di atas 18 tahun membutuhkan rata-rata 18 milgram zat besi, sedangkan laki-laki 9 miligram saja.
Ibu hamil akan membutuhkan lebih banyak lagi zat besi. Namun, ibu hamil perlu berkonsultasi dengan dokter kandungan mengenai seberapa banyak dosis tambahan yang ia perlukan. Winda Agustina, dalam artikel “Perbandingan Kadar Hemoglobin pada Ibu Hamil yang Mengonsumsi Tablet Besi dengan dan Tanpa Vitamin C di Wilayah Kerja Puskesmas Langsa Lama Tahun 2019” di Jurnal Nasional Ilmu Kesehatan pada tahun 2019 menulis bahwa zat besi merupakan unsur mikro esensial bagi tubuh yang diperlukan dalam sintesis hemoglobin. Bila kadar hemoglobin di bawah normal, akan terjadi anemia. Di Indonesia sebagian besar anemia disebabkan oleh kekurangan zat besi sehingga lebih dikenal dengan istilah anemia gizi besi.
Ibu hamil, yang membutuhkan zat besi lebih banyak, berisiko mengalami anemia bila zat besinya tak mencukupi. Ibu hamil, kata Winda, pada umumnya mengalami kekurangan zat besi sehingga hanya memberi sedikit zat besi kepada janin. Hal ini selanjutnya akan menjadi anemia pada saat kadar hemoglobin ibu turun sampai di bawah 11 gram per desiliter selama trimester ketiga kehamilan.
Defisiensi atau kekurangan zat besi adalah kondisi ketika tidak terdapat simpanan zat besi yang dapat digunakan dan terdapat tanda-tanda terganggunya pasokan zat besi ke jaringan. Namun, menurut Abbaspour dkk., beberapa perubahan fungsional mungkin terjadi tanpa adanya anemia, namun sebagian besar defisit fungsional tampaknya terjadi seiring berkembangnya anemia. Bahkan, kata mereka, bentuk anemia defisiensi besi yang ringan dan sedang dapat dikaitkan dengan gangguan fungsional yang mempengaruhi perkembangan kognitif, mekanisme imunitas, dan kapasitas kerja. Abbaspour dkk. menyebut pula bahwa kekurangan zat besi selama kehamilan berhubungan dengan berbagai dampak buruk bagi ibu dan bayi, termasuk peningkatan risiko sepsis (keracunan darah), kematian ibu, kematian perinatal, dan berat badan lahir rendah. Kekurangan zat besi dan anemia juga menurunkan kemampuan belajar dan berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas.
Defisiensi zat besi, kata Abbaspour dkk., disebabkan oleh menipisnya simpanan zat besi dan terjadi ketika penyerapan zat besi tidak dapat mengimbangi kebutuhan metabolik untuk mempertahankan pertumbuhan dan menggantikan kehilangan zat besi, yang terutama terkait dengan kehilangan darah dalam jangka waktu yang lama. Penyebab utama kekurangan zat besi termasuk rendahnya asupan zat besi yang tersedia secara hayati; peningkatan kebutuhan zat besi akibat pertumbuhan yang cepat, kehamilan, dan menstruasi; serta kehilangan darah berlebih yang disebabkan oleh infeksi patologis dan gangguan penyerapan zat besi.
Menurut Abbaspour dkk. pula, frekuensi kekurangan zat besi meningkat pada remaja perempuan karena hilangnya zat besi saat menstruasi dibarengi dengan kebutuhan untuk pertumbuhan yang cepat. Faktor risiko lain untuk kekurangan zat besi pada wanita muda adalah paritas (jumlah kehamilan yang menghasilkan janin yang mampu hidup di luar rahim) yang tinggi, penggunaan alat kontrasepsi, dan pola makan vegetarian.
Ida Mardalena, dalam bukunya, Ilmu Gizi (2016), memaparkan manifestasi klinis anemia defisiensi besi. Tanda-tandanya meliputi, antara lain, perubahan kulit dan mukosa yang progresif; pucat; lemah; lesu; hemoglobin rendah; sering berdebar; gangguan irama jantung; sakit kepala, dan jantung membesar.
Defisiensi zat besi terjadi, misalnya, ketika kebutuhan fisiologis tidak dapat dipenuhi melalui penyerapan zat besi dari makanan, seperti makan makanan nabati dengan sedikit daging. Menurut Ida, manajemen nutrisi untuk meningkatkan zat besi adalah dalam bentuk obat atau makanan yang mudah diserap dalam diet; memberikan diet daging, ikan, dan unggas; menambahkan vitamin C dalam bentuk obat atau makanan tiap kali makan; serta menurunkan konsumsi teh dan kopi.
Penulis: Redaksi Mediakom