Para peneliti dari berbagai negara bersama WHO merumuskan prinsip-prinsip panduan untuk konten kesehatan mental anak muda.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis laporan tentang hasil diskusi virtual akademisi mengenai konten dalam jaringan (daring) tentang kesehatan mental yang mendukung anak-anak muda pada 6 Februari 2024. Pertemuan para ahli pada 4 Oktober 2023 itu adalah hasil kerja sama WHO dan British Medical Journal (BMJ) dan mengumpulkan 22 pakar kesehatan dari 16 negara dengan latar belakang media digital, kesehatan mental anak dan remaja, serta pencegahan bunuh diri.
Para ahli membahas bukti dan pengalaman terutama yang terkait dengan generasi muda usia 13-17 tahun. Tidak ada pedoman dan rekomendasi resmi WHO yang ditetapkan selama pertemuan tersebut tapi para peneliti merumuskan 10 prinsip panduan untuk konten kesehatan mental yang sesuai dengan perkembangan anak muda. Prinsip-prinsip itu adalah relevansi emosional, strategi praktis, kesesuaian kognitif, bahasa yang mudah dipahami, keragaman dan inklusivitas, cerita kehidupan nyata, keterlibatan visual, kejelasan berbasis bukti, aksesibilitas, serta keselarasan dengan standar hak asasi manusia.
Karena keterbatasan waktu, para peneliti belum dapat menguraikan setiap prinsip tapi mengidentifikasi tema-tema yang berkaitan dengan berbagai prinsip tersebut. Ada delapan tema yang diidentifikasi, yaitu keterlibatan aktif pemangku kepentingan dan kontekstualisasi; informasi berbasis bukti dan komunikasi yang berdampak; memprioritaskan upaya perlindungan, termasuk penghapusan penyebab kerugian; responsif terhadap perkembangan baru; kesesuaian kognitif dan usia; inklusivitas , keragaman, privasi, dan aksesibilitas; memfasilitasi perilaku pencarian bantuan; serta mengurangi stigma dan meningkatkan kesadaran.
Untuk tema tentang keterlibatan aktif pemangku kepentingan dan kontekstualisasi, misalnya, para peneliti menggarisbawahi pentingnya keterlibatan aktif generasi muda dan pemangku kepentingan utama dalam menciptakan konten kesehatan mental yang efektif. Mereka perlu menciptakan konten yang menggabungkan pengalaman hidup sehingga konten tersebut lebih menarik, relevan, dan mencerminkan pengalaman dan perspektif kaum muda.
Dalam aspek kontekstualisasi, konten itu perlu menekankan pentingnya mempertimbangkan konteks budaya, bahasa, aksesibilitas, dan sensitivitas gender. Pendekatan ini mengakui adanya perbedaan besar dalam norma, budaya, ekspektasi masyarakat, dan stigma seputar kesehatan mental serta peluang untuk mendapatkan dukungan formal.
Masalah kesehatan mental remaja mencuat sejak pandemi COVID-19. Menurut WHO, pandemi tersebut secara signifikan memperburuk masalah kesehatan mental, khususnya di kalangan remaja. Menurut survei Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) yang dilakukan pada Januari hingga Juni 2021 mengenai perilaku dan pengalaman remaja, 44 persen responden mengaku merasa sedih atau putus asa hampir setiap hari selama dua pekan atau lebih berturut-turut dan bahkan kurang dari 20 persen responden yang secara serius mempertimbangkan untuk mencoba bunuh diri selama 12 bulan sebelum survei.
Remaja Indonesia juga diperkirakan menghadapi masalah kesehatan mental tapi belum ada data spesifik mengenai mereka. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, 16 juta atau 6,1 persen penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas mengalami gangguan kesehatan mental. Konsekuensi dari kegagalan mengatasi kondisi kesehatan mental remaja akan meluas hingga masa dewasa, berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental, serta membatasi peluang untuk menjalani kehidupan yang baik di masa dewasa. M
10 Prinsip Panduan Konten
Para ahli telah merumuskan sejumlah prinsip sebagai panduan pembuatan konten daring kesehatan mental pemuda. Prinsip-prinsip ini disusun dalam skala prioritas. Artinya, prinsip pertama memiliki prioritas paling tinggi dan prinsip ke-10 yang paling rendah.
- Relevansi emosional. Sensitivitas dan relevansi konten terhadap konteks lokal dan dalam menyasar isu-isu emosional yang dihadapi anak muda sambil mempertimbangkan tingkat perkembangan mereka.
- Strategi praktis. Seberapa efektif konten memberikan nasihat praktis dan strategi penanggulangan yang sesuai untuk kelompok usia sasaran.
- Kesesuaian kognitif. Seberapa cocok konten dengan kemampuan kognitif dan tahap perkembangan kelompok usia sasaran.
- Bahasa. Jenis bahasa yang mungkin lebih dimengerti dan berhubungan dengan kelompok sasaran, misalnya penggunaan bahasa gaul.
- Inklusivitas dan keberagaman. Representasi beragam pengalaman dan latar belakang dalam konten yang sejalan dengan pemahaman perkembangan remaja.
- Pengalaman langsung. Menyertakan orang-orang dengan pengalaman langsung dalam pengembangan konten yang dapat diidentifikasi oleh kelompok sasaran.
- Keterlibatan visual. Seberapa menarik konten secara visual bagi kelompok usia target.
- Kejelasan berbasis bukti. Kehadiran dan kejelasan informasi berbasis bukti yang disesuaikan dengan kelompok usia sasaran.
- Aksesibilitas. Konten dapat diakses oleh kelompok tertentu, misalnya generasi muda penyandang disabilitas.
- Selaras dengan hak asasi manusia. Penyelarasan konten dengan konvensi hak asasi manusia internasional serta pedoman dan undang-undang nasional.
Penulis: Redaksi Mediakom