Pengobatan penyakit demam berdarah dengue sesuai dengan gejala yang dialami penderita. Antibiotik tidak diperlukan selama tidak ada infeksi bakteri.
Demam Berdarah dengue (DBD) telah mewabah di berbagai belahan dunia. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hampir separuh populasi dunia atau sekitar 4 miliar orang tinggal di daerah dengan risiko DBD dan sekitar 100-400 juta infeksi terjadi setiap tahun. DBD ditemukan di daerah beriklim tropis dan subtropis serta sebagian besar di daerah perkotaan dan semi-perkotaan.
Meskipun banyak kasus infeksi DBD tidak menunjukkan gejala atau bergejala ringan, virus DBD dapat memperparah kondisi penderitanya bahkan menyebabkan kematian. Tidak ada pengobatan khusus untuk DBD, tetapi pengendalian vektor, deteksi dini, dan akses ke perawatan medis yang tepat dapat menurunkan tingkat kematian akibat DBD.
Menurut dokter penyakit dalam di Eka Hospital Bumi Serpong Damai, Tangerang, dr. Rudy Kurniawan, Sp. P. D., M. M., M. A. R. S., Dip. T. H., Dip. S. N., DCD, FRSPH, terdapat tiga fase yang biasanya dialami oleh pasien DBD, yang dimulai dari gejala yang muncul pertama kali hingga tahap pemulihan. Fase demam tinggi terjadi pada hari ke-1 hingga ke-3 berupa demam tinggi mendadak yang dapat disertai dengan gejala nyeri sendi, badan tidak nyaman, dan sebagainya.
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), gejala DBD ringan ini sering dirancukan dengan gejala penyakit lain yang menyebabkan demam, sakit dan nyeri, atau ruam. Gejala demam berdarah yang paling umum adalah demam dengan gejala mual/muntah, ruam, sakit dan nyeri pada mata (biasanya di belakang mata), nyeri otot, nyeri sendi, dan/atau nyeri tulang.
Fase kritis terjadi pada hari ke-4 dan ke-5 terjadi ketika demam sudah tidak ada. Pada fase ini, pasien merasa sembuh tetapi kadar trombosit masih turun dan risiko syok justru meningkat. Fase ini merupakan fase yang paling berbahaya.
Menurut CDC, tanda-tanda peringatan biasanya dimulai dalam 24-48 jam setelah demam menghilang. Adapun gejala DBD parah antara lain adalah nyeri perut, nyeri tekan, muntah setidaknya tiga kali dalam 24 jam, pendarahan dari hidung atau gusi, muntah darah atau darah dalam tinja, merasa lelah, gelisah, mudah tersinggung, mengalami syok, pendarahan internal, dan bahkan kematian.
Menurut Rudy, jika gejala menjadi parah di fase kritis ini, pasien wajib dalam penanganan medis atau rawat inap. Namun, pada pasien di fase demam tinggi yang tidak membaik dan/atau disertai berbagai gejala seperti mual/muntah dan nyeri sendi yang tidak tertahankan, dapat dilakukan perawatan lebih awal.
Fase penyembuhan terjadi pada hari ke-6 dan ke-7 ketika jumlah trombosit naik dan kondisi tubuh berangsur pulih meskipun terkadang masih bisa muncul demam. Gejala demam berdarah biasanya berlangsung selama 2-7 hari dan umumnya orang akan sembuh setelah satu minggu.
Menurut Rudy, fase-fase itu umumnya terjadi pada pasien. Akan tetapi, terkadang pasien dapat mengalami variasi di setiap fase dan masih memungkinkan terjadinya infeksi sekunder atau infeksi selain DBD.
Jika Anda pernah menderita DBD di masa lalu, Anda lebih mungkin terkena DBD parah di masa mendatang. Bayi dan wanita hamil memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena DBD parah. Seorang ibu hamil yang terinfeksi DBD juga dapat menularkan virus ke janinnya selama kehamilan atau sekitar waktu kelahiran.
Bagaimanakah langkah-langkah penyembuhan DBD? “Pemberian cairan yang cukup baik melalui oral ataupun infus sesuai indikasi. Selain itu, dapat diberikan obat-obatan simtomatik (pereda gejala) untuk membantu kenyamanan pasien, seperti obat demam dan obat mual. Antibiotik tidak diperlukan selama tidak ada tambahan infeksi bakteri,” kata Rudy kepada Mediakom pada Ahad, 28 April 2024.
Rudy menyarankan masyarakat untuk melakukan pencegahan dengan makanan dan gaya hidup sehat. “Hingga saat ini, tidak ada makanan spesifik yang terbukti bermanfaat untuk mencegah DBD. Makanan dan gaya hidup sehat berlaku umum, misalnya dengan memilih makanan sesuai ‘isi piringku’ dan bijak dalam mengonsumsi gula, garam, dan lemak,” ujarnya.
Rudy juga mengingatkan masyarakat untuk berolahraga secara teratur sebanyak lima kali dalam seminggu dengan durasi minimal 30 menit setiap olahraga. Ia menegaskan bahwa, “Gaya hidup sehat tersebut bermanfaat untuk meningkatkan sistem imunitas kita. Jangan lupa terapkan 5M DBD dan lakukan vaksinasi DBD bila memungkinkan.”
Di luar penanganan medis, masyarakat seringkali memanfaatkan kearifan lokal dalam menangani DBD, seperti mengonsumsi jambu biji merah (Psidium guajava). Menurut Rudy, telah banyak peneliti yang menelaah manfaat jambu biji merah. Ada penelitian di Amerika Selatan yang menunjukkan efektivitas ekstrak etanolik pada jambu biji untuk mempercepat regenerasi trombosit tetapi masih berupa studi laboratorium (in vitro), bukan uji klinis. Ada juga penelitian Thomas Vial dkk., dalam buku Medicinal Plants as Anti-Infectives (2022) yang disunting Francois Chassagne, yang menunjukkan zat jacoumaric acid di daun jambu biji sebagai efek antivirus dengue pada serotipe tertentu yang juga masih berupa studi laboratorium.
Sebuah uji in vitro oleh Jayasekara dkk. yang dipublikasikan di jurnal Alternatives of Laboratory Animals pada 2023 menunjukkan bahwa ekstrak daun jambu biji merah dapat menghambat infeksi virus dengue (belum semua serotipe), tetapi ekstrak bunga maja (Aegle marmelos L.) dapat secara efektif menghambat perkembangan semua serotipe virus dengue. “Semoga di masa mendatang ada uji klinis jambu biji terhadap virus dengue, baik dari ekstrak/zat aktif dan lainnya, sebagai tata laksana penunjang pada pasien DBD,” kata Rudy.
Penulis: Tim Redaksi Mediakom