Pasangan yang menikah dapat memilih alat kontrasepsi yang tepat dan sesuai kebutuhan. Perencanaan keluarga yang matang akan membantu pengembangan diri dan karier.
Setelah menikah, perencanaan keluarga menjadi poin penting untuk dipersiapkan dan dipertimbangkan oleh setiap pasangan. Dengan perencanaan keluarga yang matang, pasangan bisa mengembangkan diri dan karier. Bahkan, kemampuan untuk merencanakan kehamilan, termasuk memilih alat kontrasepsi, juga dipercaya dapat meningkatkan kesehatan mental dan kebahagiaan bagi perempuan. Di sisi lain, kasih sayang dan kebutuhan finansial untuk anak bisa dimaksimalkan.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera menggariskan bahwa keluarga berencana (KB) adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, dan peningkatan kesejahteraan keluarga kecil, bahagia, dan sejahtera. Saat ini, Gerakan Keluarga Berencana Nasional Indonesia telah dianggap masyarakat dunia sebagai program yang berhasil menurunkan angka kelahiran yang signifikan. Perencanaan jumlah anggota keluarga dengan pembatasan bisa dilakukan dengan penggunaan alat-alat kontrasepsi atau penanggulangan kelahiran.
Menurut dr. Jimmy Sakti Nanda B., Sp. O. G., awal kemunculan alat kontrasepsi terinspirasi oleh kebiasaan bangsa Arab yang memasukkan pasir ke dalam rahim unta oleh penunggangnya. Hal semacam itu sudah lama dilakukan pada hewan untuk mencegah kehamilan. Jimmy mengatakan, pada manusia kontrasepsi memiliki kegunaan tertentu sesuai tiga periode usia pemakainya, yaitu untuk menunda kehamilan, menjarangkan kehamilan, dan memberhentikan kehamilan.
Pada usia muda, biasanya pasangan cenderung ingin menunda kehamilan. Pada periode berikutnya, pasangan menjarangkan kehamilan dengan jarak 2-3 tahun antarkehamilan. Periode terakhir biasanya pasangan memberhentikan proses kehamilan. Ketiga periode tersebut bisa saja menggunakan metode KB hormonal seperti suntik, pil KB, dan implan atau metode KB nonhormonal seperti menggunakan kondom atau spiral (IUD) yang masa penggunaannya bisa mencapai 8-10 tahun. Umumnya, efek samping penggunaan alat kontrasepsi nonhormonal lebih sedikit dibandingkan penggunaan alat kontrasepsi hormonal. Setiap pasangan berhak memilih metode kontrasepsi yang mana sesuai dengan kebutuhan dan tujuan penggunaannya.
Jimmy menerangkan bahwa dari sisi keamanan dan kesehatan setiap metode KB pasti memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Misalnya, pil KB memang cenderung mudah didapatkan, aksesnya mudah, dan harganya terjangkau. Namun, penggunaan pil KB harus dilakukan secara disiplin dan teliti karena terjadwal dan harus tepat waktu. Selain itu, ada pula KB suntik, baik per satu bulan atau per tiga bulan, yang juga harus terjadwal secara rutin. Jenis KB implan juga bisa dilakukan dan terbukti aman digunakan hingga 2-3 tahun.
“Pada dasarnya semua alat kontrasepsi ini sudah teruji keamanannya. Namun, memang pada pasien tertentu dengan gangguan pengentalan darah, gangguan pembuluh darah, dan hipertensi yang tidak disarankan menggunakan KB hormonal seperti pil KB atau suntik dan bahkan implan pun tidak disarankan,” ujar Jimmy, dokter yang praktik di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati. “Pasien dengan kontraindikasi seperti itu, merujuk kepada saran Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dapat menggunakan spiral atau alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) seperti spiral yang cenderung compliance dan menghindari hal-hal yang membahayakan bagi penderita gangguan kesehatan tersebut.”
Jimmy juga menjelaskan mengenai penggunaan IUD. Jenis IUD andalan biasanya digunakan selama 8-10 tahun. Saat ini ada ada IUD dengan masa penggunaan lima tahun dengan alasan kekhawatiran IUD bergeser atau berkarat seperti yang telah menjadi rumor medis di masyarakat.
“Tentu masih ada saja rumor-rumor medis lain terkait alat kontrasepsi, misalnya pil KB yang dikatakan membuat pasien menjadi lebih gemuk atau rambutnya rontok. Bahkan, yang lebih ekstrem, ada pendapat tradisional bahwa dengan ber-KB sama dengan membunuh bayi atau nenek moyang akan marah jika menggunakan alat kontrasepsi hingga rezeki akan seret atau mampet,” Jimmy menuturkan. “Hal-hal seperti ini dapat menyebabkan pasien galau sehingga tidak jadi memakai alat kontrasepsi.”
Ada pula rumor-rumor politik dan ekonomi yang mengenai KB, mulai dari akan berkurangnya jumlah penduduk hingga orang asing bisa menduduki wilayah Indonesia atau masyarakat akan lemah dan tidak bisa produktif bekerja. Hal-hal ini bisa saja mempengaruhi pemikiran masyarakat. Namun, pemerintah telah berusaha menekannya melalui pelayanan KB dan pelatihan-pelatihan tenaga kesehatan terlatih di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dan rumah sakit. BKKBN menjamin standar pemasangan alat kontrasepsi oleh tenaga kesehatan terlatih, termasuk USG dan kontrol posisi IUD di rahim pasien.
Memang diperlukan edukasi yang menyeluruh oleh dokter atau bidan kepada pasien mengenai pemilihan alat kontrasepsi yang sesuai dengan kebutuhan pasien. Hal ini termasuk mengenai KB hormonal atau nonhormonal, KB mekanik atau tidak, dan KB jangka pendek atau jangka panjang. Bahkan, perlu penjelasan tambahan mengenai pil KB yang memiliki efek nonkontraindikasi, yaitu pemakainya mendapat efek di luar kontrasepsi seperti kulit bisa menjadi lebih halus dan mengurangi jerawat. Pada dasarnya, selama tidak ada gangguan kesehatan tertentu, pasien bisa memilih alat kontrasepsi apa pun. Edukasi seperti ini dibutuhkan bagi pasien agar mereka dapat memutuskan apakah bisa menggunakan metode KB yang dipilih secara rutin dan bertanggung jawab.
Meskipun demikian, pasti ada efek samping dari proses penggunaan alat kontrasepsi tertentu. Misalnya, terkadang pil KB dapat menimbulkan bercak-bercak atau flek atau tidak mengalami haid atau bisa jadi haid tidak muncul. Tidak semua pasien akan merasakan hal yang sama karena hal ini tergantung proses fisiologis pasien.
Selain beberapa metode KB yang disebutkan di atas, ada juga metode KB tradisional yang sering digunakan masyarakat, yaitu KB kalender. Metode ini berdasarkan pada siklus menstruasi pasien. Jadi, pasien hanya bisa berhubungan badan pada masa tidak subur dalam siklus menstruasinya.
Pembuahan atau ovulasi (masa subur) terjadi pada 14 hari sebelum tanggal menstruasi berikutnya. Dalam hal ini, pasien harus paham betul tanggal pertama menstruasinya dan berapa hari siklus menstruasi yang ia alami. Setiap wanita memiliki siklus menstruasi yang berbeda. Ada yang 21 hari, 28 hari, 30 hari, atau bahkan 40 hari dari menstruasi pertama hingga bertemu menstruasi berikutnya.
Misalnya, seorang wanita mengalami menstruasi pada tanggal 1 dan memiliki siklus menstruasi selama 30 hari. Maka dia akan berada di masa subur selama 14 hari sebelum menstruasi berikutnya, kira-kira pada tanggal 15-16. Di masa ini, sel telur akan bertahan di tuba falopi selama 24 jam, sedangkan sperma yang masuk akan bertahan selama 3-4 hari. Saat itulah peluang terjadinya ovulasi sangat besar dan memungkinkan terjadi kehamilan.
“Nah, pada masa inilah hingga beberapa hari setelahnya tidak boleh berhubungan badan atau bisa saja melakukan senggama terputus. Selain itu, pasien juga dapat menggunakan kondom selama berhubungan badan,” kata Jimmy. “Untuk mencegah terjadinya kebobolan (kehamilan) pada metode KB ini, pasien harus betul-betul mengingat tanggal menstruasi pertama dan siklus menstruasinya.”
Menjaga jarak kehamilan dengan alat kontrasepsi sangat penting, terutama jika ibu baru saja melahirkan karena dampak fisik maupun psikologis dapat saja terjadi pada ibu jika jarak melahirkan terlalu dekat, misalnya baby blues atau postpartum depression (PPD). Pada pasien PPD, hal ini akan mengganggu kondisi psikis ibu pada 1.000 hari pertama kehidupan bayi yang nantinya akan berdampak kepada perkembangan anak dan bisa saja kualitas hidup sang anak menurun di masa depan. Selain itu, jika hamil pada masa menyusui ibu juga harus berjuang ekstra agar bisa memberikan ASI eksklusif yang berkualitas tetapi juga harus tetap bisa menjaga kehamilannya dengan baik.
Kepada pasien yang sedang galau menentukan pilihan, Jimmy berpesan agar mereka aktif menggali informasi, baik dari dokter atau tenaga kesehatan seperti bidan, informasi dari media cetak dan elektronik, atau informasi valid di media sosial. Informasi itu bisa dibandingkan dan dikonsultasikan terlebih dahulu kepada dokter atau bidan agar mereka bisa memutuskan metode KB yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Kebutuhan pasien berbeda pada setiap fasenya. Misalnya, pada pasien dalam fase menunda atau penjarangan kehamilan jangka panjang mungkin lebih condong menggunakan spiral. Pada pasien di fase penundaan jangka pendek dapat menggunakan pil, suntikan, atau implan 2-3 tahun. Bisa juga ada pasien yang menghindari menggunakan kondom atau pemakaian alat dan sebagainya yang bisa diarahkan untuk menggunakan KB kalender.
Untuk wanita di atas usia 40 tahun, yang umumnya tidak mau hamil lagi tapi masih berada di fase produktif, Jimmy menyarankan menggunakan IUD atau sterilisasi (permanen). Misalnya, pemasangan IUD pada usia 40 tahun, lalu IUD bisa dicopot pada usia 47-48 tahun. Jika ada kontraindikasi lain, perlu dikonsultasikan terlebih dahulu.
“Bagi wanita yang telah memasuki masa menopause, yaitu sekitar usia 45 tahun ke atas, tidak perlu lagi menggunakan alat kontrasepsi. Setelah menopause, fungsi hormonal pada wanita sudah menurun tajam sehingga produksi sel telur juga terhenti,” Jimmy menuturkan.
Penulis: Redaksi Mediakom