Jepara, 25 Mei 1899
Kepada Nona E.H Zeehandelaar
Dalam masyarakat Bumiputera, syukurlah kami belum perlu memerangi minuman keras. Tetapi saya khawatir, saya khawatir, kalau sekali -maafkan saya- peradaban Barat memperoleh hak hidup di sini, kami juga akan berjuang melawan kejahatan itu. Peradaban itu suatu berkah, tetapi ada pula buruknya. Keinginan untuk meniru saya kira pembawaan manusia. Perayaan tidaklah sungguh-sungguh, apabila tidak ada minuman keras.
Suatu kejahatan yang jauh lebih jahat lagi daripada minuman keras ada di sini, yaitu: Candu. Aduh! Tidak terkatakan kesengsaraan yang dibawa oleh benda laknat itu di atas negeri saya, pada bangsa saya. Candu adalah penyakit sampar Pulau Jawa.
Ya, candu lebih ganas dari penyakit pes karena penyakit pes pada suatu ketika akan surut. Tapi kejahatan candu bertambah lama bertambah besar, makin meluas dan tidak pernah akan lenyap, hanya karena diawasi pemerintah. Makin banyak orang menggunakan candu di Jawa, akan makin penuhlah kas Negara. Cukai candu adalah salah satu sumber penghasilan yang kaya raya bagi pemerintah Hindia Belanda. Kebiasaan rakyat yang terkutuk itulah yang mengisi dompet pemerintah Hindia Belanda dengan berjuta-juta uang emas.
Banyak orang mengatakan, bahwa mengisap madat itu tidak jahat, tetapi mereka yang mengatakan demikian belum pernah melihat Hindia atau melihat dengan mata buta.