Flu Burung (FB) pada manusia adalah penyakit yang berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) dan pandemik. Sejak dilaporkan pertama kali pada Juli 2005, jumlah kumulatif kasus FB mencapai 189 dengan 157 kematian. Sementara itu, selama Januari – Mei 2012, jumlah kasus FB yang dilaporkan sebanyak 6 kasus dengan 6 kematian. Tahun ini, provinsi Bengkulu dan NTB melaporkan adanya kasus FB pada manusia.
Demikian disampaikan Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (P2B2) Kemenkes RI, dr. Rita Kusriastuti, MSc, dalam presentasinya pada kegiatan Diseminasi Hasil Pembelajaran Implementing The National Strategic Plan for Avian Influenza (INSPAI) in Framework for Pandemic Preparedness, Senin (28/5/12). Hadir dalam kegiatan tersebut, perwakilan WHO Indonesia, dr. Graham Tallis; perwakilan Uni Eropa, Colin Crooks; Sekretaris Komisi Nasional Zoonosis, dr. Emil Agustiono; para Pejabat Eselon II Kemenkes RI, serta undangan yang merupakan perwakilan dari Dinas Kesehatan, Rumah Sakit Umum Daerah, juga para dokter klinik swasta dari berbagai Provinsi di Indonesia.
Menurut dr. Rita, kontak langsung dengan unggas sakit/mati merupakan faktor risiko terbesar penularan FB (45%), namun saat ini kontak tidak langsung atau kontak dengan lingkungan (41%) yang tercemar virus FBjuga perlu menjadi perhatian.
“Kontak tidak langsung dapat terjadi di pasar tradisional, pasar unggas, lingkungan pemukiman dimana pernah terjadi kematian unggas akibat avian influenza (AI), pemakai pupuk kandang yang berasal dari kotoran unggas, lingkungan yang tercemar akibat transportasi unggas atau pembuangan unggas mati yang tidak pada tempatnya”, tambah dr. Rita Kusriastuti.
Dalam presentasinya dr. Rita menyatakan, guna mengantisipasi potensi pandemik FB, Indonesia telah mengembangkan 10 Rencana Strategis Nasional Flu Burung (FB). Kesepuluh strategi tersebut, yaitu Pengendalian highly pathogenic avian influenza (HPAI) pada hewan; Manajemen kasus FB pada manusia, Perlindungan kelompok risiko tinggi; Surveilans epidemiologi pada hewan dan manusia; Restrukturisasi sistem industri perunggasan; Komunikasi risiko, edukasi dan peningkatan kesadaran masyarakat; Penguatan dukungan peraturan; Peningkatan kapasitas; Penelitian kaji tindak; serta Monitoring dan evaluasi.
Lebih lanjut dr. Rita menjelaskan, Uni Eropa mendukung Indonesia dalam melaksanakan rencana strategis nasional untuk FB selama kurun waktu 2007-2011 melalui Program Implementing the National Strategic Plan for Avian Influenza (INSPAI) dengan berfokus pada penguatan manajemen kasus dan pengendalian infeksi, surveilans, program pasar sehat dan komunikasi risiko, serta meningkatkan pemahaman tentang FB melalui penelitian.
Keberhasilan program INSPAI pengembangan 10 ruang isolasi tekanan negatif di 10 RS rujukan FB di Indonesia; program beasiswa Field Epidemiology Training Programme (FETP) bagi 73 petugas kesehatan; percontohan pasar sehat atau Health Food Market (HFM) di 10 lokasi, peningkatan kapasitas melalui pelatihan deteksi dini kasus flu burung bagi 14.500 tenaga kesehatan; pelatihan penanganan kejadian luar biasa bagi 200 petugas surveilans; dan pembiayaan 12 proyek penelitian memberikan kontribusi dalam meningkatkan pemahaman epidemiologi, spektrum klinis dan molekul genetik virus H5N1.
Perwakilan WHO Indonesia, dr. Graham Tallis mengatakan, Konferensi Internasional yang membahas tentang permasalahan Flu Burung dan Pandemi pernah diselenggarakan pada Desember 2007 di New Delhi. Konferensi tersebut menyepakati bahwa diperlukan pemahaman yang lebih baik mengenai penyebab munculnya dan penyebaran penyakit menular berdasarkan prinsip perspektif “One World, One Health” (OWOH) yang saat ini dikenal dengan sebutan ”One Health”. Sebagai tindak lanjut dari Konferensi New Delhi tersebut, World Health Organization (WHO), World Organization for Animal Health (OIE), Food and Agriculture Organization (FAO) mengembangkan kerangka kerja strategis berfokus pada human-animal-ecosystem interface.
“Tahun ini, jumlah kasus FB di Indonesia bukan yang terbesar, tetapi angka kematian atau case fatality rate FB di Indonesia yang tertinggi”, kata dr. Graham Tallis.
Pada kesempatan tersebut, Sekretaris Komisi Nasional Zoonosis, Emil Agustiono, MD, MPH mengatakan bahwa dampak pandemi influenza belum dipahami oleh semua pihak, terutama pihak-pihak di sektor non-kesehatan.
“Masalah FB merupakan masalah multisektoral, sehingga penyelesaiannya pun harus dipikirkan bersama-sama. Yang harus diantisipasi adalah, kecepatan virus AI untuk meyebar, lebih cepat dari kecepatan menyusun regulasi”, ujar Emil Agustiono.
Sementara itu, perwakilan Uni Eropa, Colin Crooks menyatakan keprihatinannya terhadap kasus FB di Indonesia. Colin juga menyatakan bahwa dukungan Uni Eropa dalam program penanggulangan FB di Indonesia adalah untuk menurunkan potensi Indonesia menjadi hotspot pandemi influenza di dunia.
Menjawab pertanyaan media, Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (P2B2), dr. Rita Kusriastuti, M.Sc. menyatakan meskipun jumlah kasus FB di Indonesia berkurang, tetapi tetap harus siaga.
“Meskipun tidak ada kasus, sejumlah 100 RS rujukan flu burung yang tersebar di seluruh Indonesia tetap harus siaga. Bufferstock oseltmivir juga tersedia untuk dua tahun”, kata dr. Rita.
Selain itu, dr. Rita juga menjelaskan bahwa oseltamivir tetap didistribusikan kepada Puskesmas dan rumah sakit yang berada di sekitar distrik yang pernah melaporkan kasus FB.
“Hal ini merupakan bentuk kesiapsiagaan dari Kemenkes untuk meminimalisasi dampak kejadian kasus FB”, terang dr. Rita.
Pada kesempatan yang sama, dr. Rita juga mengharapkan bantuan Dinas Kesehatan dan pelayanan kesehatan di daerah terkait pemantauan tanggal kadaluarsa oseltamivir, pelaporan jumlah yang terpakai, dan pemusnahan oseltamivir yang telah kadaluarsa.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: (021) 52907416-9, faksimili: (021) 52921669, Pusat Tanggap Respon Cepat (PTRC): 500-567 dan 081281562620 (sms), atau e-mail kontak@depkes.go.id