Hasil sidang WHO SEARO pada November 2008 di Jakarta, menetapkan Rabies sebagai prioritas setelah Flu Burung (FB).
Demikian pernyataan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, yang dibacakan oleh Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang, dr. Rita Kusriastuti, M.Sc, pada peringatan Hari Rabies Sedunia (HRS), di Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (9/10). Hadir pada acara ini Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Kehutanan RI, drh. Pujiatmoko, Ph.D; Wakil Bupati Sikka, dan berbagai pihak yang terkait dengan pengendalian Zoonosis.
Hari Rabies Sedunia (HRS) jatuh pada tanggal 28 September. Sebelumnya, Indonesia telah 3 kali memperingati HRS, yakni pada tahun 2009 yang dilaksanakan di kabupaten Tabanan Bali; tahun 2010 di kabupaten Badung Bali dan tahun 2011 di Kota Denpasar Bali. Peringatan HRS kali ini di NTT mengambil tema “Tokoh Agama Peduli Rabies”. Tema ini bertujuan meningkatkan komitmen Pemerintah Daerah dan peran serta masyarakat pada umumnya serta peran aktif tokoh agama pada khususnya dalam program pengendalian Rabies menuju Indonesia Bebas Rabies 2020”.
Rabies adalah penyakit menular akut yang menyerang susunan saraf pusat disebabkan oleh Virus (Lyssa virus). Penyakit ini menyerang manusia dan hewan. Rabies ditularkan kepada manusia melalui gigitan atau jilatan pada luka terbuka oleh hewan yang menderita rabies. Penyakit ini bersifat fatal atau selalu diakhiri dengan kematian namun dapat di cegah.
Hewan yang dapat menularkan rabies adalah hewan berdarah panas terutama anjing, kucing, kera, dan kelelawar. Sapi, kambing dan domba dapat menderita apabila digigit oleh hewan penular rabies. Di Indonesia 98% kasus rabies ditularkan akibat gigitan anjing dan 2% adalah akibat gigitan kucing dan kera.
Gejala rabies pada manusia biasanya diawali dengan demam, nyeri kepala, sulit menelan, hipersalivasi, takut air, peka terhadap rangsang angin dan suara, kemudian diakhiri dengan kematian.
Di Indonesia, rabies pada hewan sudah ditemukan sejak tahun 1884, dan kasus rabies pada manusia pertama kali ditemukan pada tahun 1894 di Jawa Barat. Jadi sesungguhnya penyakit ini sudah ada di Indonesia sejak lama. Sampai dengan tahun 2012 ini kasus rabies menyebar di 24 provinsi di Indonesia, dengan Provinsi Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Bali, Maluku, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Bengkulu, Nusa Tenggara Timur, Lampung merupakan daerah ditemukan kasus rabies pada manusia. Hanya 9 provinsi yang masih dinyatakan sebagai daerah bebas yaitu Provinsi Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, NTB, Papua dan Papua Barat.
Rata-rata selama 5 tahun terakhir (2008 – 12 September 2012) tercatat di Kementerian Kesehatan, terdapat 44.981 kasus gigitan hewan penular rabies dan 40.552 kasus diantaranya mendapat Vaksin Anti Rabies dan sebanyak 51 orang positif rabies.
Sementara itu, situasi rabies di Prov. NTT dilaporkan dari tahun 2008 – September 2012 sebanyak 17.704 kasus gigitan hewan penular rabies, diantaranya 14.578 kasus mendapat Vaksin Anti Rabies dan 97 orang positif rabies (angka kematian 100%). Pada tahun 2012 sampai bulan September dilaporkan sebanyak 1.361 kasus gigitan hewan penular rabies, diantaranya 1.255 kasus mendapat Vaksin Anti Rabies dan 2 orang positif rabies (angka kematian 100%).
Upaya pengendalian rabies telah dilaksanakan secara terintegrasi oleh dua sektor yang bertanggungjawab yaitu sektor Peternakan untuk penanganan kepada hewan penular dan pengawasan lalu lintasnya, serta sektor Kesehatan untuk penanganan kasus gigitan pada manusia dan penderita rabies (lyssa).
Dengan telah diterbitkannya Perpres no 30 tentang Pengendalian Zoonosis yang multisektor dengan melibatkan 17 Kementerian dan Lembaga terlibat didalamnya, sehingga Pengendalian zoonosis terutama rabies dapat lebih efektif dan optimal sesuai harapan yakni Indonesia Bebas Rabies tahun 2020.
Pemerintah telah melakukan upaya untuk pengendalian rabies yaitu dengan Membuat buku pedoman pengendalian rabies; Advokasi; Sosialisasi lintas sektor/lintas program terkait di tingkat daerah; Pembentukan/pengaktifan TIKOR (Tim Koordinasi) Rabies di setiap tingkatan; Pelatihan dan sosialisasi pada petugas kesehatan (dinkes, RS pemerintah/swasta, puskesmas); Pembentukan Rabies Center (pusat penanganan kasus gigitan hewan penular rabies/GHPR, bisa di Puskesmas atau RS); Penyelidikan epidemiologi dan surveilans aktif (pencarian kasus GHPR) secara terpadu; Workshop dan pertemuan expert Pengendalian Rabies; Meningkatkan capacity building petugas dengan mengikuti pelatihan-pelatihan di luar negeri; Pembuatan media penyuluhan rabies; serta melakukan komunikasi, edukasi dan informasi (KIE) kepada berbagai lapisan masyarakat.
Menurut Prof. Tjandra Yoga, pesan bagi masyarakat bila digigit hewan penular rabies (anjing atau lainnya) pertama kali adalah mencuci luka dengan air mengalir dan sabun selama 10 – 15 menit kemudian diberi antiseptik. Segera berobat ke Puskesmas/Rabies Center atau sarana kesehatan lainnya untuk mendapatkan pertolongan dan pengobatan selanjutnya serta vaksinasikanlah hewan peliharaan (khususnya anjing) secara berkala.
Peringatan HRS sedunia di NTT dimeriahkan dengan serangkaian acara, antara lain talk show di Radio lokal, penyuluhan tentang Rabies, pelatihan petugas Rabies Center, jalan sehat dan senam sehat yang diikuti oleh berbagai lintas sektor, Misa syukur di gereja Paroki Nelle, dan lain-lain.
Pada acara puncak kali ini dilakukan penyerahan Vaksin Anti Rabies untuk hewan dan manusia; penyuntikan kepada vaksinator dan anjing milik masyarakat; penyerahan kesepakatan Roadmap Floresta menuju Bebas Rabies tahun 2017 oleh kepada Gubernur NTT; serta pemberian penghargaan kepada mereka yang telah berupaya dengan maksimal untuk pengendalian Rabies di Floresta.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jendral Kementrian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: (021)52907416-9, faksimili: (021)52921669, Pusat Tanggap Respon Cepat (PTRC):