Komitmen pemerintah untuk mengangkat jamu sebagai obat asli Indonesia cukup tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan arahan Presiden RI pada Gelar Kebangkitan Jamu tahun 2008, yang berharap jamu dapat menjadi brand Indonesia serta sebagai modalitas terapi komplementer atau alternatif dalam sistem pelayanan kesehatan formal.
Demikian disampaikan Menteri Kesehatan RI, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH, saat memberikan pengarahan dalam Pelatihan 75 orang penjual jamu yang tergabung dalam Laskar Jamu Gendong di Kampoeng Djamoe Organik Martha Tilaar, Cikarang (30/10).
“Saintifikasi jamu harus ditingkatkan. Jamu harus bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan harus menjadi kebanggaan Indonesia”, ujar Menkes.
Menurut Menkes, wilayah pemanfaatan obat tradisional (jamu) sangat beragam, mulai dari minuman jamu, snack jamu, jamu pada solus per aqua (SPA), jamu untuk kesehatan, bahkan jamu untuk pengobatan alternatif dan komplementer (jamu medik).
Menkes mengatakan, untuk mendorong penelitian jamu di sisi hilir, khususnya jamu medik, Kemenkes telah menerbitkan Permenkes 003/2010 tentang Saintifikasi Jamu.
“Saintifikasi Jamu merupakan program penelitian berbasis pelayanan untuk mendapatkan bukti ilmiah terkait dengan manfaat dan keamanan jamu, yang pada akhirnya didapatkan jamu yang bermutu, aman dan berkhasiat”, terang Menkes.
Menkes menjelaskan, melalui program Saintifikasi Jamu telah dilatih kurang lebih 150 dokter Saintifikasi Jamu yang kini tersebar di wilayah Jawa Bali, baik di Puskesmas maupun Poli Komplementer/Alternatif di Rumah Sakit.
“Dalam waktu dekat ini juga akan dilatih Apoteker Saintifikasi Jamu dalam rangka penyediaan formula jamu sebagai bahan penelitian Saintifikasi Jamu”, tambah Menkes.
Tahun 2012, program Saintifikasi Jamu sedang melakukan uji klinik terhadap empat formula jamu yang dihasilkan Balai Besar Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu, yakni formula untuk anti-diabetes, formula anti-kolesterol, formula anti-asam urat, dan formula penurun hipertensi. Selanjutnya, juga dipersiapkan uji klinik seperti anti-obesitas, anti radang sendi, pelancar ASI, anti-hemoroid, dan sebagainya.
“Melalui Saintifikasi Jamu diharapkan akan didapatkan formula jamu yang terbukti berkhasiat dan aman, sehingga dapat digunakan di pelayanan kesehatan formal atau dipakai secara self-care oleh masyarakat”, tandas Menkes.
Lebih lanjut, Menkes menambahkan, pengembangan jamu tidak hanya terbatas pada wilayah jamu medik untuk terapi komplementer/alternatif saja. Menkes menyatakan jauh lebih penting adalah pemanfaatan jamu sebagai life style, untuk menjaga kebugaran. Dalam pelayanan kesehatan wilayah ini sering disebut upaya promotif dan preventif.
Upaya kerjasama lintas sektoral sangat dibutuhkan untuk mengembangkan jamu Indonesia. Melalui Kementerian Pertanian saat ini tengah dipersiapkan cara pembudidayaan tanaman obat. Selain itu, bersama para ahli, Kemenkes juga telah menerbitkan Farmakope Herbal Indonesia (FHI) dan Vademicum Herbal Indonesia.
Pemanfaatan jamu oleh kalangan medis sudah banyak dilakukan. Beberapa perhimpunan dokter yang telah menggunakan modalitas jamu (herbal), antara lain: Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia (PDHMI), Perhimpunan Dokter Pengembangan Kesehatan Tradisional Timur (PDPKT), Perhimpunan Kedokteran Komplementer dan Alternatif Indonesia (PKKAI), Perhimpunan Dokter Praktisi Awet Sehat Indonesia (PERPASTI), Perhimpunan Dokter Ahli Akupuntur Indonesia (PDAI), dan Perhimpunan Dokter Estetika Indonesia (PERDESTI).
Di akhir kunjungannya, Menkes menyatakan apresiasi atas upaya pengembangan Kampoeng Djamoe Organik (KaDO) Martha Tilaar di Cikarang, yang bermanfaat untuk wisata ilmiah jamu, konservasi tanaman obat, tempat belajar tanaman obat, pembibitan tanaman obat, maupun untuk memproduksi bahan baku obat herbal.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: (021) 52907416-9, faksimili: (021) 52921669, Pusat Tanggap Respon Cepat (PTRC):