Pangan dan gizi merupakan unsur yang sangat penting dalam peningkatan produktivitas nasional dan perbaikan kualitas hidup penduduk. Penyediaan pangan harus memenuhi kebutuhan gizi, keamanan pangan dan terjangkau seluruh individu setiap saat. Ketahanan pangan dan perbaikan gizi merupakan suatu kesatuan. Oleh karena itu, jika kita membahas mengenai ketahanan pangan, kita juga harus membicarakan perbaikan gizi, begitu pula sebaliknya.
Demikian pernyataan Menkes RI, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH, saat membuka kegiatan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi ke X tahun 2012 di Jakarta (20/11). Hadir dalam kegiatan tersebut Menteri Riset dan Teknologi, Prof. Dr, Ir, H. Gusti Muhammad Hatta, MS; Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Prof. Dr. Armida Salsiah Alisjahbana, SE, MA; Kepala Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof. Dr. Lukman Hakim, M.Sc; Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Dra. Lucky S. Slamet, Apt. , M. Sc; Perwakilan dari UN Secretary General for Food and Nutrition, Dr. David Nabarro; dan Team Leader for Healthier Rice and Golden Rice, Network Coordinator IRRI, Dr. Gerard Barry.
“Keadaan gizi masyarakat adalah indikator utama ketahanan pangan, sedangkan kemandirian dan kearifan lokal merupakan perwujudan semangat menuju kedaulatan pangan”, ujar Menkes.
Ketahanan pangan nasional kerap menghadapi tantangan, baik dari lingkungan dalam negeri maupun global.
Tantangan ketahanan pangan yang sering muncul dari dalam negeri seperti penyediaan lahan pertanian produktif, penyediaan infrastruktur pertanian yang memadai, stabilisasi harga pangan dalam negeri, distribusi pangan yang merata dalam lingkup wilayah geografis yang luas, dan menjamin sistem produksi pangan yang tahan terhadap gangguan bencana alam. Sementara itu, di lingkungan global diwarnai oleh perubahan iklim yang sangat drastis; konflik pemanfaatan global terhadap sumberdaya pertanian bagi penyediaan pangan, pakan, dan energi; semakin protektifnya negara maju terhadap produk pangan dan sektor pertanian; serta format perdagangan bebas melalui World Trade Organization (WTO).
“Kondisi global ini mengganggu kapasitas produksi pertanian dan pertumbuhan harga pangan dari beberapa komoditas”, kata Menkes.
Sampai saat ini, Indonesia masih dihadapkan pada masalah gizi. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2010 menunjukkan prevalensi gizi kurang pada Balita masih sebesar 17,9%. Angka ini masih berada di atas target target MDGs pada tahun 2015, yaitu 15,5%.
“Hal lain, prevalensi balita pendek (stunting) juga masih tinggi, yakni 1 diantara 3 anak balita”, tambah Menkes.
Menkes juga menyatakan bahwa di sisi lain, prevalensi gizi lebih semakin meningkat. Saat ini diperkirakan 14,2% balita mengalami gizi lebih atau kegemukan. Bahkan, pada kelompok dewasa, prevalensi gizi lebih mencapai 21%.
“Gizi lebih adalah salah satu risiko utama penyakit tidak menular yang merupakan penyebab utama penyakit tidak menular (PTM) yang merupakan penyebab utama kematian di Indonesia”, tambah Menkes.
Selain itu, dari segi konsumsi pangan, angka Pola Pangan harapan (PPH) yaitu ukuran mutu gizi dan keragaman konsumsi pangan penduduk Indonesia juga masih rendah, ditandai dengan masih rendahnya konsumsi sayur, buah dan pangan hewani.
Menkes mengatakan, dalam meningkatkan ketahanan pangan di era global, kita tidak dapat hanya bertumpu pada beras. Program pangan yang selalu terkonsentrasi pada beras akan menciptakan ketergantungan pada satu komoditi pangan pokok saja. Oleh karena itu, diversifikasi dengan meningkatkan keberagaman ketersediaan pangan, perlu selalu diupayakan.
“Kita juga perlu menyadarkan dan mengubah pola piker masyrakat bahwa makan bukanlah sekedar makan nasi dan asal kenyang, melainkan harus ada keseimbangan gizi”, kata Menkes.
Menkes menyatakan bahwa masalah pangan dan gizi sangat kompleks. Karena itu, upaya penanganannya perlu melibatkan berbagai ahli, disiplin dan profesi. Saya menginginkan agar perencanaan program pangan dan gizi selalu didasarkan pada data yang akurat dan mencerminkan realitas.
Di samping itu, kemajuan ilmu dan teknologi pangan berkembang dengan pesat yang bukan hanya berdampak positif tetapi juga negatif. Dampak positifnya adalah menghasilkan peningkatan kuantitas dan kualitas pangan, lebih higienis, serta lebih ekonomis dan praktis. Sedangkan dampak negatifnya adalah penggunaan zat adiktif dapat membahayakan kesehatan konsumen dan makanan yang dihasilkan banyak mengandung residu pestisida serta obat hewan.
“Pangan yang tidak aman dan tidak bermutu akan menghambat peningkatan derajat kesehatan dan tingkat pendidikan, jika terus dikonsumsi oleh masyarakat”, terang Menkes.
Saat ini, salah satu inisiatif untuk ketahanan pangan dan gizi adalah menghimpun dukungan untuk pelaksanaan Gerakan nasional Sadar Gizi dengan fokus pada Percepatan Perbaikan Gizi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan atau Scaling Up Nutrition.
“Kita sudah memiliki Dewan Ketahanan pangan dan kita mempunyai Badan Ketahanan Pangan yang melaksanakan aspek teknis. Namun, karena persoalan pangan bersifat multidimensi, untuk mewujudkan ketahanan pangan diperlukan sinergi dan partisipasi aktif berbagai Lembaga dan Kementerian”, jelas Menkes.
Setiap empat tahun sekali, Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) diselenggarakan dalam rangka membahas berbagai isu tentang pangan dan gizi yang selalu dinamis. Pertemuan ini dihadiri oleh para pakar dari berbagai disiplin ilmu dan keahlian, dapat dihasilkan pemikiran, ide, dan bahkan angka-angka yang dapat dipakai sebagai bahan penyusunan kebijakan pangan dan gizi.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: (021) 52907416-9, faksimili: (021) 52921669, Pusat Tanggap Respon Cepat (PTRC): <kode lokal> 500-567 dan 081281562620 (sms), atau e-mail kontak@depkes.go.id.