Sebagaimana banyak dilansir di sosial media selama 2 hari ini mengenai rencana Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia (POGI) yang akan melakukan Aksi Solidaritas Dokter se-Indonesia pada Rabu, 27 November 2013. Aksi solidaritas dokter ini dilakukan sebagai bentuk dukungan atas kasus hukum yang menimpa rekan sejawat mereka, yaitu dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian.
Menanggapi hal tersebut, Kementerian Kesehatan RI dalam hal ini Dirjen Bina Upaya Kesehatan Prof. Dr. Akmal Taher, Sp.U(K) telah mengirimkan surat edaran SE No. HK.03.03/1/2016/2013 tertanggal 25 November 2013 kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/kota serta Direktur Utama RS di seluruh Indonesia. Surat edaran berisi 3 seruan, yaitu: 1) agar semua tenaga kesehatan di RS mendukung dengan pita hitam di tangan kanan; 2) melakukan doa bersama untuk kesehatan dan kesejahteraan seluruh rakyat, kesembuhan pasien serta keamanan dokter Indonesia dalam menjalankan tugas; serta 3) memerintahkan agar pelayanan kesehatan berlangsung seperti biasa dan pasien terlayani dengan baik.
Terkait kasus hukum yang menimpa tiga orang dokter spesialis kandungan ini, Menkes dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, telah meminta Jaksa Agung untuk menunda eksekusi (18/11). Selain itu, Kemenkes telah membentuk tim untuk mengadvokasi pengajuan dan percepatan peninjauan kembali. Atas kasus ini, pada prinsipnya Kemenkes menghendaki agar suatu peristiwa hukum dapat ditanggapi dengan tindakan atau proses hukum secara tepat dengan tujuan untuk menempatkan hukum sebagaimana mestinya, sehingga tercipta keadilan.
Sebagaimana diketahui, ilmu kedokteran bukanlah ilmu eksakta dan tidak dapat menjanjikan semua keadaan dapat diatasi atau disembuhkan, meskipun sudah dengan menggunakan standar pelayanan yang terbaik. Mencermati kasus ini, alangkah bijaksana bila yang perlu dinilai adalah apakah dokter telah memilih keputusan dan melakukan prosedur yang seharusnya dilakukan.
Dalam dunia kedokteran juga dapat ditemukan kejadian yang tidak diharapkan (adverseevents) yang sebagian diantaranya adalah kejadian yang tidak dapat dicegah (unpreventable) karena akibat risiko yang inheren yang terdapat pada penyakit atau kondisi pasien serta pada tindakan kedokteran itu sendiri.
Risiko terjadinya emboli udara dan emboli air ketuban pada tindakan bedah cesar adalah risiko yang tidak dapat diketahui lebih dulu (unforeseeable) dan tidak dapat dicegah (unpreventable) karena penyebabnya masih belum seluruhnya diketahui, deteksinya masih sulit karena membutuhkan peralatan canggih, dan penanganannya masih belum seluruhnya dapat terungkap karena terbatasnya keilmuan kedokteran.
Melihat kasus dimana dokter harus mempertanggungjawabkan dengan hukum pidana bila pasiennya meninggal, dapat dianalogikan dengan “patutkah guru dihukum apabila anak muridnya ada yang tidak naik kelas?“ atau “apakah advokat layak dipidana apabila gagal membela kliennya?”
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline