Jakarta, 12 Agustus 2014
Salah satu faktor yang berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak adalah kekerasan pada anak. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA) bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, menyebutkan bahwa prevalensi kekerasan terhadap anak 3,02%. Artinya, di antara 100 anak terdapat 3 anak yang mengalami kekerasan. Kekerasan seksual merupakan jenis kekerasan terbanyak yang ditemukan.
Laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) triwulan 4 tahun 2013 kepada Presiden RI menyebutkan pada tahun 2012 terdapat 1051 anak menjadi korban kekerasan, kekerasan seksual sebanyak 436 kasus (41, 48%). Tahun 2013, terdapat 15 anak per bulan sebagai pelaku kekerasan sensual yang berhadapan dengan hukum. Selain itu, dilaporkan juga terjadi peningkatan jumlah anak pelaku pencabulan dari 162 kasus (15,52%) tahun 2010 menjadi 237 kasus (22, 77%) pada tahun 2013.
Demikian disampaikan Direktur Jenderal Bina Gizi & Kesehatan Ibu dan Anak, dr. Anung Sugihantono, M. Kes, dalam sambutannya saat membuka seminar “Dampak Kekerasan terhadap Tumbuh Kembang Anak”, 12 – 13 Agustus 2014, di Aula Siwabessy, Gedung Prof. Sujudi, Kementerian Kesehatan RI. Seminar yang diselenggarakan oleh Direktorat Bina Kesehatan Anak Kementerian Kesehatan RI ini merupakan rangkaian kegiatan peringatan Hari Anak Nasional Tahun 2014.
Lebih lanjut, dr. Anung menjelaskan beberapa dampak kekerasan terhadap tumbuh kembang anak, yaitu dampak fisik, psikologis, sosial, dan fungsi kognitif yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangannya. “Gangguan pada salah satu tahapan tumbuh kembang anak mempengaruhi proses tumbuh kembang anak selanjutnya dan berdampak pada penurunan kualitas hidup anak,” jelas dr. Anung.
Menurut dr. Anung, kendala yang dihadapi saat ini adalah masih kurangnya kesadaran masyarakat dan petugas kesehatan untuk melaporkan kejadian kekerasan terhadap anak. Salah satu bentuk perlindungan hukum bagi petugas adalah Permenkes nomor 68 tahun 2013 tentang Kewajiban Pemberi Layanan Kesehatan Untuk Memberikan Informasi Apabila Ada Dugaan Kasus Kekerasan Terhadap Anak. “Harus kita sadari bersama bahwa pada dasarnya semua pihak dapat berperan untuk mencegah terjadinya kekerasan pada anak. Peran masyarakat untuk segera melaporkan kejadian mencegah terjadinya kekerasan yang berkelanjutan,” ujar dr. Anung.
Dr. Anung berharap seminar ini dapat meningkatkan kerjasama dan kewaspadaan petugas pemberi layanan kesehatan, pihak berwenang yang terkait, orang tua dan masyarakat terhadap kasus kekerasan terhadap anak. “Dengan memahami begitu banyak dampak negatif yang ditimbulkan, semoga menggerakkan semua pihak untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak,” pungkasnya.
Seminar yang dihadiri oleh unsur Puskesmas, RSUD, Sudinkes, Orang tua, Guru, dan Polsek se-Jabodetabek ini terbagi menjadi 4 topik: (1) “Menciptakan Lingkungan yang Kondusif untuk Mencegah Kekerasan yang Berdampak terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Anak” (Narasumber: DR.dr. Tjhin Wiguna, Sp.KJ); (2) “Permenkes No.68 tahun 2013 dan Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Anak” (Narasumber: Prof. Budi Sampurno, Sp.F); (3) “Kerjasama Antara Kepolisian, Masyarakat dan Media dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Anak” (Narasumber: Bareskrim/Unit Perlindungan Perempuan dan Anak); (4) “Peran P2TP2A dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Anak” (Narasumber: Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak DKI Jakarta).
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 500-567; SMS 081281562620, faksimili: (021) 52921669, website www.depkes.go.id dan email kontak@depkes.go.id.