Menkes dr. Nafsiah Mboi, Sp.A., MPH menyaksikan penandatangan Kesepakatan Bersama antara Kementerian Kesehatan dengan pimpinan PT. Merck Indonesia Tbk, di kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta (14/8). Penandatanganan MoU dilakukan oleh Sekretaris Jenderal Kemenkes RI, dr. Supriantoro, Sp.P., MARS dengan Martin Feulner dan Evie Yulin, Presiden Direktur Merck Indonesia dan Direktur Merck Serono, Divisi Biofarma PT Merck Tbk. Kesepakatan Bersama ini bertujuan untuk melaksanakan upaya peningkatan pengetahuan dan kesadaran bagi masyarakat dan tenaga kesehatan profesional (heath care profesional) khususnya mengenai penyakit tiroid.
Penandatanganan kesepakatan bersama (MoU) dilakukan dihadapan pejabat Kemenkes dan 135 Tenaga Kesehatan Teladan 2014 yang berasal dari 34 provinsi di Indonesia. Penandatangan MoU ini merupakan komitmen Dunia Usaha untuk mendukung dan berperan aktif dalam pembangunan kesehatan, khususnya pada peningkatan upaya promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat.
Menkes menyambut baik upaya ini. Menkes berharap dengan penandatanganan Kesepakatan Bersama ini Kemenkes dan Merck Indonesia akan semakin dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, khususnya dalam pengendalian penyakit tiroid melalui upaya kesehatan promotif preventif berupa promosi kesehatan; deteksi dini penyakit tiroid; dan edukasi mengenai tiroid kepada tenaga kesehatan professional.
Mengenai kerjasama ini, Presiden Direktur Merck Indonesia, Martin Feulner menyatakan, “PT Merck Tbk, bagian dari Grup Perusahaan Merck di Indonesia, sebagai perusahaan yang bertanggungjawab, mendasari kegiatan kami pada kebutuhan para stakeholder kami. Kami bangga bahwa kami dapat mendukung Kementerian Kesehatan dalam edukasi masyarakat mengenai kesadaran terhadap gangguan tiroid.”
Sementara Direktur Merck Serono, Evie Yulin menyatakan bahwa Merck Serono, Divisi Biofarma dari PT Merck Tbk. menyadari bahwa kesadaran masarakat terhadap gangguan tiroid di Indonesia masih rendah. Karenanya, bersama Kementerian Kesehatan kami akan bekerja sama untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai gangguan tiroid dan solusinya melalui cara yang inovatif sehingga memotivasi masyarakat untuk melakukan pemeriksaan dini.
Penyakit tiroid berkaitan dengan iodium. Pada anak usia sekolah kekurangan iodium menyebabkan berkurangnya fungsi kognitif (kemampuan belajar). Sementara pada wanita usia subur menyebabkan infertilitas (kemandulan). Adapun pada wanita hamil menyebabkan perkembangan neurologik janin terhambat yang akhirnya menyebabkan retardasi mental dan kretinisme pada bayi. Pada ibu menyusui kebutuhan iodium melebihi keadaan normal, jika kekurangan menyebabkan kelainan metabolik tiroid seperti penyakit Grave’s.
WHO Global Database on Iodine Deficiency (2004) menyatakan proporsi anak usia sekolah (6-12 tahun) mengalami defisiensi iodium sebesar 285.4 juta dan pada populasi umum sebesar 1,988 milyar penduduk dunia. Di Asia, terdapat 187 juta (38,3 %) anak usia sekolah (6-12 tahun) dan 1,2 milyar populasi umum (35,6%) dengan defisiensi iodium. Regional Oceania terdapat 2,1 juta (59,4%) anak usia sekolah (6-12 tahun) dan 19,2 juta populasi umum (64,5%) mengalami defisiensi iodium.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menggambarkan proporsi nilai Ekskresi Iodium Urin (EIU) < 100 μg/L (risiko kekurangan) pada anak usia 6-12 tahun sebesar 14,9%; pada WUS sebesar 22,1%; pada ibu hamil sebesar 24,3% dan pada ibu menyusui sebesar 23,9%. Keadaan tersebut menjadi penanda akan timbulnyagangguan metabolisme tiroid yang dapat menyebabkan kondisi penyakit tiroid. Sementara, dalam Riskesdas 2013 juga tergambar prevalensi hipertiroid (diagnosis hipertiroid oleh dokter) sebesar 0,4%.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline <kode lokal> 500-567; SMS 081281562620, faksimili: (021) 52921669, website www.depkes.go.id dan email kontak@depkes.go.id.
Berbagai kesepakatan telah di tanda tangani di tingkat hulu jajaran kesehatan, hanya saja selama ini antara hulu dan hilir tidak nyambung. Bagi alumni karyawan kesehatan sudah bisa menebak bahwa ujung-ujungnya Puskesmas lagi yang akan jadi kranjang muatan.
Salah satu komponen didalam membangun ketahanan nasional di bidang kesehatan adalah Upaya Kesehatan Masyarakat yang bersifat promotif dan preventif yang selama ini mengandalkan Puskesmas sebagai ujung tombak. Akan tetapi dengan berbagai kesepakatan Puskesmas bukan semakin diperkuat dari sisi ketenagaannya akan tetapi semakin di copoti.
Salah satu pakar kesehatan mengatakan bahwa kementerian sering mengalami demam prioritas kegiatan.
Sebagai contoh misalnya beberapa tahun yang lalu terkena demam MDG’s dengan kegiatan akselerasi penurunan AKI dan AKB yang kemudian kemenkes mengeluarkan kebijakan tenaga strategis kesehatan. Kebijakan ini berdampak luas karena seluruh formasi tenaga kesehatan hanya diperuntukkan bagi tenaga startegis versi kebijakan itu. Akibatnya tenaga yang memiliki kompetensi lain yang seharusnya dibutuhkan Puskesmas terabaikan.
Yang mengherankan lagi pengelola ketenagaan di kemenkes menganggap tenaga strategis itu adalah superman dan super woman artinya mereka seba bisa. Apakah mereka lupa atau pura-pura lupa karena demam tadi, karena kompetensi seorang tenaga kesehatan tidak terlepas dari bekal yang diperoleh dari pendidikan berdasarkan kurikulumnya.
Bukan tidak sepakat dengan berbagai kesepakatan dalam meningkatkan upaya kesehatan masyarakat melalui kemitraan, akan tetapi pembuat kebijakan sudah waktunya untuk komit dan konsisten segera malakukan “penguatan Puskesmas”.
Penguatan Puskesmas atau revitalisasi Puskesmas Bukan sebatas membuat gedungnya mewah dan megah dengan dibelikan peralatan yang canggih saja, akan tetapi juga dilengkapi dengan tenaga yang memiliki kompetensi sesuai dengan program pelayanan yang harus dikerjakan oleh Puskesmas. Disisi lain hampir 70 % Puskesmas sudah tidak memiliki dokumen “Panduan kerja Puskesmas” kalaupun ada hanya sebatas juknis atau juklak untuk program tertentu yang baru heboh.