Di hari pertama penyelenggaran pertemuan tahunan kesehatan dunia, World Health Assembly ke-69; yang dihadiri oleh 190 negara anggota World Health Organization, Indonesia menjadi tuan rumah side event bertema “The Role of Global Health Security Agenda in Supporting Countries Capacity to Implement International Health Regulation”.
Dilaksanakannya pertemuan ini bertujuan untuk menggalang kesepahaman dan kesepakatan bersama antara negara-negara di dunia bahwa kapasitas nasional adalah kunci dalam penanganan pandemi global. Dalam masa dimana perjalanan melintas batas negara dilakukan oleh sebagian besar penduduk dunia, penyebaran berbagai virus juga menjadi lebih mudah terjadi. Posisi strategis perbatasan sebagai pintu masuk negara, dituntut untuk berada pada standar kapasitas yang merata baiknya di seluruh dunia.
Beberapa tahun terakhir ini, dunia tersentak dengan kerapnya terjadi pandemi yang bersifat global. Sebut saja, Ebola di Afrika, Mers-CoV di Korea Selatan dan Saudi Arabia, hingga Zika yang terjadi di benua Amerika. Setidaknya dari Ebola di Afrika dan Mers-CoV di Korea Selatan, dunia bisa memperoleh pelajaran berharga bahwa terjadinya pandemi berdampak langsung pada stabilitas keamanan dan ekonomi negara; bahkan global. Karenanya, sebagai sebuah forum yang dibentuk sejak 2 tahun lalu, Global Health Security Agenda berupaya untuk meningkatkan kapasitas negara dalam penanganan pandemi, melalui pelaksanaan International Health Regulation yang disahkan oleh WHO sejak 2005 lalu.
Panelis terdiri dari tujuh orang, yaitu 3 pakar Health Security dari Finlandia, Portugal, dan Tanzania; satu orang pembiayaan untuk pembangunan dari Bank Dunia dan sebagai pembicara kunci tiga menteri kesehatan dunia, yaitu dari Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat.
Dalam sambutan pembukanya, Menkes RI, Prof. DR. dr. Nila Farid Moeloek Sp.M(K) mengatakan: ”Keberhasilan pembangunan manusia secara utuh, bergantung pada keberhasilan upaya kita dalam menjaga keamanan negara dari ancaman kesehatan dunia. Terjadinya pandemi di suatu negara, berdampak langsung pada pencapaian pembangunan manusia yang kita upayakan selama ini. Sebagai ketua dari Troika GHSA, Indonesia menghimbau kepada negara-negara di dunia untuk bersama-sama menjaga kualitas populasi melalui peningkatan kapasitas kesehatan dalam penanganan pandemic.“
Sementara itu, Menteri Kesehatan Amerika Serikat, Sylvia Burwell, menggarisbawahi:”Untuk mencapai kapasitas nasional yang baik dalam mencegah terjadinya pandemic maupun dalam penanganan pandemic, setiap negara hendaknya melakukan evaluasi terhadap implementasi International Health Regulation. Evaluasi yang obyektif bisa menggunakan mekanisme evaluasi para ahli yang berasal dari berbagai negara. Langkah ini telah ditempuh beberapa negara dan saat ini Amerika Serikat sedang dalam proses evaluasi eksternal tersebut.”
Dari sudut pandang kapasitas kesehatan masyarakat, Menteri Kesehatan Belanda, Edith Schippers, menggarisbawahi pentingnya kesadaran masyarakat akan konsumsi obat-obatan. Resistensi anti microbial (AMR), menjadi perhatian khusus pemerintah Belanda. Shippers menyatakan “Pemerintah Belanda melakukan upaya-upaya inovatif melalui buku-buku komik, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya dari resistensi anti microbial. Sejauh ini, hasilnya menggembirakan, di mana penurunan resistensi anti microbial cukup signifikan dan para petani serta produsen pangan di Belanda, juga telah berhenti menggunakan antibitioka di dalam pangan bahan ternak serta sayuran yang dijual kepada masyarakat luas”.
Dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, upaya sektoral harus berjalan inklusif dan bersama-sama dengan perencanaan serta kapasitas pembiayaan. Berdasarkan pemahaman ini dan berkaca pada ketidaksiapan pembiayaan dalam penanganan Ebola, Senior Director of Health, Population and Nutrition dari Bank Dunia, Timothy Evans, menyatakan kesiapan Bank Dunia dalam menghadapi kemungkinan kejadian pandemic global ini. “Bank Dunia telah menyediakan mekanisme pendanaan untuk kegawat daruratan pandemi yang kami beri nama Pandemic Emergency Fund (PEF). Mekanisme pembiayaan ini bisa digunakan oleh semua negara untuk penanganan pandemic maupun upaya yang dilakukan tiap negara di dunia untuk meningkatkan kesiapan serta kapasitasnya dalam penanganan kegawat daruratan kesehatan masyarakat.”
Diskusi yang berjalan hangat selama kurang lebih 2 jam ini dihadiri lebih dari 150 orang partisipan yang memenuhi Ruang XXII di Palais des Nations, Jenewa. Dalam sambutan singkatnya, Direktur Jenderal WHO, Margaret Chan menyampaikan selamat kepada Menteri Kesehatan dan Pemerintah Indonesia yang telah menjadi tuan rumah untuk pertemuan yang sangat bermanfaat ini. “WHO mendukung upaya negara-negara yang tergabung dalam forum GHSA untuk bersama-sama meningkatkan kesiapan dalam penanganan pandemic. Tentunya kita semua tidak menginginkan Ebola terulang kembali. Namun, dengan terjadinya Mers-CoV dan Zika, itu menjadi peringatan bagi kita bahwa dunia harus berkolaborasi dalam menangani pandemic.”
Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek menutup side event dengan mengatakan:”Kita harus melakukan kerja sama lintas sektor yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan; baik pemerintah, dunia usaha, masyarakat sipil termasuk pemuda, dan universitas. Keberhasilan peningkatan kapasitas dan kesiapan negara dalam penanganan kegawatdaruratan kesehatan bertumpu pada efektifitas kita bekerja sama. Tidak hanya di tingkat dunia, namun yang terpenting di dalam negeri.”
——–
Tentang GHSA
Global Health Security Agenda (GHSA) merupakan inisiatif global yang diluncurkan Februari 2014. Inisiatif tersebut muncul sebagai bentuk respon terhadap meningkatnya kerentanan masyarakat global terhadap kemungkinan munculnya berbagai jenis penyakit baru dan pandemi yang diakibatkan oleh dampak negatif perubahan iklim, meningkatnya lalu lintas barang, jasa, manusia dan hewan lintas negara serta praktek-praktek pertanian, peternakan dan industri yang dinilai tidak lagi alamiah dan ramah lingkungan.
GHSA bertujuan untuk mencegah, mendeteksi dan merespon cepat berbagai ancaman penyakit infeksi di tingkat global, baik yang terjadi secara alamiah maupun karena adanya unsur kesengajaan ataupun musibah. GHSA melibatkan multi-stakeholders, bersifat multi-sektoral serta di dukung badan-badan dunia di bawah PBB, antara lain: World Health Organisation (WHO), Food and Agriculture Organization (FAO), dan World Organization for Animal Health (OIE).
Melalui kemitraan negara anggota dengan organisasi internasional, dan para pemangku kepentingan non-pemerintah, GHSA memfasilitasi upaya kolaborasi dan peningkatan kapasitas negara, yang dilakukan sejalan dengan International Health Regulation (IHR) WHO, Performance of Veterinary Services (PVS) OIE, dan framework keamanan kesehatan global terkait lainnya.
Motor penggerak kegiatan GHSA adalah Steering Group yang beranggotakan sepuluh negara yaitu Amerika Serikat, Chile, Finlandia, India, Indonesia, Italia, Kanada, Kenya, Korea Selatan, dan Saudi Arabia. Keketuaan Steering Group dilaksanakan melalui mekanisme Troika (3 negara secara bergantian). Troika pertama terdiri dari Amerika Serikat (memimpin pada 2014), Finlandia (2015), dan Indonesia (2016).
Selain menjadi Ketua Troika GHSA pada tahun 2016, Indonesia juga menjadi lead country untuk Action Package Zoonotic Disease (Prevent-2) dan menjadi contributing country untuk Action Package Anti Microbial Resistance (Prevent-1), Real-Time Surveillance (Detect-2), dan Linking Public Health with Law and Multisectoral Rapid Response (Respond-2).
Di tingkat nasional, GHSA merupakan kolaborasi lintas 25 Kementerian/Lembaga di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, serta Menteri Kesehatan sebagai Ketua Umum.
Peran Indonesia dalam GHSA
Ada beberapa alasan kuat yang menjadikan Indonesia terpilih menjadi Ketua GHSA. Pertama, kondisi geografis yang strategis membuat Indonesia berpengaruh bagi negara di bagian selatan. Kedua, Indonesia hanyalah satu dari dua negara di Asean yang menyelenggarakan IHR, selain Thailand. Ketiga, Indonesia diakui mampu memimpin koordinasi negara kawasan Asia- Afrika-Pasifik.
Sebagai ketua GHSA, Indonesia juga ingin ikut mengatur pengendalian pandemi global. Misalnya dalam hal penelitian virus, untuk mencapai solui bersama.
Ketua GHSA sebelumnya adalah Amerika (2014) dan Finlandia (2015). Dua negara tersebut, termasuk Indonesia, hanyalah sedikit dari negara yang menerapkan IHR secara lengkap. IHR dimaksudkan untuk mendorong kemampuan sebuah negara menghadapi pandemi atau wabah global dengan memenuhi 8 kapasitas.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline (kode lokal) 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id.