Guna menjawab tantangan maldistribusi tenaga kesehatan di Indonesia yang menjadi permasalahan utama di bidang kesehatan, serta memperjuangkan pemenuhan hak masyarakat untuk mendapatkan akses layanan kesehatan, Kementerian Kesehatan menyambut baik gagasan yang diinisiasi oleh para kolegium dan organisasi profesi terkait upaya penugasan dokter spesialis ke daerah yang membutuhkan.
“Wajib kerja dokter spesialis ini sebenarnya diinisiasi oleh teman-teman kolegium, karena kita melihat permasalahan nasional yang mana dokter spesialis ini menumpuk di kota-kota besar, yang lain seadanya. Gagasan ini disambut baik sekali oleh Ibu Menteri Kesehatan, sehingga diusulkan menjadi penugasan wajib”, tutur Kepala Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan, drg. Usman Sumantri, MSc, mengawali paparannya kepada sejumlah media di Ruang Mahar Marjono, Kementerian Kesehatan, Jakarta Selatan (3/2).
Perwakilan organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr. Poedjo Hartono, Sp.OG(K), menegaskan bahwa permasalahan penumpukan dokter di kota besar memang harus diselesaikan, karena merupakan desakan kebutuhan masyarakat, dengan tetap memperhatikan kesejahteraan dokter.
“Dokter spesialis menumpuk di kota besar, ini fakta yang ada. Kami dari IDI concern bahwa ini kebutuhan masyarakat, harus kita layani. Tetapi kami juga harus memperhatikan kesejahteraan dokter. Penugasan ini satu tahun dan diharapkan dokter spesialis harus bisa langsung bekerja. Saya juga berharap, teman-teman IDI cabang juga dapat pro aktif mengajukan mapping daerah-daerah mana yang membutuhkan dokter spesialis”, tutur dr. Poedjo.
Mengenai mekanisme penempatan, dijelaskan oleh dr. Nurdadi Saleh, Sp.OG dari Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), bahwa langkah pertama dilakukan regionalisasi menjadi Indonesia bagian barat, tengah dan timur.
“Universitas Sam Ratulangi misalnya karena berada di Sulawesi Utara, lulusannya akan terdistribusi ke Sulawesi Utara, Gorontalo dan Kepala Burung (Papua)”, tutur dr. Nurdadi.
Selanjutnya, RS yang membutuhkan dokter spesialis harus mengajukan kebutuhan secara berjenjang kepada Dinas Kesehatan hingga ke Kementerian Kesehatan. Selanjutnya, akan dilakukan visitasi oleh tim untuk melihat kesiapan sarana dan prasarana. Berdasarkan hasil visitasi tersebut, baru akan didistribusikan dokter spesialis.
“Visitasi akan melihat apakah RS yang meminta tenaga tersebut sudah memenuhi kriteria untuk ditempatkan dokter spesialis. Misalnya dia minta dokter bedah, tetapi dokter anastesinya engga ada, engga bisa kerja”, jelasnya.
Pemerintah menjamin kesejahteraan dokter spesialis tidak hanya pada pemenuhan kebutuhan, melainkan pada keamanan dan keselamatan peserta WKDS. Dokter spesialis nantinya akan mendapatkan insentif dari Kementerian Kesehatan, pemerintah daerah, dan rumah sakit tempat mereka bekerja. Jaminan kelengkapan fasilitas pun diperhatikan, rumah sakit yang nantinya akan menjadi rujukan akan dilakukan pemantuan terlebih dahulu. Kelengkapan fasilitas rumah sakit yang akan diutamakan.
“Mengenai take home pay ada tiga sumber, yaitu insentif dari Kementerian Kesehatan, di dalam Perpres disebutkan Pemerintah Daerah juga memberi tambahan. Dan sebagai dokter yang bekerja di rumah sakit, tetap mendapatkan jasanya. Jadi, take home pay bisa 70-80 juta, sekitar 22-30 juta dari Kemenkes, 25 juta dari daerah, dan di dalam pelayanannya sekitar 30 juta untuk jasanya. Kita sangat memperhatikan insentif dokter”, terang dr. Nurdadi.
Sedangkan berbicara mengenai sanksi bagi dokter spesialis yang menolak mengikuti program WKDS, kolegium bersepakat untuk tidak menerbitkan surat tanda registrasi (STR).
“Kalau seorang dokter spesialis tidak bersedia melaksanakan wajib kerja untuk kemaslahatan bersama selama 1 tahun saja, maka sanksi yang akan kita terapkan adalah kita tidak akan terbitkan STR sehingga tidak bisa praktek”, tutur dr. Nurdadi.
Hal senada juga diungkapkan oleh salah satu perwakilan organisasi profesi Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia, Dr. Andi Wahyuningsih Attas, Sp.An, KIC, MARS, menyatakan dukungannya dan telah menyosialisasikan di tingkat internal bahwa STR tidak dapat diterbitkan bila menolak WKDS.
“Ini adalah program yang sangat baik guna menjawab kebutuhan tenaga kesehatan di daerah yang terpencil”, imbuh dr. Andi.
Dukungan juga disampaikan oleh Prof. Dr. dr. Idrus Alwi, Sp.PD, dari perwakilan Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam Indonesia, menyatakan bahwa program WKDS juga sejalan dengan rencana pemetaan (mapping need) yang tengah dilakukan agar layanan spesialistik penyakit dalam lebih merata bagi masyarakat.
“Sekarang ini kita berada dalam atmosfer atau mekanisme yang sangat baik, di mana seluruh pemangku kepentingan selalu duduk bersama, membuka mata kita semua bahwa kolaborasi semua stakeholder termasuk pemerintah daerah, sangat penting untuk menyusun rancangan kebutuhan sebenarnya di lapangan”, ujar Dr. dr. Kiki Lukman, M(Med)Sc., FCSI, perwakilan Kolegium Ilmu Bedah Indonesia.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id.
Kepala Biro Komunikasi dan
Pelayanan Masyarakat
drg. Oscar Primadi, MPH