Jakarta, 30 Januari 2018
Sebagian besar masyarakat Indonesia mungkin sudah banyak yang tidak mengenal penyakit kusta. Padahal, penyakit kusta belum hilang, penyakit tua ini masih ada hingga saat ini di negara kita.
Demikian pernyataan Direktur Pencegahan Penyakit Menular Langsung, dr. Wiendra Waworuntu, M.Kes, pada Temu Media dalam rangka Hari Kusta Sedunia ke-65 di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta Selatan, Selasa pagi (30/1). Hari Kusta Sedunia diperingati setiap hari Minggu pada pekan terakhir di bulan Januari.
“Kasus kusta (jumlahnya) sedikit ya bila dibandingkan penyakit lainnya, tetapi masih adanya kasus kusta di Indonesia juga ini merupakan persoalan yang harus kita selesaikan”, ujarnya.
Pada kesempatan tersebut dr. Wiendra menyatakan bahwa masih ada beberapa wilayah di Indonesia yang belum eliminasi kusta, artinya prevalensi kusta di wilayah tersebut masih lebih dari 1 per 10.000 penduduk, yakni di wilayah Jawa bagian timur, Sulawesi, Papua, Papua Barat, Maluku dan Maluku Utara. Sebagai informasi, angka prevalensi kusta di Indonesia saat ini 0,71 per 10.000 penduduk dengan total 18.248 kasus terdaftar
“Meskipun demikian, bukan berarti kasus tidak ditemukan di provinsi lainnya. Kasus kusta diharapkan semakin sedikit, semakin hilang. Tidak dipungkiri pasti kusta masih ada, tetapi catatannya adalah jangan sampai ada penularan (kasus baru) dan penderita kusta jangan sampai cacat. Itu upaya kita”, terang dr. Wiendra.
Kusta Sering Terlambat Ditemukan
Sementara itu, dr. Sri Linuwih Susetyo Wardhani Menaldi, Sp.KK(K) dari persatuan dokter spesialis kulit dan kelamin Indonesia (PERDOSKI) menyatakan bahwa penyakit kusta lebih sering ditemukan terlambat karena masyarakat seringkali mengabaikan tanda dan gejalanya.
Gejala penyakit kusta adalah keberadaan bercak putih atau merah di kulit. Bercak tersebut tidak gatal, tidak nyeri, tetapi baal (kurang rasa atau mati rasa). Bercak seringkali ditemukan di bagian siku, karena ada syaraf yang dekat dengan permukaan kulit, ada pula bercak yang ditemukan di sekitar tulang pipi (wajah), telinga, atau bahu (badan).
Selain itu, ada penderita yang menunjukkan gejala berupa bintil kemerahan yang tersebar, ada pula yang gejalanya kulit sangat kering (tidak berkeringat) dan rambut alis rontok sebagian/seluruhnya. Sebagian besar penderita pada awalnya tidak merasa terganggu. Meski kadang disertai kesemutan, nyeri sendi dan demam hilang timbul, bila mengalami reaksi.
“Karena tidak merasa sakit, tidak gatal, penderita cenderung abai. Padahal penyakit berlangsung terus, berpotensi menularkan dan menimbulkan kecacatan”, ungkap dr. Dini.
Padahal, keberadaan penderita kusta yang belum mengkonsumsi obat kusta atau berobat tidak teratur, dikatakan dr. Dini, merupakan sumber penularan. Penderita bisa menularkan kuman melalui percikan cairan pernafasan, maupun kontak melalui kulit yang luka.
“Cara penularannya seperti Tuberkulosis, namun lebih sulit menular dibanding Tuberkulosis karena harus melakukan kontak dalam waktu yang cukup lama (durasi panjang) dengan penderita”, paparnya.
Selain itu, dokter yang akrab disapa dr. Dini ini menceritakan bahwa ia seringkali mendapatkan pasien yang datang ke pelayanan kesehatan tujuan awalnya mengkonsultasikan kelainan kulit, tidak mengetahui bahwa kelainan kulit atau syaraf yang dialami sebenarnya dikarenakan kusta dan sudah berlangsung sejak lama.
“Kasus kusta kelainan kulitnya sangat mirip dengan penyakit lain”, tambahnya.
Temukan Bercak Lalu Obati
Kusta bisa disembuhkan tanpa kecacatan, asalkan ditemukan sejak dini dan diobati. Penemuan kasus dan pengobatan dini menjadi satu-satunya cara yang paling efektif untuk memutus rantai penularan.
“Kuncinya peka terhadap gejala, bila kita melihat bercak putih atau merah di tubuh kita dan tidak membaik dengan pengobatan yang sudah dilakukan, maka periksakan ke Puskesmas atau rumah sakit manapun agar bisa kita pastikan gejala kusta atau bukan”, kata dr. Dini.
Mengakhiri pertemuan tersebut, dr. Dini menekankan agar menjadikan keluarga sebagai penggerak pencegahan penyakit kusta.
“Obat kusta itu disediakan pemerintah secara gratis, pasien tidak perlu beli. Yang dibutuhkan hanyalah motivasi dan dukungan keluarga dan kepatuhan penderita dalam menjalani pengobatan”, tandasnya.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat,Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id. (myg)
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat
drg. Oscar Primadi, MPH