Kendari, 27 April 2018
Para Bupati dan Walikota di provinsi Sulawesi Tenggara mendapat mandat dari oleh PJ Gubernur Sulawesi Tenggara, Teguh Setyabudi, untuk memberikan perhatian pada pengendalian masalah Tuberkulosis (TBC) dan perbaikan gizi guna mencegah stunting (kerdil/pendek).
“Saya minta seluruh Bupati dan Walikota memperhatikan pengendalian Tuberkulosis karena hal ini merupakan salah satu standar pelayanan minimal (SPM) yang harus dicapai oleh masing-masing daerah. Selain itu, saya juga meminta seluruh jajaran memperhatikan kebutuhan gizi, ketahanan pangan merupakan hal lain yang juga butuh perhatian”, ujar PJ Gubernur Sulawesi Tenggara, Teguh Setyabudi, saat membuka Rapat Kerja Kesehatan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara di Kendari, Jumat (27/4).
Di provinsi Sulawesi Tenggara, dari 100 Balita, terdapat 12 Balita kurus, 30 Balita stunting (kerdil) dan 5 Balitas yang mengalami kegemukan. Kondisi Stunting di provinsi Sulawesi Tenggara mengalami peningkatan jika dibandingkan antara tahun 2016 dan tahun 2017, yakni dari 29,6% menjadi 36,4% (meningkat 6,8%) dengan prevalensi tertinggi ada di kabupaten Buton Tengah.
Sementara itu, terdapat sebuah tantangan besar dalam penanggulangan Tuberkulosis di provinsi Sulawesi Tenggara yang perlu mendapat perhatian, yakni angka kepatuhan penderita TB dalam meminum obat masih perlu ditingkatkan.
Bila diasumsikan bahwa data hasil program Indonesia Sehat dengan pendekatan keluarga (PIS-PK) dapat merepresentasikan data Provinsi Sulawesi Tenggara, maka hanya sebanyak 32,6% dari 3951 Penderita TB Paru yang meminum obat sesuai dengan anjuran/standar. Kondisi tersebut, juga berdampak pada pada tingkat kesembuhan pasien, yang cenderung menurun dalam 3 tahun terakhir yakni dari 77,7% (tahun 2015) menjadi 72,5% (tahun 2017).
Menkes mengapresiasi komitmen pemerintah Sulawesi Tenggara terhadap pembangunan kesehatan di wilayahnya. Pada kesempatan tersebut, Menkes juga mengharapkan agar penyelesaian permasalahan harus diprioritaskan karena bisa berdampak pada sektor lainnya, baik itu Pendidikan, ekonomi, maupun pariwisata. Salah satu contoh yang beliau ambil adalah wanprestasi Indonesia menjadi negara dengan kasus TBC peringkat kedua terbanyak di dunia. Menurutnya, TBC akan mempengaruhi sektor ekonomi dan pariwisata di Indonesia.
“TBC harus kita selesaikan. TBC ini penyakit yang sangat cepat menular. Kalau kita masih menyandang peringkat dua besar di dunia untuk TBC, pariwisata akan terganggu. Siapa (mana ada) wisatawan yang (mau) datang ke daerah yang terdapat penyakit menular?”, ujar Menkes.
Selain itu, Menkes juga memberi masukan terhadap program pemberian sertifikat lulus penimbangan badan yang dilakukan di beberapa Kabupaten, karena sebaiknya tidak hanya berat badan yang jadi perhatian namun juga pemantauan tinggi badan untuk mencegah stunting.
“Berat badan itu melebar ke samping, sementara tinggi badan itu kan tumbuh ke atas. (Tidak cukup) kalau kita hanya fokus pada berat badan itu untuk (mengantisipasi) kurus atau obesitas, tapi juga tinggi badan supaya tidak stunting”, imbuh Menkes.
Menkes mengakui bahwa mengajarkan gizi yang baik kepada masyarakat memang tidak mudah, karena mengajarkan bagaimana makan yang tepat dan benar. Menurutnya, hal ini bukan perkara yang mudah, karena berhubungan dengan banyak hal, ketersediaan pangan, perilaku bahkan budaya.
“Ibu-ibu memang tugas kita tidak mudah memberi makan anak (keluarga) itu. Mulai dari mengutamakan ASI, memberikan MPASI, lalu mulai mendisiplinkan makan sejak dini. Saya minta agar para tenaga gizi bersama-sama tenaga kesehatan lainnya tidak hanya mengajarkan tentang bagaimana pola makan yang baik, namun juga perilaku makan”, tandasnya.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id. (myg)
Plt. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat
drg. Murti Utami, MPH