Jakarta, 23 Agustus 2018
Kementerian Kesehatan memprakarsai sebuah pertemuan yang dihadiri perwakilan dari Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Direksi PT. Biofarma, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), UNICEF, WHO, serta para Kepala Dinas Kesehatan dan pemimpin MUI di 34 Provinsi di seluruh Indonesia di Kantor Kemenkes, Jakarta Selatan, Kamis siang (23/8).
“Kita semua berkumpul agar kita memiliki kesamaan persepsi pasca dikeluarkannya Fatwa MUI Nomor 33 tahun 2018 tentang penggunaan vaksin Measles Rubella (MR) pada 20 Agustus 2018, dan apa tindak lanjut dari pelaksanaan imunisasi MR di 28 Provinsi ini ke depannya.“ tutur Menteri Kesehatan, Nila Farid Moeloek.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI, Anung Sugihantono menerangkan bahwa pertemuan ini bertujuan untuk menjelaskan secara utuh, baik hal-hal yang berkaitan aspek keagamaan dijelaskan oleh MUI maupun aspek teknis kesehatan dijelaskan oleh Kemenkes.
Kementerian Kesehatan bersama Biofarma, satu-satunya produsen vaksin milik Indonesia yang merupakan produsen vaksin terbesar keempat di dunia dan centre of excellent bagi negara-negara Islam, berkomitmen untuk selalu senantiasa memperhatikan aspek keagamaan dalam kesehatan, salah satunya kehalalan dalam riset vaksin. Upaya (ikhtiar) terus dilakukan berupa riset vaksin baru yang bukan hanya bebas porcine, namun ke depannya akan mengutamakan penelitian material non hewani. Namun, seperti kita ketahui untuk menciptakan vaksin atau komponen baru, tentu membutuhkan waktu yang tidak sebentar, bisa belasan bahkan puluhan tahun.
“Pemerintah tentu sangat mendorong untuk pembuatan vaksin yang halal dengan menggunakan keahlian yang dimiliki di Indonesia. Satu-satunya produsen vaksin yang ada di Indonesia adalah Biofarma dan sudah didampingi oleh LPPOM MUI di dalam proses sertifikasi semua produk vaksin yang dibuat oleh Biofarma”, tambah Anung.
Selanjutnya, Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Ni’am, menyatakan bahwa pertemuan ini sangat penting agar Fatwa MUI dijelaskan secara utuh redaksinya agar penerimaan di daerah dan masyarakat tidak parsial. Berdasarkan kajian oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI yang disampaikan kepada Komisi Fatwa MUI menyimpulkan bahwa di dalam produksinya memanfaatkan (bukan mengandung) unsur yang haram, maka vaksin MR yang diproduksi Serum Institut of India (SII) hukumnya haram. Akan tetapi fakta saat ini, berdasarkan informasi dari ahli yang kompeten dan kredibel ada urgensi untuk melaksanakan program imunisasi karena jika tidak akan menyebabkan bahaya (hilangnya nyawa dan atau kecacatan permanen) yang meresahkan kesehatan masyarakat.
Maka, kesimpulannya pelaksanaan imunisasi dengan vaksin MR Produksi SII dibolehkan berdasarkan tiga alasan, yaitu memenuhi ketentuan dlarurat syar’iiyah, belum adanya alternatif vaksin yang halal dan suci, dan adanya keterangan ahli yang kompeten tentang bahaya yang bisa ditimbulkan. Kebolehan penggunaan vaksin MR sebagaimana dimaksud akan tidak berlaku jika di kemudian hari ditemukan adanya vaksin MR yang halal dan suci.
“Fatwa MUI bisa dijadikan pijakan sekaligus juga panduan bagi pemerintah di dalam pelaksanaan imunisasi MR juga rujukan bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat muslim untuk tidak ragu lagi mengikuti imunisasi MR dengan vaksin yang sudah disediakan pemerintah”, tegas Asrorun Ni’am.
Menjawab pertanyaan media terkait kondisi penyakit Campak dan Rubella di Indonesia, Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Aman Pulungan, menyatakan bahwa Indonesia termasuk negara yang kedua paling banyak kasus Campak di seluruh dunia.
Ditegaskan Aman, bahwa suatu daerah akan safe apabila cakupan imunisasi di suatu daerah tidak kurang dari 95%. Untuk saat ini di Indonesia, hanya sekitar belasan provinsi yang cakupan imunisasi Campaknya baik.
“Kita belajar dari kejadian Asmat (di awal tahun) kemarin, hampir 700 anak terkena Campak dan yang meninggal lebih dari 70 orang. Campak ini benar-benar mematikan. Komplikasinya bisa Pneumonia, bisa kurang gizi, Diare, dan lain-lain. Kalau kejadian ini terjadi (lagi) di suatu Kabupaten, duh kita betul-betul tidak akan cukup kuat (menghadapinya)”, ujar Aman.
Sementara itu, penyakit Rubella sering kali dianggap ringan (ada yang menyebut tampek) karena gejalanya rash (kemerah-merahan) dan demamnya ringan (suhu tidak terlalu tinggi). Anak-anak yang terinfeksi Rubella dia bisa menularkan ke ibu hamil yang berada di sekitarnya, dan yang dikhawatirkan adalah janin yang berada di dalam kandungan bisa mengalami Congenital Rubella Syndrome (CRS) berupa kecacatan permanen seperti kebutaan, ketulian, kebocoran jantung dan otaknya kecil.
“Satu anak yang menderita CRS bisa menghabiskan 300-400 juta rupiah untuk tindakan pengobatannya, belum lagi untuk terapi dan perawatan setiap hari selama hidupnya. Ini sangat darurat, kita harus selamatkan generasi bangsa kita, ini investasi bangsa kita”, tandas Aman.
Dalam kerangka praktik kenegaraan, pelaksanaan imunisasi MR merupakan amanah semua pihak untuk melindungi generasi penerus bangsa dari ancaman penyakit berbahaya yang bisa menimbulkan kematian dan kecacatan permanen. Pada akhirnya, pertemuan menyepakati untuk bersinergi, baik jajaran Dinas Kesehatan maupun jajaran MUI di daerah serta organisasi profesi akan mendukung, menyosialisasikan, dan mengimplementasikan Fatwa yang telah dikeluarkan oleh MUI Pusat untuk bersama-sama menyukseskan program imunisasi MR dalam kapasitas masing-masing untuk kepentingan kesehatan masyarakat.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id. (myg)
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat
drg. Widyawati, MKM
Kisah Ibu Yunelia dan Nadif