Jakarta, 9 Januari 2018
Setiap laporan kasus difteri adalah suspek, bukan positif difteri. Banyaknya laporan kasus merupakan bentuk kewaspadaan petugas kesehatan dan pemerintah daerah untuk kemudian dilakukan langkah-langkah pencegahan.
“Memang, setiap kasus difteri yang dilaporkan merupakan bentuk kewaspadaan Nakes untuk jaga-jaga agar bisa dilakukan tindak lanjut,” kata Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Mohamad Subuh, Selasa (9/1) di Jakarta.
Setiap kasus yang dilaporkan baik dari Puskesmas atau rumah sakit akan dilakukan investigasi kasus pasien berupa kelengkapan imunisasi difteri sebelum sakit, kemudian dilakukan pengambilan spesimen dengan usap hidung dan usap tenggorok untuk konfirmasi kasus apakah positif atau negatif difteri.
Apabila kasus terkonfirmasi positif, penderita akan dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan lebih lanjut dan dilakukan pencarian kasus tambahan dan karier pada orang yang pernah kontak dngan pasien.
Hal tersebut menjadi alasan petugas kesehatan di Puskesmas atau rumah sakit untuk melaporkan setiap kejadian suspek difteri agar dapat segera dilakukan pencegahan.
Selain berdasarkan laporan, setiap minggu petugas dinas kesehatan kabupaten/kota mengunjungi rumah sakit di wilayah kerjanya untuk mencari dan menemukan secara aktif kasus difteri.
Setiap kasus difteri yang dilaporkan dari rumah sakit segera diinformasikan ke Puskesmas untuk dilakukan investigasi dan pencarian kasus tambahan dan karier.
Munculnya KLB difteri dapat terkait dengan adanya immunity gap, yakni kesenjangan atau kekosongan kekebalan di kalangan penduduk di suatu daerah. Kekosongan kekebalan ini terjadi akibat adanya akumulasi kelompok yang rentan terhadap difteri, karena kelompok ini tidak mendapat imunisasi atau tidak lengkap imunisasinya.
Tren Kasus Menurun
Berdasarkan hasil pantauan Kementerian Kesehatan, grafik tren kasus difteri yang dilaporkan menunjukkan penurunan.
Pada pertengahan Desember atau minggu ke-50, laporan mencatat 79 kasus. Setelahnya, nampak terjadi penurunan jumlah kasus meski terlihat fluktuatif. Pekan selanjutnya, jumlah kasus yang dilaporkan pada minggu ke-51 dan ke-52 berturut-turut sebanyak 34 dan 33 kasus.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Oscar Primadi menyatakan bahwa penyakit difteri dapat dicegah dengan imunisasi; Penggunaan masker dan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat); Pemberian antibiotika pada kontak erat kasus; danTatalaksana kasus dengan pemberian antibiotika dan Anti Difteri Serum (ADS)
Pemerintah memastikan vaksin tersedia dalam jumlah yang cukup. Masyarakat terutama pasien difteri tidak perlu khawatir dan akan diberikan pelayanan kesehatan sesuai tatalaksana kasus.
Apabila terjadi gejala difteri berupa demam lebih kurang 38 derajat celcius, adanya selaput berwarna putih keabuan/kebiruan yang tidak mudah lepas dan mudah berdarah, hidung berair, bengkak di area leher, nyeri saat menelan, dan sesak napas disertai bunyi, harus segera diatasi. Sebab, risiko paling parah jika difteri tidak segera disembuhkan akan menyebabkan kematian.
Kemenkes meminta PT. Biofarma untuk memperbanyak produksi vaksin. Sehingga setiap orang tua bisa melengkapi imunisasi dasar anak-anaknya dan untuk memenuhi kebutuhan Outbreak Response Immunization (ORI) bagi anak usia 1 sampai kurang dari 19 tahun secara gratis.
Kemenkes juga meminta PT. Biofarma memprioritaskan persediaan vaksin untuk Indonesia, setelah itu barulah ekspor. Ketika vaksin di Indonesia mencukupi, maka diharapkan angka kesakitan atau kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) bisa menurun.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline (kode lokal) 1500-567,SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email [email protected].
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat
Oscar Primadi
NIP. 196110201988031013