Jakarta, 29 Maret 2018
Resistensi antimikroba menyebabkan manfaat antimikroba dalam pengobatan menjadi berkurang dan infeksi semakin sukar untuk disembuhkan. Hal ini menyebabkan peningkatan angka kesakitan dan angka kematian, serta beban ekonomi.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 8 tahun 2015, Resistensi Antimikroba adalah Kemampuan mikroba untuk bertahan hidup terhadap efek antimikroba sehingga tidak efektif dalam penggunaan klinis.
Pada 2013, WHO memperkirakan kematian akibat resistensi antimikroba mencapai 10 juta jiwa pertahun pada 2050. Bila hal ini tidak segera diantisipasi maka akan mengakibatkan dampak negatif yang masif pada kesehatan, ekonomi, dan pembangunan global, termasuk akan membebani keuangan negara dalam pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Saat ini penemuan antimikroba baru di dunia semakin menurun, sedangkan temuan mikroorganisme resisten semakin tinggi dari tahun ke tahun.
Sebagai bentuk antisipasi, masyarakat harus memahami tiga hal utama penyebab timbulnya mikroorganisme resisten, yaitu;
Pertama, penggunaan yang tidak tepat pada manusia, seperti penggunaan antibiotik untuk penyakit non-bakterial, pasien tidak patuh atau tidak menjalankan program terapi.
Kedua, penggunaan antimikroba yang tidak tepat pada hewan (peternakan, perikanan), seperti penggunaan antibiotik secara rutin (tidak untuk terapi, tetapi untuk membuat kondisi yang sehat), penggunaan antibiotik untuk menambah pertumbuhan hewan. Resistensi akan terjadi apabila hewan tersebut dikonsumsi.
Ketiga, pembuangan limbah antimikroba ke lingkungan, seperti manajemen pembuangan limbah industri yang keliru, pembuangan obat-obatan atau limbah medis yang tidak tepat.
Resistensi antimikroba dapat dicegah dengan penggunaan antibiotik secara bijak, serta dengan mengurangi resiko infeksi dan mencegah penyebaran bakteri resisten. Oleh karena itu, program Gerakan Masyarakat Hidup sehat (Germas) sangat diperlukan dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu juga permasalahan kesehatan yang timbul ditambah sanitasi lingkungan, serta ketersediaan air bersih yang masih kurang memadai, sebenarnya dapat dicegah bila melakukan pola hidup bersih dan sehat (PHBS) yang fokus upaya kesehatannya diutamakan pada upaya preventif dan promotif.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi nomor hotline Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id. (D2)
Plt. Kepala Biro Komunikasi dan
Pelayanan Masyarakat
drg. Murti Utami, MPH
NIP 196605081992032003