Jakarta, 5 April 2018
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI masih terus menggaungkan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas). Hal itu untuk mengantisipasi terjadinya masalah kesehatan terutama Stunting, TBC, dan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Masalah kesehatan tersebut diupayakan selesai pada 2019 sebagaimana hasil Rapat Kerja Kesehatan (Rakerkesnas) 2018 yang digelar pada 5-8 Maret 2018 di Tangerang, Banten. Karenanya, diharapkan pemahaman dan pengaplikasian Germas dilakukan secara merata oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Pada 2016, Kemenkes bersama anggota Komisi IX DPR-RI melakukan sosialisasi Germas di 101 lokasi. Sementara pada 2017, kegiatan sosialisasi Germas diselenggarakan di 134 lokasi.
Germas merupakan gerakan nasional yang diprakarsai oleh Presiden RI Joko Widodo dengan mengedepankan upaya promotif dan preventif, serta melibatkan seluruh komponen bangsa dalam memasyarakatkan paradigma sehat. Lintas sektor diharapkan dapat membuat kebijakan yang dapat mendukung pengimplementasian Germas.
Germas meliputi kegiatan aktivitas fisik, konsumsi buah dan sayur, tidak merokok, memeriksakan kesehatan secara rutin, membersihkan lingkungan, dan menggunakan jamban. Germas secara nasional dimulai dengan berfokus pada 3 kegiatan, yakni melakukan aktivitas fisik 30 menit per hari, mengkonsumsi buah dan sayur, dan memeriksakan kesehatan secara rutin minimal 6 bulan sekali sebagi upaya deteksi dini penyakit.
Untuk menyukseskan Germas, tidak bisa hanya mengandalkan peran sektor kesehatan saja. Peran kementerian dan lembaga di sektor lainnya juga turut menentukan, dan ditunjang peran serta seluruh lapisan masyarakat.
Stunting Jadi Perhatian Jokowi
Stunting telah menjadi perhatian Presiden Joko Widodo yang diungkapkan pada Rakerkesnas 2017 lalu. Saat itu Jokowi mengatakan tidak boleh ada lagi gizi buruk terjadi di Indonesia. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada Balita akibat kekurangan gizi kronis sehingga terlalu pendek untuk usianya.
Banyak faktor yang menyebabkan stunting, di antaranya dari faktor ibu yang kurang nutrisi di masa remajanya, masa kehamilan, masa menyusui, dan infeksi pada ibu. Faktor lainnya berupa kualitas pangan, yakni rendahnya asupan vitamin dan mineral, buruknya keragaman pangan dan sumber protein hewani, dan faktor lain seperti ekonomi, pendidikan, infrastruktur, budaya, dan lingkungan.
Pada 2010, WHO membatasi masalah stunting sebesar 20%. Sementara itu berdasarkan Pemantauan Status Gizi 2017, prevalensi Balita stunting di Indonesia dari 34 provinsi hanya ada 2 provinsi yang berada di bawah batasan WHO tersebut, yakni Yogyakarta dan Bali, 13 provinsi (20%-29%), 17 provinsi (30%-39%), dan dua provinsi yang sangat tinggi yakni NTT dan Sulawesi Barat (lebih dari 40%).
Untuk mengatasi hal tersebut, perlu intervensi spesifik gizi pada remaja, ibu hamil, bayi 0-6 bulan dan ibu, bayi 7-24 bulan dan ibu. Selain itu diperlukan juga intervensi sensitif gizi seperti peningkatan ekonomi keluarga, program keluarga harapan, program akses air bersih dan sanitasi, program edukasi gizi, akses pendidikan, dan pembangunan infrastruktur.
Kementerian Kesehatan menjadi leading sector dalam memberikan intervensi spesifik gizi pada remaja, ibu hamil, bayi 0-6 bulan dan ibu, bayi 7-24 bulan dan ibu-ibu. Selain itu, dilakukan intervensi sensitif gizi yang melibatkan banyak lintas sektor di luar Kementerian Kesehatan, seperti peningkatan ekonomi keluarga, program keluarga harapan, program akses air bersih dan sanitasi, program edukasi gizi, akses pendidikan, pembangunan infrastruktur, dan memberikan nutrisi 1.000 hari pertama kehidupan.
Atasi TBC dengan Pendekatan Keluarga
Terkait TBC, sesuai data WHO Global Tuberculosis Report 2016, Indonesia menempati posisi kedua dengan beban TBC tertinggi di dunia. Tren insiden kasus TBC di Indonesia tidak pernah menurun, masih banyak kasus yang belum terjangkau dan terdeteksi, kalaupun terdeteksi dan telah diobati tetapi belum dilaporkan.
TBC di Indonesia merupakan salah satu jenis penyakit penyebab kematian nomor empat setelah penyakit stroke, diabetes dan hipertensi. Kasus penyakit TBC di Indonesia masih terbilang tinggi yakni mencapai sekitar 450 ribu kasus setiap tahun dan kasus kematian akibat TBC sekitar 65 ribu orang.
Penyakit TBC lebih banyak menyerang orang yang lemah kekebalan tubuhnya, lanjut usia, dan pasien yang pernah terserang TBC pada masa kanak-kanaknya. Penyebab penyakit TBC adalah infeksi yang diakibatkan dari kuman Mycobaterium tuberkulosis yang sangat mudah menular melalui udara dengan sarana cairan yang keluar saat penderita bersin dan batuk, yang terhirup oleh orang sekitarnya.
Solusi yang bisa ditawarkan berupa peningkatan deteksi dengan pendekatan keluarga, Menyelesaikan under-reporting pengobatan TBC dengan penguatan public privat mix (PPM), Meningkatkan kepatuhan pengobatan TBC, Perbaikan sistem deteksi Multi Grug Resistense (MDR) TBC (Klinik MDR TBC dengan jejaringnya) dan akses terapi TBC MDR, Edukasi TBC pada masyarakat dan perbaikan perumahan, dan Pemenuhan tenaga analis peningkatan sensitivitas diagnosa melalui tenaga nusantara sehat (NS) individual.
Kaji Ulang Imunisasi
Kejadian luar biasa difteri dan campak yang baru-baru ini terjadi membuat pemerintah harus kembali menganalisa terkait cakupan imunisasi yang telah dilakukan, mutu atau kualitas vaksin yang ada, serta kekuatan surveilans di berbagai daerah.
Namun demikian, cakupan imunisasi dasar lengkap di Indonesia pada 2015 hingga 2017 mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, pada 2015 cakupan imunisasi secara nasional mencapai 86,5%, pada 2016 mencapai 91,6%, dan pada 2017 mencapai 92,4%.
Usulan penajaman program penting dilakukan, yaitu berupa peningkatan cakupan imunisasi, edukasi kepada masyarakat dan advokasi pada pimpinan wilayah, dan membangun sistem surveilans yang kuat untuk deteksi kejadian penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Menteri Kesehatan RI, Nila Farid Moeloek berulang kali menegaskan lengkapi imunisasi dasar seperti vaksinasi hepatitis B, BCG dan Polio sampai DPT yang dilakukan di Puskesmas, dan itu tidak dipungut biaya dengan vaksin yang terjamin dan berkualitas. Imunisasi merupakan perlindungan awal dari penyakit, seperti imunisasi BCG yang mencegah penyakit TBC.
Pemerintah berupaya mengidentifikasi masalah dan menyusun upaya-upaya dalam rangka percepatan eliminasi tuberculosis, penurunan stunting dan peningkatan cakupan serta mutu imunisasi. Germas menjadi penting diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai upaya menghindari tiga masalah tersebut, dan masalah kesehatan lainnya.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi nomor hotline Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id. (D2)
Plt. Kepala Biro Komunikasi dan
Pelayanan Masyarakat
drg. Murti Utami, MPH