Nusa Dua, 6 November 2018
Di tengah pertemuan tingkat menteri Global Health Security Agenda (GHSA) ke-5 di Nusa Dua, Bali, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Siswanto, MHP, DTM memaparkan kesiapan Indonesia menghadapi wabah penyakit infeksi baru.
Seiring meningkatnya populasi penduduk dunia, melesatnya arus imigrasi dan emigrasi beserta perubahan iklim, risiko munculnya wabah penyakit infeksi baru (New Emerging Infectious Disease) di dunia pun meningkat. Peningkatan ancaman keamanan kesehatan global menjadi ancaman serius bagi sistem kesehatan nasional dan mengakibatkan kerusakan besar bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Data Bank Dunia menunjukkan bahwa merebaknya wabah Ebola di Guinea, Liberia dan Sierra Leone pada tahun 2014 mengakibatkan pertumbuhan negatif perekonomian ketiga negara tersebut lebih dari setengah pertumbuhan ekonomi sebelum wabah merebak. Kerugian ekonomi akibat wabah di kawasan Afrika secara keseluruhan mencapai USD 30 milyar.
Indonesia pun pernah mengalaminya saat menghadapi outbreak flu burung, yang menanggung beban ekonomi sampai Rp. 4 triliun, serta penurunan perdagangan dan pariwisata. Keamanan kesehatan global mengakibatkan dampak kerusakan pada pembangunan ekonomi dan stabilitas negara serta perdagangan barang dan jasa, pariwisata, dan stabilitas demografi.
“Sebanyak 2/3 kasus wabah penyakit infeksi baru bersifat zoonotik, alias ditularkan dari hewan ke manusia; dari hewan yang bersifat vektor seperti nyamuk hingga reservoir seperti tikus atau kelelawar,” tutur Kepala Badan Litbangkes Kemenkea RI Siswanto, pada jumpa pers di sela sela perte.uan GHSA ke 5 di Nusa Dua, Bali.
Menurut Siswanto, kini Indonesia sudah lebih siap menghadapi potensi wabah infeksi dengan prinsip One Health yang dikampanyekan oleh negara-negara GHSA. “Kita sudah sepakat menangani potensi wabah dengan terintegrasi, antara hewan, pertanian dan manusia; maka bisa dikatakan Indonesia sudah cukup membangun pandemic preparedness,” tegas Siswanto.
Selain memakai pendekatan One Health, Siswanto juga menyatakan peran kunci untuk melindungi Indonesia dari wabah penyakit infeksi baru terletak pada laboratorium.
“Saat ini yang sedang kami kerjakan adalah memperkuat simpul-simpul lab tersebut, kerjasama dengan Balai Besar Veteriner dan jejaring Fakultas Kedokteran yang laboratoriumnya bisa kami gunakan,” tambah Siswanto.
Laboratorium-laboratorium ini menjadi garda terdepan dalam menjaga keselamatan hayati (biosecurity), dengan berbagai langkah pengaman agar jangan sampai laboratorium malah menjadi sumber infeksi. Selain itu, laboratorium juga berperan menjaga keamanan hayati (biosecurity) dengan cara menjaga berbagai kontennya yang bersifat infeksi agar tidak bocor keluar atau disalahgunakan pihak tidak bertanggung jawab.
“Makin ke sini, makin banyak laboratorium di Indonesia yang dapat mendeteksi penyakit infeksi baru – maupun penyakit infeksi lama yang bermutasi,” ujar Penanggung Jawab Biosafety Level 3 di Badan Litbangkes Indonesia, Ni Ketut Susilarini. “Kasus flu burung yang terakhir kali kami tangani terjadi di tahun 2017, padahal sebelumnya dari sejak awal ia merebak, setiap bulan pasti ada saja kasus flu burung.”
Dari konteks nasional, pertemuan GHSA ke-5 diharapkan dapat mendorong penguatan ketahanan kesehatan nasional dan lebih meningkatkan kerja sama lintas-sektor, serta menjadi ajang bagi Indonesia untuk berbagi praktik terbaik dalam pencapaian ketahanan kesehatan global dan nasional. Selain itu, di pertemuan GHSA Bali ini, Indonesia menjadi contributing country untuk paket aksi biosafety and biosecurity.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id. (olv).
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat
drg. Widyawati, MKM