Oleh Nila F. Moeleok
Jika kita mengamati jenis penyakit yang paling dikhwatirkan di masa lampau, maka sebagian besar kekhawatiran tersebut berpusat pada penyakit-penyakit infeksi. Penyakit-penyakit infeksi dipandang merupakan ancaman terbesar pada upaya perwujudan tujuan pembangunan manusia. Hal ini terefleksi dengan jelas pada target-target yang harus dicapai dalam Millennium Development Goals (MDGs), yang memberikan penekanan yang kuat pada upaya penanggulangan penyakit-penyakit infeksi.
Di tahun-tahun belakangan ini ancaman lain yang semakin menghantui adalah jenis penyakit non-infeksi (NCDs), seperti penyakit kardiovaskular, kanker, penyakit pernapasan, dan diabetes. Prevalensi penyakit ini terus meningkat dari waktu ke waktu dan memberikan ancaman serius terhadap upaya-upaya mewujudkan kehidupan masyakarat yang sehat dan produktif.
Namun di samping itu semua, tantangan lain yang harus mendapatkan perhatian yang sama seriusnya adalah implikasi atau ekses dari pengobatan itu sendiri, melalui penggunaan antibiotik tidak sesuai dengan protokol yang tepat, sehingga menimbulkan resistensi antimikroba (antimicrobial resistence, AMR).Kuman peyebab penyakit yang kebal atau resisten terhadap antibiotik menjadikan penyakit sulit disembuhkan yang berakibat meningkatnya angka kesakitan, angka kematian, dengan biaya yang meningkat tajam. Dalam perkembangannya, AMR telah menjadi salah satu ancaman kesehatan masyarakat terbesar pada abad ke-21.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh pakar ekonomi terkemuka Jim O’Neill, yang mengkaji dampak-dampak ekonomi di seputar persoalan AMR, diperkirakan bahwa terdapat 700.000 kematian setiap tahun akibat AMR. Kegagalan dalam menangani AMR akanmenyebabkan 10 juta kematian setiap tahun dan diperkirakan menghabiskan biaya hingga US$ 100 triliun pada tahun 2050.
Menyadari dampak kesehatan dan ekonomi yang sedemikian besar dari penggunaan antibiotik yang kurang tepat, pada World Health Assembly (WHA) ke-68 pada bulan Mei 2015 Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) telah menyepakati dibentuknya Global Action Plan untuk menangani AMR ini di seluruh dunia. Termasuk di sini adalah resistensi antibiotik yang merupakan kecenderungan resistensi obat-obatan yang paling mendesak dewasa ini.
Perlu dikemukakan bahwa pemakaian antibiotik yang tidak rasional bukan hanya terjadi di bidang kesehatan manusia tapi juga di bidang kesehatan hewan; dalam hal inipeternakan dan perikanan dan hampir semua antibiotik yang digunakan pada manusia juga digunakan di bidang peternakan.Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang koheren, komprehensif dan terpadu dari berbagai sektor terkait untuk menanggulangi masalah-masalah kesehatan yang ditimbulkan AMR yang dikenal sebagai one health policy.
Menyadari betapa mendesaknya upaya-upaya penanganan AMR baik di tingkat nasional maupun global, Indonesia telah mengambil inisiatif membentuk Rencana Aksi Nasional untuk penanganan AMR selama lima tahun. Rencana Aksi Nasional ini disusun melalui pembentukan Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba pada 2014, yang melibatkan pemangku kepentingan utama seperti para akademisi, organisasi profesi, dan lembaga swadaya masyarakat.
Tugas-tugas terpentingdari Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba antara lain mencakup penyusunan rencana strategis dan rencana aksi untuk program pengendalian resistensi antimikroba. Di samping itu, Komite ini juga akan memberikan rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan dalam penyusunan kebijakan program pengendalian resistensi antimikroba baik di tingkat fasilitas pelayanan kesehatan, maupun di tingkat komunitas.
Sebagai implementasi lebih jauh dari program pengendalian resistensi antimikroba ini, Kementerian Kesehatan juga telah menerbitkan Permenkes No. 8 Tahun 2015 tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit, beserta Pedomannya. Permenkes ini merupakan referensi utama bagi seluruh rumah sakit di Indonesia dalam upaya mengendalikan resistensi antimikroba, dengan tujuan agar program pengendalian resistensi antimikroba di tingkat rumah sakit ini dapat berlangsung secara baku, terukur, dan terpadu.
Dalam aplikasinya, program pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit bertumpu pada dua upaya utama, yakni: 1) mengendalikan berkembangnya mikroba resisten akibat tekanan seleksi oleh antibiotik, melalui penggunaan antibiotik secara bijak, dan 2) mencegah penyebaran mikroba resisten melalui peningkatan ketaatan terhadap prinsip pencegahan dan pengendalian infeksi.
Perlu disadari bahwa semua usaha yang dilakukan dalam penanggulangan resistensi antimikroba perlu juga dilakukan di pelayanan kesehatan primer baik puskesmas maupun praktek dokter mandiri. Selain itu penggunaan antibiotik tanpa resep dokter merupakan praktik yang luas di masyarakat dan berpotensi menyebabkan terjadinya resistensi antimikroba. Untuk mengatasinya, peningkatan kesadaran masyarakat dan pengawasan terhadap produksi, distribusi dan penjualan antibiotik menjadi hal yang sangat penting.
Menyadari bahwa upaya pengendalian resistensi antimikroba yang efektif tidak mungkin dilaksanakan semata-mata oleh pemerintah saja, Kementerian Kesehatan telah membentuk peta strategi pengendalian resistensi antimikroba yang melibatkan peran para pemangku kepentingan lain di luar pemerintah. Salah satu perwujudan dari hal ini adalah membangun kemitraan strategis dengan lembaga swadaya masyarakat, organisasi-organisasi profesi medis, dan dunia perguruan tinggi. Selain itu, kemitraan yang sama juga dibentuk dengan sektor-sektor pemerintah lainnya, seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, dll, khususnya dalam pengembangan dan pemanfaatan antimikroba.
Pada intinya semua upaya pengendalian resistensi mikroba ini akhirnya bermuara pada dua aspek fundamental.
Pertama, bagaimana agar antibiotik dapat digunakan secara bijak oleh semua pihak yang terkait. Semua ini mensyaratkan adanya kepatuhan yang ketat terhadap prinsip-prinsip penggunaan antibiotik secara bertanggung jawab.Jika demikian inti persoalannnya, maka upaya pengendalian resistensi antimikroba akan banyak berada di seputar program-program peningkatan kesadaran dan pengetahuan tentang penggunaan antibiotik secara bijak dan bertanggung jawab. Dengan melihat kecenderungan akhir-akhir ini dari konsekuensi penggunaan antibiotik yang kurang tepat, maka kesadaran tentang implikasi dari penggunaan tersebut harus mendasari upaya-upaya pengendalian resistensi antimikroba, baik di tingkat fasilitas layanan kesehatan, maupun di tingkat masyarakat. Pada gilirannya, dengan terbentuknya pengetahuan dan kesadaran ini, terutama mengenai implikasi-implikasi dari penggunaan antibiotik yang tidak sesuai, maka kepatuhan terhadap penggunaan antibiotik secara bertanggung jawab akan lebih mudah terwujud. Pengalaman di negara lain memperlihatkan masyarakat yang sudah sadar menjadi kritis setiap mendapat resep antimikroba.
Kedua, memperbaiki pengelolaan antimikroba mulai dari produksi, distribusi, penjualan serta pengamatan yang terencana dan terstruktur terhadap penggunaannya.
Adalah penting untuk mencermati dampak-dampak penggunaan antibiotik yang kurang tepat di berbagai tingkat layanan kesehatan dan di masyarakat. Diproyeksikan akan adanya peningkatan laju kematian dan kerugian ekonomi yang sangat besar di masa depan, jika pendekatan terhadap penggunaan antibiotik masih bersifat business-as-usual.
Menyadari hal tersebut, tidak ada pilihan lain selain memastikan agar upaya-upaya pengendalian resistensi antimikroba dapat berjalan secara efektif dan berkesinambungan untuk menghindari masalah kesehatan masyarakat dan kerugian ekonomi yang jauh lebih besar di masa depan. Untuk itu,upaya-upaya kolektif yang berkelanjutan dari semua pemangku kepentingan perlu terus dikembangkan untuk menghasilkan pengendalian resistensi mikroba yang efektif di tanah air.
******