03 September 2017
oleh: Prawito
Setiap hari antrian toilet panjang selalu terjadi, khususnya pada tenda mabit di Mina. Ada saja yang main salip dan potong antrian, sehingga ada yang merasa tidak nyaman, terutama mereka yang berada pada antrian berikutnya.
Tapi apa daya penyerobot itu terkadang orang tua, kakek yang sudah renta dan belum mengenal budaya antri. maklum banyak jemaah haji dari desa, kampung yang tidak pernah mengenal antri, karena memang tak pernah ada antrian.
Kampung, tak ada antri kendaraan, toilet, belanja, atau antrian lainnya. Semua berjalan lancar, alami dan sangat bersahabat. Berbeda dengan kehidupan kota besar, apalagi saat berhaji di Arab Saudi, semua serba antri.
Suatu pagi menjelang siang, antrian toilet terlihat lengang, hanya 1-2 saja antrianya. Ketika saya masuk toilet, baru buang air besar setengah porsi sudah ada yang ketuk pintu dari luar, sebentar belum selesai, kata saya dari dalam, padahal rencana mau sekalian mandi dan keramas rambut yang terasa sudah kumal.
Ketika mengguyur badan, sudah diketuk lagi. Akhirnya saya mengakhiri mandi hanya dengan sekali guyur tanpa sabunan, pakai baju dan celana, ikat pinggang pun belum dikancingkan. Begitu keluar, ternyata kakek, seorang kakek sambil pegang perut karena mules. Silahkan kek, lanjutkan…!
Selanjutnya saya keramas rambut dan sikat gigi dipancuran tempat wudhu sampai selesai. Kenapa keramasnya ngak waktu sekalian mandi tadi mas, jadi ngak mengganggu orang mau berwudhu ? tanya seorang jemaah. Tanpa menjawab, silahkan berwudhu pak, sambil saya minggir. Nasib…!
Mengapa harus pintu kamar mandi saya yang menjadi pilihan kakek untuk diketuk, sementara ada 25 pintu toilet lain. Ada apa ya..? Akh ini mungkin cara Allah untuk memberi ide tulisan kepada saya, Alhamdulillah, terima kasih ya kek, bisik saya dalam hati.
Di dunia ini, ada kegiatan paling penting dan mendesak yang tak dapat diwakilkan oleh siapapun. Sekalipun Ia punya kuasa, puluhan staf ahli dan banyak pembantu lain dalam berbagai disiplin ilmu. Tapi untuk urusan buang air besar, karena sudah kebelet, apalagi mules plus mencret, siapun Ia harus mengerjakannya sendiri.
Ini pekerjaan penting dan mendesak, sekiranya saat bersamaan ada panggilan bos atau atasan, yang super cito, pasti tetap akan dikalahkan, lebih mengutamakan lari menuju toilet. Tak peduli dengan pekerjaan yang lain, sepenting dan semendesak apapun. Sama halnya dengan si kakek tadi.
Jadi kalau hanya mandi, keramas dan sikat gigi, itu urusan remeh temeh yang harus mengalah dengan agenda besar yang tak bisa diwakilkan. Harus dikerjakan menit, bahkan detik itu juga, tak bisa ditunda. Wajar kalau kakek harus nekat mengetuk pintu berulang, ngak peduli kalau yang didalam juga baru setengah porsi.
Tak perlu marah, apalagi kesel dan ngomel. Bayangkan kalau kita menjadi kakek itu, pastinya akan melakukan hal yang sama. Tak peduli siapa didalam sedang pada episode apa, ngak peduli, ketuk, segera keluar, gantian, sudah diujung pintu, tinggal jebolnya saja. Maka, berilah kesempatan.
Suatu saat, kita akan sampai pada suatu masa, dimana semua orang mempersilahkan untuk mendahului. Mereka rela berhenti, minggir dan mepersilahkan kita mendahului. Kapan itu ? Ketika sudah ada ketukan pintu sakaratul maut, bukan sekedar pintu toilet lagi. Bersambung…