Musim kemarau berkepanjangan dan tidak terkendalinya pencemaran udara meningkatkan kasus infeksi saluran pernapasan akut. Kementerian Kesehatan mengkampanyekan gerakan 6M 1S.
Musim kemarau berkepanjangan dan tidak terkendalinya pencemaran udara, baik yang berasal dari asap kendaraan bermotor maupun industri, menyebabkan peningkatan kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Menurut Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan, Dr. dr. Maxi Rein Rondonuwu, D. H. S. M., M. A. R. S., telah terjadi peningkatan kasus ISPA yang dilaporkan oleh pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) maupun rumah sakit di Jabodetabek.
“Dalam beberapa waktu terakhir tren polusi udara di Jabodetabek melebihi batas aman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan batas aman peraturan kualitas udara di Indonesia. Di sisi lain, juga terjadi kenaikan ISPA di DKI Jakarta dalam enam bulan terakhir yang mencapai di atas 100 ribu kasus per bulan,” kata Maxi ketika menyampaikan keterangan pers pada 28 Agustus lalu.
Menurut dokter spesialis paru dari Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Dr. dr. Heidy Agustin Sp. P. (K.), peningkatan kasus ISPA tidak dapat dikaitkan secara langsung dengan meningkatnya polusi. Namun demikian, polusi udara merupakan salah satu faktor penyebab kejadian ISPA, di samping musim kemarau yang berkepanjangan. Berdasarkan data Dinas Kesehatan DKI Jakarta, kasus ISPA di Jakarta mencapai 638.291 kasus selama Januari-Juni 2023.
Sementara itu, data dari Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, tren kasus ISPA di Indonesia dalam kurun waktu Januari hingga September 2023 cukup tinggi, yakni di kisaran 1,5-1,8 juta kasus secara nasional. Adapun tiga provinsi tertinggi terkait kasus ISPA adalah Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta.
Dokter spesialis paru dari Unit Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan, dr. Sri Mulyani, Sp. P., berdasarkan data indeks standar pencemaran udara di berbagai kota besar seperti Jabodetabek secara fluktuatif mencapai angka tertinggi pada kategori tidak sehat. Menurut Sri, polusi udara tidak bisa dianggap remeh karena sangat berdampak pada kesehatan manusia. “Asap atau polusi udara yang masuk ke sistem pernapasan akan mengganggu dan bahkan melemahkan pertahanan tubuh sehingga rentan terkena ISPA. Bagi orang yang telah terkena ISPA sebelumnya, tentu ini bisa memperberat gejala yang sudah ada,” kata Sri ketika berbincang dengan Mediakom pada Selasa, 5 Desember lalu.
Sri menambahkan, dampak buruk dari penurunan kualitas udara ini sangat bisa dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan. Karena, lanjut Sri, paparan polusi udara yang berasal dari asap kendaraan bermotor dan polusi industri dapat merusak silia, rambut kecil di saluran napas yang berfungsi untuk mengeluarkan zat asing seperti debu dari paru-paru, sehingga memicu infeksi penyakit ISPA.
Orang yang mengalami gejala ISPA dan menunjukkan tanda-tanda memburuk hingga kesulitan bernapas, Sri menyarankan agar mereka segera dibawa ke instalasi gawat darurat yang tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan terdekat. Menurut Sri, penyakit saluran pernapasan termasuk berbahaya dan bisa mengancam keselamatan penderitanya sehingga dianjurkan untuk mengedepankan upaya pencegahan.
Salah satu upaya yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada Agustus lalu adalah mengkampanyekan gerakan 6M 1S. Adapun yang dimaksud dengan 6M dan 1S adalah memeriksa kualitas udara melalui aplikasi atau situs web; mengurangi aktivitas luar ruangan dan menutup ventilasi rumah, kantor, sekolah, dan tempat umum di saat polusi udara tinggi; menggunakan penjernih udara dalam ruangan; menghindari sumber polusi dan asap rokok; menggunakan masker saat polusi udara tinggi; melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat; serta segera konsultasi dengan tenaga kesehatan jika muncul keluhan pernapasan.
“Berbagai riset yang ada menyebut infeksi sekunder terhadap penyakit respirasi biasanya lebih tidak baik daripada infeksi yang pertama. Oleh karena itu, cegah jangan sampai terjadi, terutama pada empat kelompok risiko tinggi sehingga kalau aktivitas di luar ruangan pakai masker. Kuncinya adalah 6M 1S untuk mencegah risiko dampak kesehatan,” ucap Ketua Komite Penanggulangan Penyakit Pernapasan dan Dampak Polusi Udara, Prof. Dr. dr. Agus Dwi Susanto, Sp. P. (K.), F. I. S. R., F. A. P. S. R., ketika memberikan keterangan pers pada 28 Agustus lalu.
Penulis: Redaksi Mediakom