Baik korban maupun pelaku perundungan dapat mengalami gangguan kejiwaan. Orang tua perlu segera membawa mereka ke psikolog atau psikiater untuk ditangani lebih lanjut.
Menurut Dana Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (Unicef), 41 persen pelajar berusia 15 tahun di Indonesia pernah mengalami perundungan setidaknya beberapa kali dalam satu bulan. Hal tersebut berdasarkan studi Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) tahun 2018. Dalam lembar fakta Unicef disebutkan, dampak perundungan itu berhubungan dengan meningkatnya risiko gangguan psikis dalam rentang kehidupan anak, fungsi kehidupan yang buruk, dan proses pendidikannya.
Pada 2017, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengungkap data tim konselor Kementerian Sosial yang menunjukkan bahwa sekitar 40 persen anak-anak, terutama usia sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, yang mengalami perundungan pada akhirnya mengalami frustrasi yang cukup dalam. Korban, kata Khofifah, bahkan ada yang sampai bunuh diri.
Unicef juga menyatakan bahwa perundungan dapat menimbulkan dampak yang berbahaya dan berkepanjangan bagi anak-anak. Selain dampak fisik, anak-anak juga dapat mengalami masalah kesehatan mental dan emosional, termasuk depresi dan kecemasan, yang dapat menyebabkan penyalahgunaan narkotika dan penurunan prestasi di sekolah.
Keadaan sekarang lebih buruk karena fenomena perundungan siber (cyberbullying). Menurut Unicef, perundungan melalui Internet ini dapat menjangkau korban di mana saja dan kapan saja. Hal ini dapat menyebabkan bahaya besar karena dapat dengan cepat menjangkau khalayak luas dan meninggalkan jejak permanen secara daring untuk semua yang terlibat di dalamnya.
Psikolog klinis dari Rumah Sakit Ketergantungan Obat Cibubur, Dian Fatmawati, S. Psi., M. Psi., mengatakan, salah satu dampak yang dialami korban perundungan adalah timbulnya gangguan emosional. “Sifatnya (perundungan) berulang itu dapat menimbulkan trauma-trauma yang, walaupun kecil tapi berulang, akan mengakibatkan ketakutannya muncul terus. Itu bikin stres banget. Stres yang menumpuk akan menimbulkan kecemasan yang berat, depresi yang berat,” kata Dian kepada Mediakom pada Rabu, 25 Oktober lalu. “Beratnya bisa sampai ke gangguan kecemasan, depresi. Bisa putus sekolah, jadinya di rumah saja.”
Ketika di rumah, Dian menambahkan, anak yang menjadi korban perundungan akan semakin depresi karena teman-teman yang lain bersekolah sementara dia di rumah aja. Hal ini menimbulkan pikiran negatif dalam dirinya, seperti dia tidak mampu berbuat apa-apa dan tidak memiliki teman. Kondisi ini terus berlarut-larut sehingga menimbulkan depresi berat yang akhirnya menjadi faktor pemicu tindakan bunuh diri. “Pasti banyak pikiran-pikiran negatif yang muncul (ketika berhenti sekolah), yang semakin memperparah depresinya yang fatal sampai memutuskan untuk bunuh diri,” ujar Dian.
Menurut Dian, tidak semua anak yang mengalami perundungan akan mendapatkan masalah psikologis tersebut. Apabila segera ditangani, maka kemungkinan sang anak dapat keluar dari persoalan mental yang dihadapi dan kembali beraktivitas, seperti bersekolah.
Dian menuturkan, orang tua perlu memperhatikan beberapa tanda pada anak, di antaranya adalah perubahan pembawaan dari ceria tiba-tiba menjadi pendiam atau bahkan pemurung. Sang anak menjadi tidak semangat bersekolah atau bahkan mogok sekolah. Ciri lainnya adalah anak menjadi sering mengeluh masalah fisik, seperti sakit perut, pusing, atau pura-pura sakit agar tidak bersekolah. Orang tua, kata Dian, juga bisa memeriksa kondisi tubuh si kecil, apakah ada bekas tanda-tanda perundungan fisik seperti lebam atau biru. Jika menemukan tanda-tanda tersebut, orang tua segera berbicara dengan anaknya secara baik-baik, perlahan, dan tidak dengan langsung mencecar.
Psikiater anak dan remaja dari Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heerdjan, dr. Suzy Yusna dewi, Sp.K J. (K)., mengatakan, ketika orang tua mengetahui anaknya menjadi korban perundungan, ada baiknya orang tua segera membawanya ke psikolog atau psikiater untuk diperiksa lebih lanjut. “Memang harus dibawa ke rumah sakit atau klinik-klinik jiwa, entah psikolog entah psikiater. Karena itu (akan) mendapatkan terapi intensif untuk meningkatkan kepercayaan diri, bagaimana menangkal perundungan berikutnya, sehingga meningkatkan ketahanan mental,” ujar Suzy kepada Mediakom pada 11 Oktober lalu.
Suzy menambahkan, korban perundungan yang mengalami trauma mendalam perlu diterapi agar tidak menjadi lebih parah. Bentuknya bisa terapi kognitif atau ditambahkan terapi farmakologi berupa obat-obat yang bertujuan untuk menstabilkan zat kimiawi otak. “Kasus-kasus yang menunjukkan keparahan akan kami beri obat. Obat terapi untuk mencegah semuanya. Apalagi kalau dia sudah ada tanda-tanda, misalnya, menarik diri, malas sekolah, penurunan daya pikir, prestasi turun. Nah, itu sudah ditangani secara serius,” ujarnya.
Selain menimbulkan dampak pada korban, perundungan juga bisa memberikan efek kepada pelakunya sendiri. Menurut Suzy, pelaku perundungan perlu diberikan peringatan bahwa apa yang dilakukan adalah salah dan bertentangan dengan norma di masyarakat sehingga harus dihentikan dan tidak boleh diulangi.
Di sisi lain, kata Suzy, perlu juga diketahui latar belakang pelaku melakukan perundungan, apakah ada unsur-unsur perilaku perundungan atau memang ada masalah gangguan kesehatan mental. Semuanya perlu digali dan pelaku perundungan diberi terapi kognitif. “Cognitive behaviour therapy namanya. Jadi, sama-sama akan dilakukan itu. Cuma, yang ini (untuk) anak yang melakukan perundungan. Biasanya kami cari tahu apa penyebab dia begitu, di mana dia mengalihkan pikiran-pikiran negatifnya, mengalihkan emosinya bagaimana caranya, kenapa sih mesti ke orang lain.”
Menurut Dian, bila pelaku perundungan tidak ditangani, maka dikhawatirkan dia akan melakukan tindakan kriminal serius. Sebagai contoh, ucap Dian, pelaku akan merasa bukan masalah bila melakukan perbuatan yang melanggar aturan sehingga mencoba tindakan kriminal seperti begal. Bahkan, tambah Dian, mereka bisa sampai pada penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang. “Dia mungkin bisa mencoba hal-hal yang lebih ‘parah, misalnya memalak atau begal. Bisa juga ke gangguan penggunaan zat (adiktif). Kalau sudah ke gangguan penggunaan zat, dia bisa malah mencuri karena butuh uang untuk buat beli zat. Jadi, malah merambat ke mana-mana,” kata Dian.
Untuk mengatasi dampak perundungan, selain peran orang tua agar dalam memberikan perhatian yang baik kepada anaknya, juga perlu dilakukan upaya dari pihak sekolah. Menurut Dian, langkah-langkah pencegahan perundungan dapat dimulai sejak jenjang taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Sekolah, kata Dian, perlu menanamkan budaya kasih sayang, tolong-menolong, dan antikekerasan. Selain itu, juga perlu dibuat sosialisasi melalui poster yang mengajak siswa agar tidak melakukan tindakan perundungan. “Penting juga para guru, pendidik punya edukasi tentang perundungan, dampak parahnya bisa seperti apa. Kalau bisa setiap sekolah di tiap awal tahun, awal semester selalu ada poster-poster ‘sekolah ini bebas perundungan’.”
Penulis: Redaksi Mediakom