Ada proses panjang yang menyebabkan anak menjadi pelaku atau korban perundungan. Dapat dicegah dengan konsep CERIA Kementerian Kesehatan.
Ketua Koordinator Pendidikan Pusat Kesehatan Jiwa Nasional Rumah Sakit Jiwa Marzoeki Mahdi Bogor, Dr. dr. Fidiansjah, Sp.Kj., M. P. H., menilai maraknya kasus perundungan yang terjadi belakangan ini adalah fenomena gunung es, yang hanya memotret pucuk masalah kesehatan jiwa di kalangan anak remaja Indonesia. “(Potret ini) tidak menggali dasar persoalan lainnya, baik pada unit terkecil keluarga maupun unit terdekat, sekolah. Prosesnya panjang dan butuh kesinambungan, tidak bisa instan,” kata Fidi, sapaan akrab Fidiansjah, kepada Mediakom pada Jumat, 10 November lalu.
Menurut Fidi, ketika terjadi kasus perundungan di instansi pendidikan, maka penanganannya perlu dilakukan secara mendalam. Tidak sebatas hanya pada korban dan pelaku tetapi sekolah juga perlu meninjau kembali sistemnya, khususnya mengenai kemampuan deteksi kasus perundungan.
Fidi menjelaskan, ada proses panjang yang menyebabkan seseorang menjadi pelaku atau korban perundungan. Dengan demikian, kata dia, penting bagi para orang tua untuk memiliki ilmu tentang cara mendidik atau parenting skill sehingga mampu menanamkan nilai-nilai baik dan buruk serta membentuk ketahanan mental anak.
Kementerian Kesehatan telah memperkenalkan konsep “CERIA” agar anak-anak menjadi tangguh dalam menghadapi berbagai masalah, termasuk perundungan. CERIA adalah akronim dari cerdas intelektual emosional dan spiritual; empati dalam berkomunikasi efektif; rajin beribadah sesuai agama dan keyakinan; interaksi yang bermanfaat bagi kehidupan; serta asah, asih, asuh tumbuh kembang dalam keluarga dan masyarakat. “Kenapa CERIA? Karena terkait maknanya bahwa manusia harus hidup dengan keceriaan, optimisme, berpikir positif, dan sebagainya,” ujar Fidi.
Slogan cerdas intelektual emosional dan spiritual dalam CERIA, kata Fidi, mengingatkan orang tua bahwa mendidik anak tidak hanya merangsang kecerdasan intelektual saja tapi juga kecerdasan emosional dan spiritual. Menurutnya, kecerdasan emosional penting diajarkan kepada anak agar mereka dapat mengatasi persoalan ketika terjadi perbedaan antara harapan dengan kenyataan sehingga anak tidak akan memaksakan kehendak atau keinginannya agar selalu dipenuhi orang tua. Adapun untuk kecerdasan spiritual, kata Fidi, tidak harus selalu dipandang sebagai pelajaran nilai-nilai agama semata namun mengajarkan anak untuk memiliki pemahaman tentang hakikat kehidupan.
“Kecerdasan spiritual itu semacam filosofi hidup bahwa pada hakikatnya ada hikmah di balik setiap peristiwa. Bahwa spiritualitas menempatkan setiap anak memiliki hikmah, makna, hakikat pada sebuah kehidupan apa pun. Dan itu tidak bisa belajar sim salabim. Ada proses yang harus dijalani,” tutur Fidi.
Slogan kedua, empati dalam berkomunikasi efektif, menekankan pentingnya sikap empati. Namun, kata Fidi, empati belakangan ini dinilai sudah mulai berkurang karena maraknya penggunaan teknologi seperti WhatsApp. Padahal, kata Fidi, empati dapat terjadi melalui komunikasi verbal, sentuhan, dan komunikasi yang dibangun dengan suasana personal tanpa ada sekat media sebagai perantara.
“Empati hanya bisa dihasilkan lewat sebuah hubungan nyata yang tidak bisa diwakilkan oleh apa pun karena ada sentuhan di sana, ada mimik muka, ada ekspresi, ada gestur. Itulah yang disebut dengan empati manusia yang harus terjaga,” ujar Fidi.
Slogan ketiga, rajin beribadah, merupakan bagian tak terpisahkan dari mencerdaskan bagian emosional dan spiritual. Adapun slogan asah, asih, asuh perlu diterapkan di dalam keluarga.
Fidi mengatakan, dari sisi psikologis ada banyak faktor yang menjadi penyebab perundungan. Salah satunya, pelaku perundungan memiliki perasaan tak bermakna di dalam keluarganya sehingga ketika dia melakukan perundungan dia merasa memiliki arti di hadapan orang lain. Ini terjadi, kata Fidi, karena perundungan adalah tindakan mendominasi kelompok minoritas atau kelompok orang tidak berdaya yang mungkin dapat menghadirkan perasaan super yang pelaku tidak pernah dapatkan di rumah. “Nah, di situlah yang disebut miskinnya penghargaan di tengah kegersangan keluarga. Dia mendapatkan (penghargaan itu) dengan cara yang salah ketika dia menjadi pelaku perundungan.”
Menurut Fidi, kenyamanan dan kehangatan di tengah keluarga merupakan hal penting dalam proses tumbuh kembang anak sehingga dapat mencegah anak menjadi pelaku atau korban perundungan. Hadirnya suasana yang nyaman akan menimbulkan kepercayaan pada anak terhadap orang tuanya sehingga mereka akan lebih terbuka dan mau menceritakan berbagai persoalan yang tengah dihadapinya—sesuatu yang biasanya sulit diungkapkan oleh pelaku maupun korban perundungan.
Fidi menuturkan bahwa salah satu cara untuk menghadirkan kepercayaan adalah dengan mendengarkan dan menerima segala sesuatu yang disampaikan anak dan tidak langsung menilai, apalagi memvonis sang anak telah melakukan kesalahan. Setelah mendengarkan apa yang disampaikan anak, orang tua selanjutnya disarankan untuk memberikan bimbingan kepadanya, alih-alih memberikan hukuman. Hal ini agar anak di masa depan tidak takut untuk bercerita kepada orang tua. “Betapa keterbukaan, kenyamanan dalam membuka suatu komunikasi adalah momen yang sangat menentukan orang nyaman bercerita,” ujar Fidi.
Pada kasus tertentu, korban perundungan perlu menjalani terapi oleh ahli, baik psikolog atau psikiater. Namun, tidak jarang, orang tua kesulitan ketika menghadapi situasi ini, khususnya ketika harus mengajak sang buah hati untuk berkonsultasi kepada pakar. Menolak atau menghindar dengan menyatakan sudah baik adalah hal yang biasanya dilakukan anak-anak.
Fidi memberikan tip cara berkomunikasi untuk mengajak anak berkonsultasi ke psikiater atau psikolog. Caranya, kata Fidi, adalah orang tua harus berkomunikasi dengan gaya “aku”, bukan “kamu”. Jadi, lanjut Fidi, orang tua tidak langsung menanyakan kepada anak bahwa dia telah menjadi korban perundungan dan akan dibawa ke ahli untuk ditangani. “Jangan mencoba untuk masuk ke dalam, seolah-olah ini persoalan kamu (anak) tetapi katakan, ‘Nak, Papa ada persoalan, mama ada persoalan, butuh bantuan kamu. Kami ingin mengatasi ini dengan melibatkan ahli.’ Jadi komunikasi gaya aku,” kata Fidi.
Fidi menyatakan bahwa keterbatasan orang tua untuk memberikan jalan keluar terhadap persoalan perundungan anaknya bukanlah sebuah kekurangan. Orang tua juga harus menyadari bahwa membawa sang anak ke psikolog atau psikiater adalah cara untuk menjembataninya. Selanjutnya, para ahli akan melakukan serangkaian terapi, seperti terapi keluarga, terapi bermain, dan berbagai metode lain yang bertujuan untuk menemukan persoalan dasar sehingga ahli dapat memberikan solusi yang tepat.
Proses pemulihan kesehatan mental korban atau pelaku perundungan tidak dapat dilakukan secara instan. Menurut Fidi, adanya perundungan merupakan semacam temuan awal untuk mengungkap celah-celah yang tidak lengkap dalam proses tumbuh kembang anak. Penggalian ke dasarnya akan dalam dan nanti akan dapat ditemukan pola asuh orang tua, termasuk kerentanan individu ketika beradaptasi di sekolah maupun lingkungan pertemanannya. “Sehingga, ini akan menjadi cara untuk membenahi, tidak hanya di rumah tapi juga akan melibatkan sekolah. Temuan kasus perundungan itu akan merembet pada pembenahan sebuah sistem, baik itu sistem terkecil keluarga maupun sistem di luarnya, yaitu sekolah,” kata Fidi.
Penulis: Redaksi Mediakom