Kondisi iklim yang mulai berubah sangat berpengaruh terhadap berkembangnya vektor penyebab penyakit di suatu daerah. Hal ini akan diperkuat dengan melemahnya daya tahan tubuh manusia. Bukti ilmiah yang diperoleh hingga saat ini banyak menunjukkan bahwa variabilitas dan perubahan iklim dapat berpengaruh terhadap epidemiologi penyakit yang ditularkan oleh vektor (vector-borne disease), air (water-borne disease), dan udara (air-borne disease).
Demikian disampaikan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P (K), MARS, dalam acara Kick of Meeting Proyek ICCTF-Kemenkes “Kajian Kerentanan: Pemetaan, Penilaian, dan Adaptasi Berbasis Masyarakat pada Penyakit Demam Berdarah Dengue dan Malaria”, di Jakarta (27/3). Kegiatan tersebut dihadiri pula oleh Direktur Lingkungan Hidup Badan Pembangunan Nasional (Bappenas), serta perwakilan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemkes RI, Sekretariat ICCTF, UNDP, dan Universitas Indonesia.
“Indonesia merupakan wilayah endemik untuk beberapa penyakit yang perkembangannya terkait dengan pertumbuhan vektor pada lingkungan, misalnya Demam Berdarah Dengue dan Malaria”, ujar Prof. Tjandra.
Menurut Prof. Tjandra, peningkatan potensi banjir akibat peningkatan peluang kejadian hujan ekstrem, sebagai salah satu konsekuensi dari perubahan iklim, dapat meningkatkan potensi kejadian penyakit diare di suatu wilayah. Selain itu, pada daerah kering perubahan iklim memiliki potensi menyebabkan kebakaran lahan dan hutan, sehingga asap yang ditimbulkan dapat memperburuk kualitas udara. Akibatnya, potensi gangguan kesehatan terkait dengan kualitas udara, seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan iritasi pada mata, juga akan meningkat.
“Pemahaman masyarakat dan petugas akan dampak perubahan iklim terhadap kesehatan ini masih perlu ditingkatkan”, kata Prof. Tjandra.
Terkait dampak perubahan iklim terhadap kesehatan, Kemenkes telah merintis upaya adaptasi yang salah satunya dituangkan dalam Permenkes No. 1018/Menkes/Per/V/2010 tentang strategi adaptasi perubahan iklim terhadap kesehatan. Upaya adaptasi lainnya yang telah dilakukan oleh Kemenkes RI, antara lain: menyusun Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR); menyusun draft pedoman pemetaan faktor risiko lingkungan akibat perubahan iklim dan modul perubahan iklim; melakukan, kajian health impact assessment (HIA) di 3 Kabupaten/Kota; dan melaksanakan workshop dampak perubahan iklim terhadap kesehatan tingkat South East Asia Region (SEARO) dengan bekerjasama dengan WHO dan Kedutaan Besar Perancis pada Juni 2009.
Sepuluh pilar yang harus dijadikan dasar bagi pemerintah pusat dan daerah untuk melaksanakan strategi adaptasi, antara lain: Sosialisasi dan advokasi adaptasi sektor kesehatan terhadap dampak perubahan iklim; Pemetaan populasi dan daerah rentan perubahan iklim; Peningkatan sistem tanggap perubahan iklim sektor kesehatan; Peraturan perundang – undangan; Peningkatan keterjangkauan pelayanan kesehatan khususnya daerah rentan perubahan iklim; Peningkatan kapasitas sumber daya manusia bidang kesehatan; Peningkatan pengendalian dan pencegahan penyakit akibat dampak perubahan iklim; Peningkatan kemitraan; Peningkatan pemberdayaan masyarakat dalam adaptasi perubahan iklim sesuai kondisi setempat; dan Peningkatan surveilans dan sistem informasi.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline <kode lokal> 500-567; SMS 081281562620, faksimili: (021) 52921669, website depkes.go.id dan alamat e-mail [email protected].