Jakarta, 7 Oktober 2019
Sekretaris PP Perhimpunan Dokter Spesiali Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dr. Agung Frijanto mengatakan konsekuensi seseorang apabila depresi tak tertangani maka akan meningkatkan risiko bunuh diri. Ia mengimbau masyarakat mampu melakukan upaya pencegahan kalau ada anggota keluarga yang mengalami gejala depresi.
Gejala depresi dapat dilihat dari 3 aspek, antara lain afek, kognitif, dan fisik. Gejala depresi pada Afek dapat ditandai dengan sedih, hilangnya minat, iritabilitas, apatis, anhedonia, tak bertenaga, tak bersemangat, isolasi social, dan aniestas.
Gejala depresi secara kognitif dapat dicirikan dengan rendah diri, konsentrasi menurun, daya ingat menurun, ragu-ragu, rasa bersalah, ide bunuh diri. Selain itu, secara fisik dapat dilihat dari psikomotor menurun, fatigue, gangguan tidur, gangguan nafsu makan, dan hasrat seksual menurun.
“Puskesmas di layanan primer punya peran penting dalam pelayan jiwa. Dalam sistem rujukan JKN kita tempatkan di rumah sakit umum dan rumah sakit jiwa,” kata dr. Agung di gedung Kemenkes, Jakarta, Senin (7/10).
Dr. Agung menambahkan, setiap orang perlu meningkatkan kepedulian antar sesama. Peran keluarga sangan penting dalam hal mencegah depresi lebih parah.
Tak hanya dalam keluarga, upaya pencegahan harus juga dilakukan di lingkungan lain seperti sekolah.
“Poinnya bagaimana memberikan pemahaman kepada orangtua dan guru-guru di sekolah dasar. Pada kondisi remaja atau SMP/SMA kita bisa melakukan deteksi dini, kita bagikan instrument atau daftar pertanyaan untuk mengetahui apakan remaja tersebut depresi atau tidak,” kata dr. agung.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dr. Anung Sugihantono mengatakan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir perilaku bunuh diri karena depresi telah mencapai angka yang kritis. Secara global WHO menyebutkan lebih dari 800.000 orang meninggal setiap tahunnya atau sekitar 1 orang setiap 40 detik bunuh diri.
Tingkat prevalensi angka bunuh diri di negara berpenghasilan tinggi ternyata lebih tinggi dibandingkan di negara berpenghasilan rendah atau menengah (12,7% : 11,2% per 100.000 populasi). Contoh 3 negara terbesar akan kasus bunuh diri per 100.000 populasi yaitu diantaranya Guyana, Korea dan Sri Lanka.
“Tetapi di Indonesia sendiri belum ada angka prevalensi nasional. Menurut penelitian dikatakan bahwa angka bunuh diri di kota Jakarta pada tahun 1995-2004 mencapai 5,8/100.000 penduduk. Begitupun laporan dari WHO di tahun 2010 menyebutkan angka bunuh diri di Indonesia mencapai 1,6 hingga 1,8% per 100.000 jiwa,” ucap dr. Anung.
Program pencegahan yang dapat dilakukan di lingkungan sektor kesehatan di antaranya meningkatan kapasitas petugas kesehatan dan kader dalam bentuk deteksi dini, intervensi krisis, dan manajemen gangguan jiwa. Mengembangan klinik sehat jiwa di Puskesmas, pelatihan kader, serta pengembangan Posyandu Lansia Plus.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id.(D2)
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat
drg. Widyawati, MKM