Jakarta, 28 Juli 2020
Dalam rangka memperingati Hari Hepatitis Sedunia tahun 2020, Kementerian Kesehatan menggelar temu media bertajuk “Generasi Bebas Hepatitis” yang dilaksanakan secara daring, dengan narasumber Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung dr. Wiendra Waworuntu, M.Kes serta Ketua PB Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia DR. dr. Irsan Hasan. Sp. PD-KGEH.FINASIM.
Dalam paparannya, dr. Irsan, hepatitis merupakan penyakit peradangan hati yang disebabkan oleh virus hepatitis, perlemakan, obat-obatan, alkohol, parasit maupun virus lainnya. Hepatitis terdiri dari hepatitis A, B, C, D dan E sementara yang masih endemis di Indonesia ada 3 yakni A, B dan C.
Penyakit ini sering kali dikenal sebagai “silent killer”, karena umumnya tanpa gejala, sehingga banyak orang yang tidak menyadari tengah menderita hepatitis.
“9 dari 10 pengidap tidak menyadari dirinya memiliki hepatitis B bahkan C dan 1 dari 4 pengidap akan meninggal karena kanker atau gagal hati, sehingga kita katakan hepatitis ini silent killer,” kata Irsan.
Penderita hepatitis, imbuh Irsan akan mengalami perjalanan dari hati sehat, hepatitis akut, hepatitis kronik, kemudian sirosis hati dengan progres sekitar 1/3 penderita hepatitis akan mengalami sirosis, dari sirosis 10-15% akan menjadi kanker, 23% dalam 5 tahun pengidap sirosis akan mengalami gagal hati yang berujung pada kematian.
Kendati memiliki ancaman kematian yang tinggi, hepatitis bisa dicegah dan diobati. Pada Hepatitis B pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor risiko serta memberikan kekebalan dengan imunisasi aktif dan pasif. Untuk pengobatan hepatitis B dilakukan dengan pemberian vaksin dalam jangka waktu seumur hidup. Targetnya untuk menghambat progresi virus sehingga fungsi hati semakin membaik. Hal ini tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/322/2019 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Hepatitis B.
“Hepatitis B harus diberikan terapi dalam jangka waktu panjang, kalau mengalami sirosis obat harus diberikan seumur hidup, kalau tidak sirosis obat diberikan sampai target tertentu,” terangnya.
Sementara pada Hepatitis C, pencegahan dengan membudayakan gaya hidup bersih dan sehat serta menghindari faktor risiko. Pengobatan dilakukan dengan pemberian Direct Acting Antivirus (DAA) dengan target sampai sembuh. Pengobatan jenis ini dinilai sebagai terapi yang sangat ideal karena memiliki tingkat kesembuhan sangat tinggi, obat kombinasi oral, efek samping rendah, durasi pengobatan singkat, lebih murah, SVR tinggi dan tersedia. Meski ideal, banyak penderita hepatitis C yang tidak terdeteksi sehingga sangat sedikit yang diobati.
Lebih lanjut, hepatitis A menular secara fecal oral (anus-mulut) melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi tinja seseorang yang telah terifeksi Hepatitis A. Hepatitis jenis ini bisa sembuh dengan sendirinya tetapi juga dapat menimbulkan kejadian luar biasa. Untuk itu, Hepatitis A tidak ada pengobatan khusus, upaya pengendaliannya lebih mengutamakan pencegahan dengan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat.
“Gaya hidup sehat sama seperti yang selalu dianjutkan Kementerian Kesehatan seperti olahraga, makan bergizi, tidak ada yang khusus pada yang sudah sakit. Kalau untuk mencegah hepatitis B dengan vaksin untuk C hindari faktor risiko seperti narkotika, jarum tato, tindik dll. Tapi kalau sudah sakit hepatitis, tidak ada larangan khusus,” pungkasnya.
Hotline Virus Corona 119 ext 9. Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi nomor hotline Halo Kemenkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email [email protected] (MF)
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat
drg. Widyawati, MKM