WHO meluncurkan kerangka kerja baru untuk membangun sistem kesehatan yang tahan terhadap perubahan iklim sekaligus rendah karbon.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meluncurkan kerangka kerja baru untuk membangun sistem kesehatan yang tahan terhadap perubahan iklim dan rendah karbon menjelang Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP-28) di Dubai, Uni Emirat Arab, 30 November-12 Desember 2023. Kerangka Kerja komprehensif ini dirancang untuk meningkatkan ketahanan sistem kesehatan sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca untuk membantu menjaga kesehatan masyarakat di seluruh dunia.
“Di seluruh dunia, sistem kesehatan rentan terhadap dampak perubahan iklim, tapi mereka juga berkontribusi terhadap perubahan iklim,” kata Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO, dalam rilis WHO pada Kamis, 9 November lalu. “Oleh karena itu, kita punya tanggung jawab ganda untuk membangun sistem kesehatan yang mampu menahan guncangan perubahan iklim dan pada saat yang sama mengurangi jejak karbonnya. Kerangka kerja ini memberi negara-negara peta jalan untuk melakukan hal tersebut.”
Kerangka ini dikembangkan atas permintaan para menteri kesehatan di lebih dari 75 negara kepada WHO untuk membangun sistem kesehatan yang berkelanjutan dan tahan perubahan iklim. Negara-negara ini tergabung dalam Aliansi untuk Aksi Transformatif pada Iklim dan Kesehatan (ATACH) pada Konferensi Para Pihak Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC COP) pada November 2021. Inggris dan WHO kemudian secara resmi membentuk ATACH pada Juni 2022 untuk mendorong agenda ambisius ini ke depan. Indonesia termasuk negara anggota ATACH dan berkomitmen untuk mencapai emisi nol pada 2030. Kerangka ini memberikan peluang bagi sektor kesehatan untuk memberikan contoh dengan mengurangi emisi gas rumah kaca, yang kini menyumbang hampir 5 persen dari total emisi global, sambil terus meningkatkan kualitas layanan.
Menurut WHO, risiko kesehatan akibat perubahan iklim sangat banyak dan beragam. Frekuensi kejadian cuaca ekstrem, seperti panas ekstrem, badai, banjir, kekeringan, dan polusi udara, dapat menyebabkan beberapa penyakit dan menekan kesehatan masyarakat, layanan kesehatan, dan mengganggu penghidupan, terutama di wilayah pesisir dataran rendah, daerah rawan kekeringan dan banjir, dan negara kepulauan kecil. Terganggunya sistem pangan akan berdampak negatif terhadap nutrisi, kesejahteraan, dan penghidupan manusia. Penyakit menular, seperti zoonosis dan penyakit yang ditularkan melalui makanan, air, dan vektor, juga dapat meningkat. Adapun penyakit tidak menular, seperti malanutrisi, penyakit pernapasan dan kardiovaskular, dan masalah kesehatan mental juga bisa meningkat.
Sementara itu, operasi sistem kesehatan juga berkontribusi terhadap degradasi lingkungan, termasuk perubahan iklim, melalui emisi gas rumah kaca. Banyak sistem kesehatan yang menerapkan praktik tidak berkelanjutan dalam mengelola air, sanitasi, limbah, penggunaan energi, pengadaan barang, dan rantai pasokan. Lancet Countdown on Health and Climate Change 2022 mencatat bahwa sektor layanan kesehatan menyumbang sekitar 5,2 persen atau 2,7 gigaton setara karbon dioksida emisi global pada tahun 2019.
Kerangka ini menyajikan berbagai jalur untuk memperkuat sistem kesehatan dalam menghadapi perubahan iklim sekaligus mengurangi gas rumah kaca. Ia mencakup pula sistem kesehatan di negara-negara berpenghasilan rendah yang perlu meningkatkan akses energi dan menyediakan layanan kesehatan secara universal.
Tujuan utama Kerangka WHO ini adalah untuk memandu para profesional di sektor kesehatan dalam mengatasi risiko kesehatan dari perubahan iklim melalui kolaborasi, memperkuat fungsi sistem kesehatan untuk ketahanan iklim dan pendekatan kesehatan rendah karbon, mendukung pengembangan intervensi khusus untuk pengurangan risiko iklim dan pengurangan emisi gas rumah kaca, dan mendefinisikan peran dan tanggung jawab para pengambil keputusan di bidang kesehatan dalam ketahanan iklim.
Kerangka ini membahas 10 komponen kunci dalam penanganan sistem kesehatan, dari kepemimpinan transformatif, angkatan kerja kesehatan yang cerdas-iklim, penilaian terhadap risiko kesehatan dan emisi karbon, hingga infrastruktur, teknologi, dan rantai pasok yang tahan iklim dan rendah karbon. Dalam komponen tenaga kesehatan, misalnya, WHO merekomendasikan perlunya memperkuat tenaga kesehatan dan layanan kesehatan untuk merespons risiko kesehatan terkait perubahan iklim; peningkatan tenaga kerja di bidang kesehatan dan perawatan yang sesuai dengan tujuannya dengan kompetensi dan lingkungan kerja yang kondusif untuk mengelola ancaman iklim dan mengurangi emisi karbon; serta menyediakan informasi dan komunikasi yang dapat ditindaklanjuti untuk bekerja dengan masyarakat dan sektor-sektor lain dalam konteks perubahan iklim dan kesehatan.
WHO memproyeksikan dunia akan kekurangan 10 juta tenaga kesehatan pada tahun 2030 dan 73 persen kekurangan ini terjadi di kawasan Afrika dan Mediterania Timur. Negara-negara berpendapatan tinggi semakin mengurangi jumlah tenaga kesehatan karena semakin langkanya jumlah tenaga kesehatan dan perawat di negara-negara berkembang. Situasi ini semakin melemahkan kapasitas sistem kesehatan yang sudah rentan dalam mengelola risiko iklim. Untuk itu, negara perlu memenuhi jumlah pekerja kesehatan yang cukup dengan kapasitas teknis yang diperlukan untuk menangani risiko kesehatan yang disebabkan perubahan iklim serta memimpin pengurangan emisi gas rumah kaca.
Penulis: Redaksi Mediakom