Perundungan biasanya dilakukan karena ada niat melakukan kekerasan, dilakukan berulang, dan oleh orang yang memiliki status lebih tinggi. Perlu dibangun kesadaran agar yang lain lebih peduli.
Maraknya kasus perundungan (bullying) di Indonesia menjadi sorotan masyarakat dan mendapat perhatian pemimpin negeri ini. Wakil Presiden K. H. Ma’ruf Amin menyatakan pemerintah tengah berupaya mengatasinya dengan mencari akar penyebabnya.
Lantas, apa itu perundungan sehingga menjadi sorotan? Menurut buku Ayo, Bantu Anak Hindari Perundungan terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, perundungan adalah perilaku tidak menyenangkan yang dilakukan secara sengaja dan berulang sehingga seseorang menjadi trauma dan tidak berdaya.
Menurut buku tersebut, ada empat jenis perundungan. Pertama, perundungan fisik, di antaranya mendorong, menjegal, mengancam, menjambak, meninju dan memukul. Kedua, perundungan verbal, seperti memberikan julukan yang tidak menyenangkan, menghina, menyindir, mengancam, dan menyebar gosip. Perundungan jenis ketiga adalah perundungan sosial, seperti mengucilkan, memalak, memfitnah, dan mengabaikan. Adapun jenis perundungan yang keempat adalah yang terjadi di dunia maya, seperti memperolok, mengubah foto menjadi tidak semestinya, dan mengirimkan pesan teror.
Dian Fatmawati, S. Psi., M. Psi., psikolog klinis dari Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur, mengatakan, suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perundungan apabila memenuhi tiga unsur. “Pertama, dia memang ada niat, memang sengaja melakukan kekerasan tersebut. Kedua, dilakukan berulang. Dan yang ketiga, dilakukan oleh orang yang memiliki status lebih tinggi, bisa perbedaan status ekonomi, entah badannya lebih tinggi, lebih besar atau lebih mayoritas, jadi memang ada perbedaan situasi,” kata Dian kepada Mediakom pada Rabu, 25 Oktober lalu.
Dian menambahkan, antara perundungan dan kekerasan yang terjadi pada anak dapat dibedakan dengan melihat apakah tiga unsur perundungan itu. Apabila ketiganya tidak terpenuhi, maka untuk usia anak sekolah hal itu bisa dikatakan sebagai sebuah pertengkaran sesaat. “Kalau usianya sebaya, pertengkaran yang terjadi hanya sesekali saja, tidak berulang dan terpicu emosi sesaat saja, belum dikatakan perundungan kalau berdasarkan definisinya,” kata Dian.
Menurut Dian, banyak faktor yang menyebabkan seseorang menjadi pelaku perundungan, di antaranya karena adanya permasalahan di rumah. Namun, kata Dian, ternyata tidak semua anak yang ada masalah di rumah menjadi pelaku perundungan. Dia menyatakan, berdasarkan hasil penelitian tahun 2015 setidaknya ada empat faktor yang menjadi latar belakang seseorang menjadi pelaku perundungan, yakni faktor individu, faktor lingkungan keluarga, faktor sosial atau komunitas, dan faktor sekolah. Keempat faktor ini, ujar Dian, saling berkolaborasi dan bisa memicu pelaku untuk melakukan perundungan. Jika hanya satu faktor, sementara yang lainnya tidak mendukung, maka bisa tidak akan muncul perilaku perundungan.
Dian mencontohkan seorang anak yang hidup di tengah keluarga yang tidak harmonis tapi di sekolah diajarkan tentang kasih sayang dan saling menolong serta selalu diingatkan tidak boleh berkelahi. Maka, anak yang tadi tidak betah di rumah itu akan merasa bahagia di sekolah dan memiliki banyak teman, namun ketika kembali ke rumah dia menjadi sedih lagi. “Jadi, tidak selalu ada masalah di keluarga sehingga anak ini akan menjadi pelaku perundungan.”
Laman Direktorat Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi menyebutkan bahwa pelaku perundungan adalah pihak yang melakukan tindakan atau perbuatan perundungan kepada korban. Pelaku perundungan bisa perorangan atau berkelompok. Hal-hal yang sering dilakukan pelaku perundungan misalnya seperti menghina, menyindir, mengancam, mengucilkan, memalak, memfitnah, mendorong, menjegal, menjambak, dan sebagainya. Seseorang dapat menjadi pelaku perundungan karena meniru perilaku buruk orang dewasa, mencari perhatian dari teman sebaya dan orang tua, mengalami peristiwa perundungan, melakukan balas dendam atas kekalahannya, serta melampiaskan kemarahannya, dan lain-lain.
Korban perundungan adalah pihak yang mengalami perilaku perundungan oleh pihak lain. Seseorang yang dapat menjadi korban perundungan antara lain adalah anak yang dianggap berbeda, baik secara fisik maupun kebiasaan; anak yang cenderung penurut dan tidak pandai bergaul; anak yang dianggap menyebalkan tetapi tidak mampu membela diri; serta anak yang berkebutuhan khusus fisik atau nonfisik.
“Tak banyak korban perundungan yang tidak bisa melawan karena takut dengan kekuatan yang dimiliki oleh pelaku perundungan,” tulis laman Direktorat SMP. “Jika kamu menjadi korban perundungan, maka jangan takut untuk melaporkannya kepada guru, orang tua, atau pun pihak lain yang bisa membantu kamu mengatasi masalah ini.”
Pada peristiwa perundungan biasanya juga ada saksi yang berada di lokasi atau melihat kejadian. Saksi perundungan, kata Dian, pada umumnya adalah teman pelaku atau teman korban. Ketika terjadi perundungan, ada beberapa respons yang dilakukan oleh saksi, seperti memilih untuk diam saja, atau setengah membantu dengan mencegah. Ada juga saksi yang malah membantu pelaku atau, sebaliknya, saksi sedikit membantu korban atau tak acuh karena merasa tidak menimpa dirinya.
Menurut buku Ayo, Bantu Anak Hindari Perundungan, seseorang dapat menjadi saksi perundungan ketika melihat kejadian tetapi cenderung tidak melaporkan karena beberapa alasan, seperti pelaku adalah temannya, menganggap ini bukan masalahnya, menganggap korban pantas mendapatkan perundungan, takut menjadi korban berikutnya, dan takut terlibat. “Saksi ini biasanya lebih banyak teman-teman, berarti yang harus diciptakan adalah budaya di sekolah untuk lebih peduli, misalnya, ‘Bagaimana kalau itu terjadi kepada kamu? Mau membantu atau dicuekin? Tentu membantu kan.’ Diciptakan kesadaran seperti itu,” ujar Dian.
Penulis: Redaksi Mediakom