Tantangan mendesak bagi para peneliti, penyakit tropis terabaikan dan Malaria akibat dampak perubahan iklim.
Penelitian terbaru menunjukkan adanya kebutuhan mendesak terhadap penelitian dan bukti mengenai dampak perubahan iklim terhadap malaria dan penyakit tropis terabaikan (NTD). Laporan yang diterbitkan di jurnal Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene pada 22 Mei 2024 itu disusun oleh Tim Tugas Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk Perubahan Iklim, NTD, dan Malaria bekerja sama dengan Reaching the Last Mile (RLM).
Peneliti meninjau 42.693 artikel penelitian dan menemukan bahwa belum ada pemahaman yang memadai tentang dampak aktual dan potensial dari perubahan pola iklim yang disebabkan oleh manusia terhadap malaria dan NTD. Temuan ini menyoroti bahwa pergeseran dalam prevalensi, kejadian, jangkauan, dan intensitas malaria dan sejumlah NTD mungkin akan menjadi terparah pada masyarakat yang telah terkena dampak perubahan iklim secara tidak proporsional.
“Temuan yang dipaparkan dalam tinjauan besar ini menyoroti perlunya pemodelan yang lebih komprehensif, kolaboratif, dan terstandardisasi sehingga kita dapat lebih memahami dan memprediksi dampak perubahan iklim terhadap malaria dan NTD, baik secara langsung maupun tidak langsung,” kata Ibrahima Socé Fall, Direktur Program NTD Global WHO yang memimpin penelitian ini. “Kajian yang penting dan tepat waktu ini mengungkapkan tren yang mengkhawatirkan dan merupakan seruan untuk melakukan tindakan segera. Jika kita ingin melindungi dan membangun keberhasilan yang diperoleh dengan susah payah dalam dua dekade terakhir, maka sekaranglah waktunya untuk bergerak.”
Laporan ini menyoroti bahwa sejumlah penelitian terlalu berfokus pada negara-negara dengan beban penyakit rendah tetapi akses tinggi ke layanan kesehatan berkualitas. Mengingat dampak perubahan iklim terhadap malaria dan NTD akan sangat bervariasi sesuai penyakit dan lokasi, masyarakat yang secara historis kurang terlayani menjadi tak terpantau.
“Krisis iklim memiliki potensi untuk membalikkan kemajuan yang telah dicapai selama beberapa dekade dalam bidang kesehatan dan pembangunan global,” kata Tala Al-Ramahi, Chief Strategy Officer RLM. “Investasi yang lebih besar dalam penelitian sangat dibutuhkan untuk mendukung pengembangan intervensi yang tepat waktu dan berbasis bukti serta memungkinkan kita untuk mengantisipasi dan memitigasi konsekuensi terburuk dari perubahan iklim terhadap kesehatan manusia.”
Dengan hanya 34 persen penelitian yang ditinjau (174 penelitian) yang membahas strategi mitigasi dan 5 persen (24 penelitian) yang membahas metode adaptasi, laporan ini menyoroti kurangnya bukti yang diperlukan untuk melindungi kemajuan yang telah dicapai dalam memerangi malaria dan NTD dalam beberapa dekade terakhir.
Para peneliti menghubungkan jumlah publikasi dengan beban penyakit nasional, Indeks Akses dan Kualitas Kesehatan (HAQI), dan skor kerentanan iklim. Dari 511 makalah yang memenuhi kriteria inklusi, 185 makalah membahas tentang malaria, 181 makalah berfokus pada demam berdarah dan chikungunya, dan 53 makalah melaporkan hasil penelitian tentang leishmaniasis. Namun, NTD lainnya secara signifikan kurang terwakili karena belum diteliti secara memadai.
Pada November 2023, laporan WHO telah menyoroti hubungan antara perubahan iklim dan malaria. Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO, menyatakan bahwa perubahan iklim menimbulkan risiko besar terhadap kemajuan dalam pemberantasan malaria, khususnya di daerah-daerah yang rentan. Respons terhadap penyakit malaria dan NTD yang berkesinambungan dan berketahanan sangat dibutuhkan, ditambah dengan tindakan mendesak untuk memperlambat laju pemanasan global dan mengurangi dampaknya. Data mengenai dampak jangka panjang perubahan iklim terhadap penularan malaria memang masih sedikit.
Hal ini sudah semestinya menjadi perhatian banyak pihak, terutama para dokter spesialis dan peneliti, agar tindakan cepat dan tepat dapat segera dilakukan lebih intensif di berbagai negara, terutama negara tropis yang merasakan dampak perubahan iklim secara signifikan. Apalagi pandemi COVID-19 secara signifikan telah mengganggu layanan malaria dan menyebabkan peningkatan angka kejadian dan kematian sehingga memperburuk kemajuan yang sudah dicapai selama ini.
Penulis: Redaksi Mediakom