Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek
Oleh Prof. Dr. Nila F. Moeloek
Menteri Kesehatan, Republik Indonesia
Nutrisi memegang peran sentral dalam mewujudkan kehidupan kita yang lebih sehat dan sejahtera. Pentingnya kecukupan nutrisi dalam keberadaan kita sehari-hari untuk menopang kehidupan yang produktif dan bermanfaat merupakan kenyataan yang tak terbantahkan. Dapat dipastikan bahwa tanpa nutrisi yang mencukupi upaya kita untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dan bermartabat akan sulit terwujud.
Keberhasilan dalam implementasi pembangunan kesehatan nasional sangat bertumpu pada bagaimana kita memberikan perhatian pada nutrisi dalam keluarga, terutama pada anak-anak dalam masa tumbuh kembang. Nutrisi menyediakan fondasi yang kokoh untuk mencapai kehidupan yang sehat, keberhasilan dalam dunia pendidikan, dan kehidupan yang produktif untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Ketidakmampuan kita untuk memastikan kecukupan gizi pada masayarakat akan menghambat upaya-upaya pencapaian tujuan pembagunan nasional dalam pengertian yang paling mendasar.
Dalam konteks Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals, MDGs), yang telah menjadi komitmen bersama kita untuk dicapai, kemajuan dalam target-target yang terkait dengan nutrisi akan memberikan sumbangan positif bagi percepatan pencapaian MDGs. Pencapaian dalam upaya memberantas kemiskinan ekstrim dan kelaparan, menurunkan tingkat kematian anak, serta target-target MDGs lainnya yang terkait dengan kesehatan dan pendidikan, banyak bergantung pada seberapa jauh kita mencapai kemajuan dalam bidang nutrisi.
Pentingnya peran nutrisi dalam kemajuan pembangunan bangsa harus digaungkan dan dikedepankan oleh semua pembangku kepentingan pembangunan, tidak terbatas pada pemangku kepentingan di sektor kesehatan saja. Setiap tahun, diestimasi bahwa kekurangan gizi menyebabkan kematian sekitar 5,6 juta anak usia di bawah lima tahun (balita) di seluruh dunia. Sementara satu dari empat anak di bawah lima tahun memiliki bobot kurang (underweight) untuk anak-anak seusia mereka, dan kondisi ini meningkatkan resiko akan kematian dini.
Nutrisi dan Keluarga
Jelas bahwa kekurangan nutrisi memberikan dampak buruk yang signifikan pada kesehatan individu dan masyarakat. Ibu hamil yang tidak cukup gizi akan melahirkan bayi dengan berat badan rendah, dan dengan demikian memiliki resiko yang meningkat terhadap penyakit-penyakit yang mengancam kelangsungan hidup anaknya. Demikian pula, para gadis yang yang kekurangan gizi beresiko tidak mampu mengandung dan melahirkan anak yang sehat.
Kekurangan gizi ini menciptakan lingkaran jahat (vicious circle) lebih jauh, karena kondisi ini akan menghambat tumbuh kembang anak hingga dewasa. Pada gilirannya kondisi ini akan menghasilkan individu-invidu yang kurang produktif ketika mereka beranjak dewasa, dan bahkan bisa menjadi beban pembangunan.
Di balik semua itu, kesadaran akan pentingnya peran gizi dalam mewujudkan kehidupan masyarakat yang produktif dan pencapaian tujuan pembangunan nasional kita, ternyata belum cukup terefleksi dalam pencapaian target-target nasional kita yang terkait dengan nutrisi. Angka-angka terakhir yang menjadi indikator dalam pencapaian di bidang gizi (Riskesdas 2013) menunjukkan bahwa prevalensi bobot kurang pada balita mencapai 19,6%, sementara kondisi kurus kering (wasting) mencapai 21,1%, dan kondisi kerdil (stunting) sebesar 37,2%.
Menarik, tetapi sekaligus memprihatinkan, untuk dicatat karena untuk kondisi kerdil pada balita meningkat dari 36,8% pada 2007 menjadi 37,2 pada 2013. Temuan ini cukup menggelitik karena ternyata pertumbuhan ekonomi kita yang relatif cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir — yang menjadi salah satu tolok ukur bagi kesejahteraan masyarakat – tidak serta merta paralel dengan kemajuan dalam kondisi gizi masyarakat.
Menyikapi tantangan pembangunan gizi
Kondisi yang tidak menguntungkan dalam bidang gizi ini perlu dijawab oleh semua pemangku kepentingan pembangunan terkait. Ini terutama karena pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan yang lebih baik tidak akan memiliki landasan yang kokoh untuk bertahan lama tanpa ditopang kecukupan gizi yang memadai.
Penting untuk melihat bahwa pencapaian dalam target-target nutrisi terkait secara erat dengan pencapaian bidang-bidang pembangunan lainnya dan kebiasaan sosial dalam masyarakat. Upaya pencapaian dalam bidang nutrisi, misalnya, tidak dapat diisolasikan dari isu-isu utama dalam ketahanan pangan dan pola makan masyarakat kita. Keterkaitan yang kompleks dengan isu-isu pembangunan lain ini merupakan salah satu masalah fundamental yang harus diselesaikan, sebelum kita memusatkan perhatian lebih jauh pada pemenuhan gizi masyarakat.
Secara geografis malnutrisi umumnya tersebar di berbagai wilayah di tanah air yang memang rentan dengan kerawanan pangan. Namun malnutrisi juga berkaitan dengan perilaku dan konsumsi masyarakat. Temuan yang diperoleh dalam studi tentang kondisi ketahanan pangan dan gizi di Indonesia, yang dilaksanakan oleh Smeru, UKP4 dan WFP (2014), menunjukkan bahwa malnutrisi juga tersebar dalam semua spektrum pendapatan. Sebagai contoh, prevalensi kondisi kerdil ditemukan cukup tinggi di kelompok rumah tangga terkaya.
Ini menunjukkan bahwa malnutrisi tidak hanya merupakan persoalan yang membelit kelompok berpendapatan rendah dan mereka yang menetap di wilayah rawan pangan, tetapi juga kelompok rumah tangga kaya di wilayah perkotaan.
Isu-isu lain yang turut menyumbang pada kompleksitas permasalahan nutrisi mencakup, antara lain, capaian pembangunan yang belum merata di antara bebagai wilayah, pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, urbanisasi yang masih tinggi, dan tingkat pemahaman yang masih rendah mengenai pentingnya gizi pada masyarakat.
Pendekatan lintas-sektor dan inovatif
Tantangan dalam upaya meningkatkan status gizi masyarakat menjadi semakin berat jika bidang-bidang pembangunan yang terkait langsung kecukupan nutrisi, seperti ketahanan pangan, infrastruktur, air bersih dan sanitasi, belum berkembang secara optimal. Oleh karena itu, kerja sama lintas sektor antara berbagai pemangku kepentingan terkait, apakah pemerintah, sektor swasta maupun masyarakat madani, merupakan pra-kondisi mutlak untuk meningkatan status gizi masyarakat.
Besarnya skala persoalan dan kompleksitas tantangan yang dihadapi mengharuskan semua pemangku kepentingan untuk menempuh pendekatan yang lebih dari sekedar busines as usual. Upaya-upaya terobosan yang inovatif dan berkesinambungan perlu dieksplorasi dan diimplementasikan, terutama oleh pemangku kepentingan di sektor pemerintah, yang umumnya terbelenggu oleh ikatan-ikatan birokratis.
Berpikir secara kreatif (out-of-the-box) untuk menyelesaikan persoalan dengan melibatkan pemangku kepentingan non-pemerintah, mungkin masih sering menjadi kendala, terutama bagi mereka yang terbiasa berpikir dalam kotak-kotak birokrasi. Tapi tanpa upaya-upaya kreatif dan inovatif yang bekelanjutan seperti ini upaya-upaya dalam meningkatkan status gizi masyarakat akan terus menemui jalan terjal.
Dari sudut kebijakan, pemerintah telah melahirkan berbagai kebijakan dan rencana aksi untuk mewujudkan peningkatan status gizi. Dari dari semua rangkaian aksi telah dilalui, terlihat bahwa upaya-upaya koordinatif di tingkat implementasi serta aspek pemantauan dan evaluasi masih merupakan mata rantai lemah yang masih harus diperbaiki.
Salah satu upaya prioritas pemerintah, yakni Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), merupakan jawaban terhadap permasalahan status gizi masyarakat dengan meletakkan fokus yang kuat pada pendekatan lintas-sektor. Kesadaran akan pentingnya kerjasama multi-sektor, dan peningkatan fungsi-fungsi koordinatif di antara semua pemangku kepentingan, baik sektor pemerintah maupun non-pemerintah, merupakan karakteristik dasar dari gerakan ini.
Gerakan 1000 HPK ini bertolak dari postulat bahwa periode terpenting dalam kehidupan manusia adalah masa 1000 hari pertama dalam kehidupan, yang mencakup 270 hari dalam kandungan dan 730 hari setelah kelahiran. Kekurangan gizi selama periode tersebut akan mempengaruhi secara negatif tumbuh kembang anak, mengakibatkan kondisi kerdil, kurus kering atau pun obesitas, dan pada gilirannya memperburuk kualitas hidup di masa dewasa.
Pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan, menyadari bahwa diperlukan juga komitmen dan terobosan inovatif lebih jauh untuk memperkuat berbagai upaya peningkatan gizi yang ada. Komitmen ini telah diaktualisasikan Program Kesehatan dan Gizi Berbasis Masyarakat yang memberikan prioritas pada penguatan pemberdayaan masyarakat, penguatan penyedia pelayanan, serta penguatan pada aspek pemantauan dan evaluasi.
Pada tataran global, dalam rangka menyongsong agenda pembangunan pasca-2015 yang diprakarsai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan akan diadopsi secara global tahun ini, pembangunan gizi harus terus mendapat fokus yang semakin kuat.
Agenda pembangunan global pasca-2015 dan agenda pembangunan nasional kita perlu terus memastikan agar pembangunan gizi tetap menjadi titik sentral dalam program-program pembangunan mendatang. Kekurangan gizi yang tidak ditangani secara mendasar dan komprehensif lambat laun akan menggerus capaian pembangunan yang diperoleh dengan susah payah. Demikian pula, upaya kita untuk dapat bersaing dengan bangsa-bangsa yang maju akan sulit diwujudkan tanpa menjadikan gizi sebagai fokus sentral dalam pembangunan kita.