Tulisan dr. Siswanto, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI
Dalam tulisan ini saya mengangkat isu pengarusutamaan kesehatan dalam pembangunan nasional. Isu ini sangat penting diangkat, karena tidak ada satupun tindakan manusia − termasuk upaya pembangunan − yang tidak berhubungan dengan kesehatan. Mulai dari pola bangun pagi, pola sarapan, pola kerja, pola diet, pola pengendalian stress, sampai dengan pola tidur malam, kesemuanya akan berpengaruh terhadap kesehatan. Bahkan, semua kebijakan dan kegiatan pembangunan juga akan berpengaruh terhadap kesehatan manusia.
Perlu diingat bahwa pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Dengan kata lain, pendekatan lapis pertama adalah promotif dan preventif. Sementara, kuratif dan rehabilitatif dilakukan setelah lapis pertama gagal.
Health Care Vs Sickness Care
Bila kita konsisten bahwa pembangunan kesehatan adalah upaya memelihara kesehatan dan meningkatkan kebugaran masyarakat (health care), maka pendekatan yang tepat adalah upaya promotif (peningkatan kebugaran) dan preventif (pencegahan risiko penyakit). Karena bila disibukkan pada upaya kuratif dan rehabilitatif (pengobatan dan rehabilitasi setelah sakit), pendekatannya bukan lagi health care namun lebih pada sickness care.
Pendekatan pembangunan kesehatan adalah ibarat kerucut terbalik, dengan alas di atas dan bagian lancip di bawah. Semakin ke alas kerucut (ke atas), permasalahan semakin kompleks, melibatkan lintas sektor, yang notabene di luar kewenangan sektor kesehatan. Semakin ke puncak kerucut (bagian lancip), isunya adalah terkait dengan kesakitan dan kematian, yang akan menguras sumber daya kesehatan yang besar (biaya, fasilitas pelayanan kesehatan, SDM, obat).
Setiap upaya pembangunan lintas sektor di alas kerucut harus digiring untuk mengarah pada upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan risiko penyakit. Peningkatan kesehatan mencakup upaya untuk meningkatkan kebugaran, kebahagiaan, kualitas hidup, umur harapan hidup, dan lain-lain. Sementara, pencegahan risiko penyakit mencakup upaya membudayakan perilaku hidup sehat, seperti olah raga, diet sehat, tidak merokok, tidak minum alkohol, mencuci tangan, gosok gigi dengan benar, keselamatan berlalu lintas, dan sebagainya, serta upaya penyehatan lingkungan, baik tempat tinggal maupun lingkungan yang lebih luas.
Di alas kerucut (bagian atas), tampak bahwa semua kebijakan dan kegiatan pembangunan apapun akan berpengaruh kepada kejadian kesakitan dan kematian (bagian lancip dari kerucut). Misalnya, perekonomian yang baik, tingkat pendidikan yang tinggi, perumahan yang sehat, lingkungan yang bebas polusi dan pencemaran, lalu lintas yang aman, makanan yang bebas zat kimia berbahaya, taman kota, keamanan pejalan kaki, transportasi publik yang aman, pasar sehat, kota sehat, desa sehat, rumah sehat, udara sehat, dan sebagainya; kesemuanya akan berkontribusi positip terhadap tingkat kesehatan penduduk yang tinggal.
Sebaliknya, tingginya kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, perumahan yang tidak sehat, lingkungan yang tercemar, lalu lintas yang tidak aman, makanan yang tercemar bahan berbahaya, tidak adanya paru-paru kota, trotoar yang tidak aman, transportasi publik yang tidak aman, pasar yang kotor, lingkungan tempat tinggal yang tidak sehat, polusi udara, dan lain-lain; kesemuanya yang tidak sehat tadi akan meningkatkan kesakitan dan kematian penduduk yang tinggal.
Mengarahkan semua kebijakan dan upaya pembangunan agar mempertimbangkan pengaruhnya terhadap kesehatan inilah yang disebut “pengarusutamaan kesehatan dalam pembangunan”. Pendekatan ini berasal dari tesis yang sangat sederhana, yakni “tidak ada satupun tindakan manusia yang tidak berpengaruh terhadap kesehatan manusia”.
Kendaraan Bersama
Untuk menuju pendekatan “pengarusutamaan kesehatan dalam pembangunan”, maka diperlukan ikon pembangunan yang bisa menjadi kendaraan bersama, sedemikian rupa sehingga setiap kementerian/ lembaga dapat mejadi penumpang, untuk mendukung penyehatan bangsa. Kementerian Kesehatan bersama dengan Bappenas telah menginisiasi dua program prioritas, yakni Gerakan Masyarakat Sehat (Germas) dan Program Keluarga Sehat.
Baik Germas maupun Program Keluarga Sehat akan diprogramkan pada tahun 2016 ini. Dengan mengambil model kerucut terbalik, maka Germas berada di alas kerucut dan Program Keluarga Sehat berada di tengah kerucut. Selanjutnya, program Kartu Indonesia Sehat (JKN) berada di bagian lancip kerucut (bagian bawah kerucut). Dengan mendorong kebijakan lintas sektor untuk memperhatikan kesehatan, kemudian memperkuat keluarga dalam kemandirian hidup sehat, maka akan terjadi penguatan pada sisi promotif (peningkatan kesehatan) dan preventif (pencegahan risiko penyakit). Kalau kedua program ini berjalan dengan baik, maka jumlah yang sakit dan memerlukan upaya kuratif dan rehabilitatif akan bisa menurun. Pendekatan seperti inilah yang disebut health care, dan bukannya sickness care.
Berikut adalah contoh bagaimana kebijakan lintas sektor dapat mendukung pembangunan kesehatan. Kampanye makan buah dan sayur oleh Kementan; olah raga dan deteksi dini penyakit di tempat kerja oleh KemenPAN/RB dan Kemenaker; kampanye pencegahan penyakit dan deteksi dini oleh Kemenkominfo, Kemenkes, dan BPJS; UKS, kantin sekolah sehat, kampus bebas narkoba oleh Kemendikbud dan Kemenristekdikti; taman kota, car free day, jalan sehat, lomba olah raga, taman rekreasi, kawasan bebas rokok oleh Kemendagri, Kemenpora, dan Pemda; kelestarian hutan, pencegahan kebakaran hutan oleh Kemen LHK; penyediaan air bersih, rumah sehat, ruang terbuka hijau oleh Kemen PUPR, Kemendes PDT; kampanye makan ikan, perbaikan gizi balita dan bumil oleh Kemen KP dan Kemenkes; keselamatan lalu lintas oleh Kemenhub dan POLRI; dan seterusnya.
Sementara itu, Program Keluarga Sehat pada dasarnya adalah penguatan kemandirian keluarga dalam meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat, di mana keluarga sebagai unit sasaran terdepan. Setiap tahun suatu keluarga akan dinilai pencapaiannya dengan indikator yang disebut Indikator Keluarga Sehat. Selanjutnya Indikator Keluarga Sehat akan dikompilasi secara hirarkis, mulai dari keluarga, dusun, desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan akhirnya nasional. Dari sini akan bisa dilihat persentase capaian keluarga sehat mulai desa sampai dengan nasional.
Terdapat 12 Indikator Keluarga Sehat, yang menggambarkan perilaku hidup sehat keseluruhan segmen siklus hidup. Yakni, kepesertaan program KB bagi pasangan usia subur, antenatal care bagi ibu hamil, imunisasi bayi, pemberian ASI eksklusif, pemantauan pertumbuhan balita, kepatuhan berobat pada penderita TB, kepatuhan berobat penderita hipertensi, penderita gangguan jiwa berat yang diobati, tidak ada anggota keluarga yang merokok, kepesertaan menjadi anggota JKN, ketersediaan sarana air bersih, dan penggunaan jamban keluarga.
Roadmap program keluarga sehat disusun secara bertahap. Tahun 2016 melibatkan 470 puskesmas di 9 provinsi dan 64 kab/kota. Tahun 2017 melibatkan 2.238 puskesmas di 9 provinsi dan 64 kab/kota berikutnya. Tahun 2018 melibatkan 5.085 puskesmas di 9 provinsi dan 203 kab/kota berikutnya. Selanjutnya, tahun 2019 melibatkan 8.610 puskesmas di 6 provinsi dan 149 kab/kota berikutnya. Dengan roadmap bertahap ini diharapkan pada akhir tahun 2019, semua keluarga sudah diintervensi oleh Program Keluarga Sehat.
Agar program keluarga sehat ini dapat berhasil maka kuncinya adalah pemberdayaan masyarakat dan sinergi lintas sektor. Dalam pemberdayaan masyarakat, maka peran petugas kesehatan adalah mentor (pendamping). Masyarakat diharapkan mampu melakukan perubahan secara bersama-sama dan mandiri melalui Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM). Semoga kedepan pembangunan kesehatan akan mengarah kepada health care, dan bukannya sickness care. (*)