Madinah, 1 Agustus 2017
Oleh: Prawito
dr. Eka, dengan suara parau, agak tertahan, berkata tolong teman-teman, saya minta ke ikhlasan untuk berdoa ketika tawaf pertama di Ka’bah. Tolong minta sama pemilik kekuatan yang mempunyai segalaNya, Allah SWT, agar berkenan memberi kesehatan dan kekuatan kepada seluruh jemaah haji dan petugasnya, sekali lagi, saya minta tolong teman-teman berdoa untuk kita semua….
Saya merasakan suasana ruang pelatihan yang berisi 300 orang lebih itu hening, sunyi, tak ada kata-kata. Semua peserta menyimak dan merekam dalam, permintaan tolong itu. Saya yakin semua peserta merekam dan mengamini untuk berdoa, demi kesalamatan dan kesehatan seluruh jemaah haji.
Kini, semua cerita dr. Eka itu, sangat nyata. “pak, titip mbah Rowo, Dia tadi saya ketemukan tertinggal dengan rombongan di pintu 37 Masjid Nabawi, “Selanjutnya saya titipkan bapak ya”, kata Reni, jemaah asal Brebes yang menemukan mbah Rowo. Mbah Rowo, diketemukan terpisah dari rombongan pagi hari, sekitar pukul 6.45 WAS, selesai shalat subuh.
“Saya ketinggalan mas, sebab tak dapat mengikuti langkah rombongan yang masih muda-muda. Apakah saya dapat bertemu dengan rombongan saya tadi”, Kata Mbah Rowo, sedih. Bisa mbah, ngak usah sedih, Bismillah….mbah jangan sedih, nanti akan ketemu lagi dengan rombongannya. Mbah Rowo terlihat gembira, setelah mendengar jawabanku.
Sambil kutuntun, mbah berkata; badanku gemetar mas…Mbah belum sarapan, tanyaku. Belum mas jawab mbah. Kalau begitu, duduk dulu mbah. Kemudian, saya keluarkan buah kurma, yang selalu kubawa, untuk risti yang membutuhkan. “Silahkan mbah makan kurma dan minum air zamzam ini, berdoa mbah, semoga segar kembali. Setelah berbincang beberapa saat. Sudah segar mbah, tanyaku, sudah jawab mbah. Kemudian saya ajak jalan menuju hotel tempat pondokannya. “Terima kasih ya mas, semoga mas sehat dan dilipatgandakan pahalanya, menolong orang tua. Amin, jawabku, terus terang aku bahagia, merasa seperti mengantar ibuku sendiri….
Kemudian, aku duduk dipinggir hotel, aku berdoa untuk kedua orang tuaku di kampung, palembang. Ya..Allah, berkahi hidup kedua orang tuaku, beri kesehatan dan sayangi mereka, seperti mereka menyangiku sewaktu masih kecil. Amin.
Tiba-tiba, telponku berdering, teman satu tim telah menungguku lebih 1,5 jam dari perjanjian semula. Dalam hatiku berkata, ngak papa ditinggal, masih bisa naik taksi sendiri, dari Nabawi cukup 10 real saja, sudah sampai kantor KKHI. Alhamdulillah, masih ditunggu, terima kasih teman-teman….
Masih banyak mbah Rowo lain yang serupa, kakinya melepuh, karena alas kakinya hilang, ada yang tiba-tiba pinsan karena belum sarapan, bahkan penyakitnya kumat, karena kelelahan dan masih banyak cerita yang menyayat hati. Mereka jemaah risiko tinggi, tahun ini mencapai 68 % lebih. Mereka adalah orang tua kta, kakek-nenek kita dan saudara kita yang telah bersusah payah mengumpulkan rezeki, sedikit, demi sedikit dari hasil bertani, pedagang kecil, menjual sawah dan ladang untuk menemui RobbNya, di Baitullah….
Sucipto, berbaring lemah, diatas tempat tidur Klinik Kesehatan haji (KKHI) Madinah. Ia berdoa, “Ya…Allah, aku jauh-jauh kemari untuk menemuiMu, tapi sekarang aku berbaring lemah tak berdaya, jantungku berdebar, nyeri dan sakit, sembuhkan Ya…Allah…aku mau shalat di Nabawi, shalat di Masjidil Haram dan Wukuf di Arafah, panjangkan umurku sampai menjumpaiMu disana, Amin.
Karena keterbatasan rezeki, kuota haji dan lainya, mereka baru berkesempatan berangkat haji tahun ini, ketika sudah lanjut usia. Badan sudah bungkuk, tulang punggungnya tak lagi mampu menahan tubuhnya. Kaki sudah tak kuat lagi untuk berjalan normal. Tongkat, bahkan kursi roda akrab bersamanya. Belum lagi penyakit kronis yang telah menggerogotinya. Darah tinggi, hipertensi, jantung, dimensia dan ada yang komplikasi keseluruhannya, lengkap, demikianlah salah satu cara Engkau mengasihi hambaMu….
Salahkah para risti itu, tidak…!. Ada Kakek, jemaah haji, kaki melepuh, padahal Ia sudah diberi tahu petugas kesehatan kloter, harus pakai alas kaki. Siang itu, Ia nekat keluar masjid ke tempat wudhu, tanpa alas kaki. Alasanya sederhana. “Ngak panas kok ubinnya. “Saya merasa kuat, sudah biasa di kampung keluar masuk sawah, rawa, ladang dan hutan, tanpa alas kaki. Jadi saya merasa kuat, tapi nyatanya sekarang melepuh”, katanya sambil tersenyum malu.
Sekali lagi, kakek tak dapat disalahkan. Ia belum pernah tahu, paham dan tak punya pengalaman dari orang lain, tentang ubin yang bisa melepuhkan kaki. Yang Ia tahu hanya rumah dan lingkungan kampungnya.
Tengah malam, di Roudhah aku merenungkan mereka yang risti, 67 %, kurang lebih 150 ribu jemaah. Mereka butuh pertolongan, perhatian, pengawasan dan pembinaan. Seandainya harus semua terawasi, berapa orang tenaga yang dibutuhkan, berapa biaya yang harus dikeluarkan, sekiranya ada tenaga dan biaya, bukankah hanya akan menambah sesak Tanah Haram ini ?
Disinilah terasa keterbatasan manusia, saya menjadi paham, mengapa dr. Eka meminta semua terus berdoa. Berdoa untuk kesehatan petugas dan jemaahnya. Ya…Allah, ditempat yang paling mustajab ini, tak ada tempat yang semustajab di tempatMu ini, kami hambuMu yang lemah ini, memohon kepadaMu, “berilah kesehatan, keberkahan dan haji yang mambrur kepada seluruh jemaah haji Indonesia dan petugasnya. Terimalah permohonan hambaMu yang lemah ini”, amin.
Tak terasa, air mata meleleh, membasahi pipi, kemudian terdengar azan subuh berumandang. Ya Allah,….tak ada kekuatan, kesehatan, kebaikan dan keberkahan, kecuali dariMu. Kini, kami serahkan semua ini kepadaMu, setelah ikhtiar sekuat kemampuan kami. Ampuni kesalahan dan kekhilafan kami. Amin.
Jalan panjang ibadah haji masih membentang, kurang lebih 2 bulan lagi. Semua kemungkinan masih akan terjadi, tapi mari kita semua terus berdoa, jangan bosan, semoga yang terjadi adalah keberkahan, kebaikan, kesehatan dan kesejahteraan untuk semua petugas dan jemaah haji Indonesia. Selamat melaksanakan ibadah haji, semoga menjadi haji yang mabrur, bersambung….