Perundungan anak di sekolah masih terus terjadi. Perlu peran aktif sekolah dan keluarga untuk menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak.
Perundungan (bullying) yang terjadi akhir-akhir ini telah menjadi masalah sosial yang meresahkan di masyarakat, terutama di kalangan anak-anak dan remaja. Menurut Dana Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (Unicef), perundungan dapat diidentifikasi melalui tiga ciri, yakni dilakukan dengan sengaja (untuk menyakiti), terjadi secara berulang-ulang, dan ada perbedaan kekuasaan. Seorang pelaku perundungan memang bermaksud menyebabkan rasa sakit pada korbannya, baik secara fisik maupun psikologis (verbal atau lainnya).
Tindakan itu dilakukan berkali-kali, jadi bukan insiden atau sesekali. Pelaku biasanya berasal dari status sosial atau punya posisi kekuasaan yang lebih tinggi, seperti lebih besar, lebih kuat, atau lebih senior, daripada korban. Menurut Unicef, anak-anak yang paling rentan menjadi korban perundungan adalah mereka yang berada posisi lebih lemah, seperti anak dari masyarakat yang terpinggirkan, anak dari keluarga berpenghasilan rendah, anak dengan penampilan berbeda, dan penyandang disabilitas.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim menyebut perundungan sebagai isu serius. Hasil Asesmen Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi tahun 2021 menunjukan 24,4 persen peserta didik berpotensi mengalami insiden perundungan di sekolah. Dalam asesmen itu peserta diminta seberapa sering ia mengalami tiga hal: dipukul, ditendang atau didorong oleh siswa lain di sekolah; diancam oleh siswa lain; dan siswa lain mengambil atau merusak barang-barang miliknya.
Menurut Nadiem, ada pandangan keliru mengenai perundungan. “Saya juga masih sering mendengar miskonsepsi yang menganggap perundungan sebagai cara menguatkan mental peserta didik. Ini adalah miskonsepsi yang sama sekali tidak benar karena pendidikan karakter semestinya tidak dilakukan dengan kekerasan yang bisa membuat anak-anak merasa takut dan trauma,” kata Nadiem pada Juli 2022 lalu dalam rilis Sekretariat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 917 kasus perundungan di sekolah selama 2016-2020, baik oleh korban maupun pelaku. Jumlah kasus relatif menurun, dari 253 kasus pada 2016 menjadi 245 kasus pada 2017, lalu 234 kasus pada 2018, dan turun signifikan menjadi 97 dan 88 kasus pada 2019 dan 2010. Ini belum memasukkan kasus-kasus yang bisa jadi termasuk perundungan tapi terjadi di luar sekolah, seperti kasus anak yang berhadapan dengan hukum sebagai korban kekerasan fisik, seperti penganiayaan, pengeroyokan, dan perkelahian; yang mengalami kekerasan psikis, seperti ancaman dan intimidasi; serta mengalami kekerasan seksual. Jumlah kasus untuk tiga jenis kekerasan itu mencapai 2.390 kasus.
Namun, data tahun 2020 perlu diberi catatan khusus karena pada tahun tersebut terjadi pandemi COVID-19 dan banyak sekolah menjalankan pelajaran secara dalam jaringan. Meskipun demikian, setelah proses belajar mengajar kembali normal, KPAI masih menemukan 87 kasus perundungan sepanjang Januari-Agustus 2023.
Siti Muawanah, S. Psi., M. Psi., psikolog dari Pusat Kesehatan Ibu dan Anak Nasional Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita, menilai perlunya peran sekolah dan orang tua untuk menciptakan lingkungan sekolah dan keluarga yang nyaman dan aman bagi anak. “Sekolah-sekolah di Indonesia sudah saat saatnya untuk mulai sadar terhadap ancaman perilaku perundungan,” katanya dalam Talkshow Keluarga Sehat di Radio Kesehatan pada Kamis, 19 Oktober lalu.
Penulis: Redaksi Mediakom