Orang dengan HIV/AIDS, terutama anak-anak, masih mengalami stigma dan diskriminasi. Kelompok Dukungan Sebaya Caregiver mencoba membantu dengan mendampingi mereka.
Christien, orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang juga memiliki anak dengan HIV, membutuhkan informasi lebih banyak agar bisa saling bertukar pikiran dengan orang-orang yang serupa dengan dirinya. Perempuan 40 tahun ini lalu membentuk Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Caregiver pada 2021 sebagai wadah atau tempat berbagi informasi dan pengetahuan bagi anggota serta menjadi ruang aman dalam penanganan dan perawatan anak dengan HIV/AIDS.
“Saya baru mulai tahun 2021 dengan terlibat langsung mengkoordinasi anak-anak HIV dalam mengelola beberapa kegiatan. Berawal dari kebutuhan saya sendiri sebagai ibu dengan HIV yang memiliki anak dengan HIV juga,” kata Christien saat dihubungi Mediakom pada awal Desember 2023.
Sampai saat ini HIV masih menjadi masalah kesehatan masyarakat global yang utama. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga kini HIV telah merenggut 40,4 juta nyawa dengan penularan yang terus berlanjut di semua negara. Beberapa negara bahkan melaporkan tren peningkatan infeksi baru, padahal sebelumnya telah mengalami penurunan.
WHO memperkirakan 39 juta orang hidup dengan HIV pada akhir tahun 2022. Dua pertiganya atau 25,6 juta orang berada di wilayah Afrika. Pada 2022, sebanyak 630 ribu orang meninggal karena penyebab yang terkait HIV dan 1,3 juta orang tertular HIV.
Menurut WHO, di Asia Tenggara diperkirakan 110 ribu orang tertular HIV pada tahun 2022. Sekitar 85 ribu orang meninggal karena penyebab yang terkait HIV, turun 63,4 persen dari tahun 2010. WHO mencatat diperkirakan ada 3,4–4,6 juta orang hidup dengan HIV pada tahun tersebut. Sekitar 81 persen di antara mereka mengetahui statusnya dan 65 persen mendapat pengobatan. Sebanyak 2,6 juta orang dilaporkan telah menerima terapi antiretroviral.
Virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh (HIV) adalah sumber penyakit ini. Adapun sindrom akibat menurunnya kekebalan tubuh (AIDS) adalah stadium HIV yang paling lanjut. HIV menyasar sel darah putih dan melemahkan sistem kekebalan tubuh. Virus ini membuat seseorang lebih mudah terserang penyakit seperti tuberkulosis, infeksi, dan beberapa jenis kanker.
HIV ditularkan melalui cairan tubuh orang yang terinfeksi, termasuk darah, air susu ibu, air mani, dan cairan vagina. Penyakit ini tidak menyebar melalui ciuman, pelukan, atau berbagi makanan. Ia bisa juga menular dari ibu ke bayinya.
Tidak ada obat khusus untuk infeksi HIV tetapi HIV dapat diobati dan dicegah dengan terapi antiretroviral (ART). HIV yang tidak diobati dapat berkembang menjadi AIDS. Dengan adanya akses terhadap pencegahan, diagnosis, pengobatan, dan perawatan HIV yang efektif, infeksi HIV telah menjadi kondisi kesehatan kronis yang dapat dikelola sehingga memungkinkan orang yang hidup dengan HIV untuk berumur panjang.
Anggota KDS terdiri dari orang tua atau wali/pendamping yang memiliki anak dengan HIV yang menjalankan peran secara fleksibel. “Tentunya kami sangat terbuka jika para relawan yang mau ikut bergabung bersama kami untuk mendampingi anak-anak,” ujar Christien.
Sampai saat ini KDS Caregiver memiliki anggota sebanyak 38 orang. Anak-anak yang mereka dampingi berusia 2-15 tahun. Ada 27 anak dengan HIV dan dua perempuan dengan HIV yang menjadi anggota. Peran para anggota KDS adalah mendampingi dan mengedukasi satu sama lain, terutama mengenai isu HIV.
Tantangan yang dihadapi Christien dan KDS adalah masih adanya berbagai stigma dan diskriminasi khususnya terhadap anak-anak dengan HIV, terutama di lingkungan rumah dan sekolah. Dia menceritakan satu contoh kasus ketika seorang anak yang mereka dampingi terkena usus buntu dan seharusnya segera mendapatkan tindakan operasi tetapi pihak rumah sakit menunda dengan alasan baru tahu jika anak tersebut penyandang HIV dan malah menyarankan untuk dirujuk ke rumah sakit lain.
“Pada saat itu kami langsung berkoordinasi dengan pihak rumah sakit tersebut dan menyatakan bahwa tindakan mereka sudah termasuk diskriminasi. Pada akhirnya mereka mau melakukan tindakan operasi pada anak tersebut setelah diyakinkan,” ujar Christien.
Berdasarkan kasus itu, menurut Christien, ternyata tidak semua layanan rumah sakit tahu dan paham benar mengenai penanganan terhadap orang-orang dengan HIV. Mereka masih beranggapan jika HIV itu suatu penyakit yang sangat mengerikan dan bahkan menjijikan. “Dari kejadian tersebut kami berharap supaya pemerintah bisa lebih gencar dan berfokus untuk memberikan edukasi mengenai isu HIV kepada seluruh layanan kesehatan supaya hal ini tidak terulang lagi. Dan, tidak ada lagi stigma dan diskriminasi terhadap kami yang hidup dengan HIV. Kami berharap semua layanan kesehatan bisa bersikap ramah terhadap kami yang hidup dengan HIV karena sebagai manusia kami juga punya hak yang sama.”
Bagi Christien yang dia dan ODHA lain butuhkan adalah dukungan penuh agar anak-anak dengan HIV tidak mendapatkan diskriminasi atau tidak dibeda-bedakan dan bisa hidup berdampingan dengan anak lain tanpa adanya stigma di mana pun mereka berada. “Kami dari caregiver sudah berkolaborasi dengan beberapa pihak, termasuk sekolah, ketika terjadi stigma dan diskriminasi itu sehingga ketika ada aduan bisa langsung ditindaklanjuti,” ujar caregiver asal Bandung. “Kami selalu menekankan kepada anggota supaya berani bicara ketika menghadapi perlakuan yang tidak manusiawi dari siapa pun agar bisa langsung didampingi oleh kami.”
Christien dan KDS Caregiver selalu mengingatkan pihak lain bahwa anak-anak dengan HIV juga punya hak yang sama seperti anak-anak lainnya. “Mereka juga masih bisa berprestasi, hidup layak, dan sehat. Jadi HIV bukan akhir dari segalanya,” katanya.
“Kami juga beberapa kali mengadakan kegiatan study club yang bekerja sama dengan layanan rumah sakit dan acara sosial untuk para anggota dengan melibatkan anak-anak ODHA-nya supaya mereka bisa happy dan tidak merasa sendiri sehingga kami bisa saling menguatkan satu sama lain,” kata Christien.
Laporan Katherine S. Elkington dkk. dalam Journal of Pediatric Psychology pada 2011 menunjukkan peran pengasuh (caregiver) bagi anak dengan HIV. Mereka menyimpulkan bahwa remaja dengan pengasuh HIV memiliki kesehatan mental yang lebih baik dan bahkan setelah disesuaikan dengan perbedaan status HIV remaja dan faktor kontekstual dan pranata sosial lainnya.
Penelitian Elkington dkk. juga menemukan bahwa terlepas dari status HIV remaja atau kesehatan mental pengasuhnya, remaja yang tinggal bersama pengasuh HIV memiliki kesehatan mental yang lebih baik. Mereka menyatakan bahwa ketahanan pada remaja ini sebagian berasal dari adanya faktor-faktor pendukung, seperti komunikasi dan keterlibatan pengasuh yang lebih baik dalam keluarga.
Penulis: Redaksi Mediakom