Puasa di bulan Ramadan punya banyak manfaat bagi kesehatan tubuh, seperti untuk regenerasi sel, merawat usus, dan meredakan penyakit asam lambung.
Bulan Ramadan menjadi momentum bagi umat Islam untuk menjalankan ibadah puasa dengan menahan haus dan lapar selama kurang lebih 13 jam untuk masyarakat yang hidup di daerah khatulistiwa seperti Indonesia. Bagi sebagian orang, menahan haus dan lapar di bulan Ramadan tidak hanya sebagai ibadah tetapi juga sarana untuk mengatur pola makan yang memiliki dampak tersendiri bagi kesehatan.
Ada banyak penelitian mengenai manfaat kesehatan dari puasa Ramadan, terutama perubahan komponen seluler darah. Misalnya, penelitian observasional Hibeh Shatila dkk. yang dilakukan di Libanon selama setahun membandingkan individu yang menjalankan puasa Ramadan dengan mereka yang tidak menjalankan puasa. Hasil penelitian yang dipublikasikan di jurnal Frontiers in Nutrition pada 2021, menunjukkan terjadinya peningkatan umum dalam asupan serat dari makanan pada mereka yang menjalankan puasa dibandingkan dengan mereka yang tidak berpuasa. Ada perubahan signifikan pada asupan makanan selama puasa, yang menyiratkan bahwa Ramadan memiliki asupan makanan dan pola makan yang unik dibandingkan dengan hari-hari lainnya. Lebih khusus lagi, persentase kontribusi asupan energi dari sereal, produk berbasis sereal, dan pasta mengalami penurunan, sementara asupan sayur-sayuran dan buah-buahan kering meningkat selama bulan Ramadan. Bersamaan dengan itu, persentase kontribusi telur, kacang-kacangan dan biji-bijian, susu dan susu, lemak dan minyak, serta minyak zaitun terhadap total energi lebih rendah selama bulan Ramadan. Berikut ini sejumlah manfaat puasa.
Regenerasi Sel
Menurut Yoshinori Ohsumi, peraih Nobel Kesehatan 2016 atas temuan mekanisme autofagi, menahan lapar seperti puasa berdampak pada mekanisme daur ulang sel yang membantu memperlambat proses penuaan dan berdampak positif pada pembaruan sel. Autofagi, yang berarti “memakan dirinya sendiri” merupakan mekanisme daur ulang sel dengan memakan dirinya sendiri sebagai proses metabolisme yang terjadi pada kondisi lapar.
Para ilmuwan bahkan telah menemukan bahwa puasa selama 12 jam lebih dapat memicu autofagi dan dianggap sebagai salah satu alasan mengapa puasa dikaitkan dengan umur panjang. Ada banyak penelitian yang menghubungkan puasa dengan peningkatan kontrol gula darah, mengurangi peradangan, penurunan berat badan, dan peningkatan fungsi otak. Bahkan, melalui penelitian yang dilakukan oleh Jiahong Lou dan kawan-kawan dalam buku Autophagy: Biology and Diseases (2020), autofagi juga dikaitkan dengan target terapi potensial pengobatan penyakit Parkinson.
Meredakan GERD
Puasa juga dapat meredakan penyakit asam lambung atau GERD. Saat berpuasa tubuh kita melatih regulasi asam lambung. Menurut penelitian Radhiyatam Mardhiyah dan kawan-kawan, yang dipublikasikan di jurnal Acta Medica Indonesiana pada 2016, keluhan GERD terasa lebih ringan pada pasien yang menjalani puasa Ramadan dibandingkan yang tidak berpuasa. Pada penelitian ini terdapat perbedaan median skor GERD-Q yang signifikan antara pasien yang berpuasa Ramadan dengan subjek yang tidak berpuasa baik pada bulan Ramadan maupun non-Ramadhan.
Menurut penelitian Sedra Tibi dkk., yang diterbitkan di jurnal Cureus pada 2023, GERD adalah aliran balik isi lambung yang mengiritasi lapisan esofagus yang menyebabkan banyak gejala ketidaknyamanan. Risiko dan faktor yang memperberat GERD antara lain adalah obesitas, usia tua, penggunaan analgesik, merokok, konsumsi alkohol, asupan minuman berkafein, dan tekanan psikologis. Karena puasa Ramadan dianggap sebagai diet, maka selama Ramadan beberapa perilaku ini diubah menjadi lebih baik, termasuk berhenti merokok dan minum alkohol. Dengan berkurangnya kebiasaan-kebiasaan ini, yang diketahui dapat memperburuk gejala GERD, gejala-gejala tersebut mungkin dapat dikurangi selama bulan Ramadan.
Merawat Usus
Selain regenerasi sel, puasa juga memiliki dampak pada pertumbuhan mikrobioma atau mikroba baik dalam usus. Berdasarkan penelitian Sedra Tibi dkk., puasa Ramadan meningkatkan mikrobioma usus dan memodifikasi kadar hormon usus.
Menurut penelitian yang dilakukan Sue Grenham dkk., yang diterbitkan di jurnal Frontiers in physiology pada 2011, mikrobioma usus memiliki tiga fungsi utama, yakni sebagai bagian struktur usus, proteksi usus. dan metabolisme usus. Mikrobioma usus berperan penting dalam proses penyerapan nutrisi dan mineral; sintesis berbagai enzim; vitamin; asam amino; serta produksi asam lemak rantai pendek (SCFA).
Fungsi mikrobioma dalam usus tidak hanya berkaitan dengan kesehatan saluran dan sistem pencernaan, seperti obesitas, kanker usus besar, sindrom iritasi usus besar, intoleransi makanan, defisiensi mikronutrien, kolesterol, dan penyakit hati. Ia juga memiliki hubungan dengan penyakit yang tampaknya tidak ada hubungannya dengan saluran pencernaan seperti diabetes, masalah kesehatan mental termasuk kecemasan, depresi, gangguan kekebalan, penyakit kulit, dan alergi non-makanan.
Penulis: Redaksi Mediakom