Banyak orang mengatasi stres dengan makanan dan minuman manis. “Obat” yang justru membahayakan kesehatan.
Sejak menjadi ibu, Windy Marthinda merasa lebih banyak beban. Ibu tiga anak yang bekerja di sebuah instansi kesehatan di Bandung itu harus menangani urusan domestik, bekerja di kantor, dan melanjutkan studi pada saat yang bersamaan. Akibatnya, dia kemudian menjadi suka makan makanan dan minuman manis. “Kalau lagi di kampus dan tempat kerja saya jadi sering ngemil manis seperti cokelat atau es krim. Juga es campur dan es cendol,” kata Windy kepada Mediakom, Jumat, 15 Desember 2023.
Dia merasa jadi bahagia dan punya energi buat mengerjakan banyak hal setelah mengonsumsi makanan dan minuman manis. “Mungkin sugesti, tapi es teh manis paling ampuh bikin segar kalau lagi dinas malam dan banyak pasien. Kebiasaan itu terbawa terus. Saya jadi senang minuman manis dan dingin, termasuk yang kemasan. Selama hamil anak-anak, saya malah lebih sering minum es teh manis ketimbang air putih,” ujar perempuan 38 tahun ini.
Windy menyadari bahwa dia semestinya segera berhenti dari kebiasaan tidak sehat tersebut. Ia merasa khawatir karen makin tua usia fungsi hormon insulin semakin tidak berkurang. “Takut diabetes, apalagi ada keturunan diabetes dari keluarga ibu. Makin khawatir kalau enggak mulai dikurangi,” kata Windy yang tidak pernah mengecek kadar gula darahnya.
Untuk mengalihkan stres, dia melakukan kegiatan yang bikin sibuk dan bahagia. “Misalnya olahraga, baca buku, dan nonton drakor lucu,” kata perempuan asal Bandung ini.
Sari Ermina, seorang karyawan swasta di Jakarta, bahkan tidak bisa lepas dari minuman manis, seperti es teh, teh susu, es boba, hingga es krim, sejak kecil. Walaupun ia tidak merasakan dampak langsung menjadi lebih bahagia, kebiasaan tersebut masih ia jalani sampai sekarang.
Sari sedang berusaha menghentikan kebiasan itu. “Sebenarnya ada keinginan buat mengurangi makanan atau minuman manis dan mengganti dengan camilan buah untuk makanan dan air putih untuk minuman. Masih diusahakan,” kata perempuan 34 tahun ini kepada Mediakom, Jumat, 15 Desember 2023.
Sari juga mengaku jika khawatir terkena diabetes. Apalagi di bukan orang yang rajin periksa gula darah.
Apa yang dialami Windy dan Sari adalah contoh orang yang kecanduan makanan dan minuman manis ketika merasa cemas. Makanan manis memang bisa mengurangi rasa cemas dan lelah dengan menekan sumbu hipotalamus hipofisis adrenal (HPA) di otak yang mengontrol respons terhadap stres. Menurut Achim Peters dalam jurnal Scientific American tahun 2019, meskipun otak kita hanya menyumbang dua persen dari berat badan, organ tersebut mengonsumsi setengah dari kebutuhan karbohidrat harian dan glukosa adalah bahan bakar terpentingnya. Dalam kondisi stres, menurut Peters, otak memerlukan energi sebanyak 12 persen lebih banyak sehingga orang memilih makanan ringan yang manis-manis.
Peters menjelaskan bahwa pada saat lapar, seluruh jaringan wilayah otak aktif. Di tengahnya terdapat hipotalamus ventromedial dan hipotalamus lateral. Kedua wilayah di batang otak bagian atas ini punya fungsi dalam pengaturan metabolisme, perilaku makan, dan fungsi pencernaan. Namun, terdapat penjaga gerbang, yaitu nukleus arcuatus di hipotalamus. Jika otak kekurangan glukosa, penjaga gerbang ini memblokir informasi dari seluruh tubuh. Itu sebabnya, kata Peters, saat mengonsumsi karbohidrat segera setelah otak menunjukkan kebutuhan energi, maka seluruh tubuh kemudian mendapat pasokan energi yang cukup.
Gula, menurut Peters, menurunkan respons stres di otak manusia. Akibatnya, kita mungkin mengonsumsi gula sebagai cara cepat untuk menahan perasaan stres. Untuk menguji hipotesis ini, Peters melakukan tes stres terhadap dua kelompok wanita. Selama dua minggu, satu kelompok diminta meminum minuman mengandung gula tiga kali sehari, sedangkan kelompok lainnya diminta meminum minuman pengganti aspartam. Para wanita tersebut melakukan tes stres sebelum dan sesudah perawatan dan dilakukan pengukuran respons otak terhadap stres, seperti produksi senyawa stres, kortisol, dan aktivitas pada hipokampus di otak. Hasil penelitian Peters menunjukkan bahwa konsumsi gula mengubah kadar kortisol dan aktivitas hipokampus selama stres dan juga bagaimana otak merasakan dan merespons peristiwa stres.
Bagi sebagian orang, kata Peters, otak tidak dapat memperoleh energi dari cadangan tubuh, meskipun terdapat cukup timbunan lemak. Penyebab paling penting dari hal ini adalah stres kronis. Untuk memastikan otak mereka tidak kekurangan pasokan maka harus selalu makan dalam jumlah yang cukup. Seringkali satu-satunya jalan keluar dari kebiasaan makan seperti itu adalah dengan meninggalkan lingkungan yang penuh tekanan.
Meskipun banyak orang yang cenderung keras pada diri sendiri karena makan terlalu banyak makanan manis atau karbohidrat, alasan di balik keinginan tersebut tidak selalu disebabkan oleh kurangnya pengendalian diri. Sebab, bila akar penyebab stres diatasi, kebiasaan makan, termasuk makanan manis, pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya.
Penulis: Redaksi Mediakom